Penyimpangan Dana Covid-19 di Sumbar terus bergulir

BERITA UTAMA10 Dilihat

Sumbar.KabarDaerah.com-Kasus dugaan penyelewengan dana Covid-19 Sumbar terus bergulir. Polda Sumbar mengaku masih menunggu saksi ahli dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Sumbar.

Kabid Humas Polda Sumbar, Kombes Pol Satake Bayu mengatakan, kendala yang dihadapi penyidik hanya tinggal soal saksi ahli dari BPK.

“Kami sudah menyurati mereka meminta saksi ahli untuk melengkapi pemeriksaan terhadap kasus ini, namun belum ada balasan,” katanya, Rabu (5/5/2021).

Sejauh ini, pihaknya telah memeriksa sebanyak 14 orang saksi terkait dugaan kasus dugaan penyelewengan dana Covid-19 untuk pembelian handsanitizer itu.

Mereka yang diperiksa mulai dari Kepala dan Bendahara serta staf BPBD Sumbar, anggota DPRD Sumbar, perusahaan pengadaan handsanutizer dan lainnya.

“Setelah semua lengkap maka kita akan gelar perkara dan menentukan apakah memenuhi unsur pidana serta menetapkan tersangka,” katanya.

Sebelumnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Sumbar menemukan transaksi yang dilakukan secara tunai pada belanja barang dan jasa senilai Rp.49 miliar dalam rangka penanganan pandemi Covid-19 pada BPBD Sumbar.

“Sesuai instruksi Gubernur Sumbar no2/INST-2018 dinyatakan Kepala Satuan Perangkat Kerja harus melakukan pembayaran melalui mekanisme nontunai tanpa ada batasan nominal rupiah tertentu,” kata Kepala BPK perwakilan Sumbar, Yusnadewi.

Kendati tidak bisa serta merta dinyatakan ada kerugian negara, namun yang perlu disorot adalah cara pembayaran kepada pihak ketiga yang dilakukan secara tunai sehingga berindikasi pada adanya penyalahgunaan kewenangan.

Dalam LHP Kepatuhan, BPK menyimpulkan beberapa hal. Di antaranya indikasi pemahalan harga pengadaan cairan pembersih tangan (hand sanitizer) dan transaksi pembayaran kepada penyedia barang dan jasa yang tidak sesuai dengan ketentuan dan berpotensi terjadi penyalahgunaan.

“Dari Rp 49 miliar itu yang ditemukan indikasi penggelembungan hand sanitizer sebesar Rp 4,9 miliar yang wajib dikembalikan kepada kas daerah,” ujarnya.

Adapun temuan transaksi yang dibayarkan secara tunai itu antara lain pengadaan hand sanitizer 100 militer senilai Rp2.870.000.000, pengadaan hand sanitizer 500 mililiter Rp4.375.000.000.

Kemudian, Belanja Tak Terduga untuk penanganan pandemi Covid-19 di BPBD Sumbar yang telah ditransfer ke rekening BPBD Sumbar bernilai Rp.161.711.976.900.

Namun hasil pemeriksaan rekening koran BPBD Sumbar menunjukan seluruh pengeluaran dana yang bersumber dari Belanja Tak Terduga dilakukan dengan cek.

Cek tersebut ditandatangani Kalaksa BPBD dan Bendahara BPBD dan semuanya dicairkan secara tunai tanpa menulis penerima dengan spesifik.

Selain itu, ditemukan pembayaran secara tunai kepada PT.CBP untuk pengadaan APD senilai Rp 5.950.000.000, PT AMS untuk pengadaan rapid test senilai Rp 1.350.000.000.

Lalu, ditemukan juga pembayaran tunai terhadap 29 kontrak kepada enam penyedia sebesar Rp.3 0.155.400.000. Dengan demikian BPK menemukan total pembayaran tunai kepada penyedia dan orang-orang yang tidak dapat diidentifikasi sebagai penyedia sebesar Rp 49.280.400.000.

DPRD Sumbar juga telah membuat pansus terhadap dugaan penyelewengan dana Covid-19 dan merekomendasikan untuk diproses sesuai hukum yang ada.

Wakil Ketua Pansus DPRD Sumbar,Nofrizon menyebut adanya pembelian barang yang lebih mahal dari harga semestinya.

Hand sanitizer seharga dengan harga Rp 35.000. “Harga sebenarnya Rp 9.000 per botol.

Kemudian perusahaan atau rekanannya tidak bergerak di bidang pengadaan alat kesehatan,” kata Nofrizon yang dihubungi Kompas.com, Selasa (23/2/2021).

Nofrizon mengatakan rekanan penyedia hand sanitizer itu justru bergerak di bidang batik tanah liat. Sejak 17 Februari 2021,

Pansus telah bekerja menyelidiki kasus itu. “Ini yang akan kita selidiki di Pansus,” kata Nofrizon. Baca juga:

Dugaan Mark Up Dana Covid-19 Sumbar, Pansus DPRD: Rekanan Dapat Proyek Melalui Istri Pejabat SHUTTERSTOCK Ilustrasi Covid-19 Dana Rp 49 miliar belum dilaporkan Temuan lainnya ialah indikasi dana Rp 49 miliar yang belum dapat dipertanggung jawabkan.

“DPRD Sumbar bentuk Pansus untuk menindaklanjuti LHP BPK RI tersebut. Ada Rp 49 miliar dana Covid-19 Sumbar yang belum bisa dipertanggungjawabkan,” kata politisi Partai Demokrat itu. Nofrizon juga menyebut ada temuan BPK RI berupa pembelian barang yang dibayar tunai. Padahal sebetulnya dalam aturan tidak diperbolehkan membayar secara tunai.

Secara resmi DPRD pun kemudian membentuk panitia khusus yang untuk menelusuri LHP tersebut sejak 17 Februari 2021. Bekerja dalam sepekan, pannitia khusus kemudian mengeluarkan sejumlah rekomendasi yang kemudian diakomodasi oleh DPRD secara kelembagaan.

Berikut isi rekomendasinya:

  1. Dalam rangka pengadaan hand sanitizer ukuran 100 ml da 500 ml menurut LHP BPK RI terjadi pemahalan harga yang mengakibatkan kerugian daerah senilai Rp. 4.847.000.000,- dan kekurangan volume pengadaan logistik kebencanaan (masker, thermo gun, dan hand sanitizer) senilai Rp. 63.080.000,-. Kerugian daerah tersebut terjadi pada sebagian paket pekerjaan saja, sedangkan masih banyak paket lainnya yang belum dibuktikan oleh BPK RI apakah terjadi kejadian yang sama berupa pemahalan harga atau kekurangan volume pekerjaan. Pansus menduga tidak tertutup kemungkinan hal yang sama juga terjadi pada paket pekerjaan lainnya di BPBD. Oleh sebab itu Pansus merekomendasikan kepada DPRD Provinsi Sumatera Barat supaya meminta kepada BPK RI untuk melanjutkan pemeriksaan terhadap paket pekerjaan yang belum sempat diperiksa oleh BPK RI Perwakilan Sumatera Barat.
  2. Transaksi pembayaran kepada penyedia barang/jasa menurut BPK Ri tidak sesuai ketentuan. Bendahara dan Kalaksa BPBD melakukan pembayaran tunai kepada Penyedia sehingga melanggar instruksi Gubernur No. 02/INST-2018 tanggal 23 Januari 2018 Tentang Pelaksanaan Transaksi Non Tunai (Transaksi Non Cash). Akibat transaksi tunai yang dilakukan tersebut terindikasi potensi pembayaran sebesar Rp. 49.280.400.000,- tidak bisa diindentifikasi penyedianya. Oleh sebab itu Pansus merekomendasikan kepada DPRD Provinsi Sumatera Barat supaya meminta kepada BPK RI untuk melakukan pemeriksaan lanjutan terhadap aliran dana sebesar Rp. 49.280.400.000,- tersebut.
  3. Berkaitan dengan rekomendasi BPK RI untuk memberikan sanksi kepada Kalaksa BPBD dan pejabat/staf lainnya yang terindikasi telah melakukan pelanggaran dalam proses pengadaan barang dan jasa dan melakukan pembayaran tunai. Namun sampai saat ini Gubernur belum menindaklanjuti rekomendasi dimaksud padahal waktu yang diberikan sesuai dengan action plan yang dibuat oleh Gubernur adalah selama 60 hari. Oleh karena itu Pansus merekomendasikan kepada DPRD agar menyurati Gubernur supaya segera memproses pemberian sanksi tersebut dan segera melaporkannya kepada DPRD disamping kepada BPK RI Perwakilan Sumatera Barat. Perlu kami tegaskan bahwa sanksi yang diberikan mestilah sebanding dengan perbuatan dan pelanggaran yang dilakukannya, penilaian Pansus sangat serius dan berat karena telah mengakibatkan banyak kerugian daerah meskipun telah dikembalikan. “Kita berharap gubernur segera bisa menindaklanjuti rekomendasi yang diberikan oleh DPRD dan rekomendasi dari BPK, dalam waktu 60 hari sejak LHP BPK diterima,” kata Ketua DPRD Sumbar Supardi saat penyampaian hasil Keputusan DPRD, Jumat (26/2) malam.
  4. Berdasarkan penelusuran Pansus terhadap LHP BPK RI atas Kepatuhan Penanganan COVID-19 di lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Barat dengan pihak-pihak terkait yang dilakukan pembahasan bersama pansus terindikasi ditemukan KKN maka Pansus merekomendasikan kepada DPRD Provinsi Sumatera Barat untuk menyurati BPK Ri dibawa ke Aparat Penegak Hukum (APH) sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku,
  5. Berdasarkan LH P BPK RI Atas Kepatuhan Penanganan COVID-19 ditemui Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) tidak mutakhir dan tidak dilakukan monitoring oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Barat. Akibatnya DTKS yang menjadi basis data dan sumber utama penyelenggaraan kesejahteraan sosial tidak valid dan terjadi duplikasi penerima manfaat antara penerima bantuan dari APBD Provinsi dan penerima bantuan dari APBD Kabupaten/kota. Oleh sebab itu agar kejadian yang sama tidak terulang lagi, maka Pansus merekomendasikan kepada DPRD agar menyurati Gubernur untuk menunjuk dan menetapkan pejabat terkait untuk bertanggung jawab melakukan update dan validasi Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang akan diteruskan kepada Pemerintah Pusat.

Polda Sumbar pun kemudian turun tangan. Polda Sumbar membentuk tim khusus untuk menelusuri dugaan penyelewengan dana penanganan COVID-19 ini.

“Berkaitan dengan temuan BPK, berkaitan dengan informasi adanya penyalahgunaan anggaran, Polda Sumbar telah mengambil langkah-langkah melakukan penyelidikan,” kata Kabid Humas Polda Sumbar Kombes Stefanus Satake Bayu .

Menurutnya, tim khusus diturunkan untuk mengkaji kemungkinan adanya indikasi dugaan korupsi.

Sekaligus juga untuk mempersiapkan bahan apabila sewaktu-waktu ada pelimpahan dari BPK kepada kepolisan.

“Membentuk tim, sehingga tim ini bisa menindaklanjuti apa yang menjadi temuan BPK,” tambah Satake.

LSM KOMUNITAS ANAK DAERAH meminta penegak hukum, khususnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengusut dugaan penyimpangan anggaran Covid-19 di provinsi Sumbar.

Jumlah penyimpangan anggaran diduga mencapai, bahkan diperkirakan lebih dari  Rp.150 miliar. “Penting bagi kita untuk terus mengawal kasus ini,” kata Indrawan.

Polda Sumbar seharusnya sudah menetapkan tersangkan, lakukan Gelar Perkara karena kasus ini sudah melalui BPKP Sumbar, Lewat keterangan tertulis, Senin (15/5/2021). Dugaan penyimpangan mengemuka berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan akhir 2020.

“Aparat penegak hukum, harus terbuka, jangan ditutupi, biar masyarakat percaya.

Penyimpangan yang terjadi, adalah indikasi telah terjadi korupsi. mereka lakukan bersama sama untuk keuntungan pribadi bahkan kelompok.

Jadi, Walaupun uang dikembalikan proses harus tetap berjalan “, kata Indrawan.

“Sebaiknya Polisi harus membuat masyarakat kembali menarush kepercayaan”, tegasnya

Apalgi dugaan korupsi tersebut mencapai Rp.150 miliar dari total Rp.490 miliar. berarti lebih dari 30% diduga diselewengkan pungkas Indrawan. ini perbuatan yang sangat rendah. Dimana masyarakat sedang kesulitan, mereka melah maling uang bersama sama.

Untuk diketahui, ada dua dugaan pola penyelewengan, pertama mark-up dan kedua pembayaran tunai.

Contoh pembelian cairan pembersih tangan atau hand sanitizer sejumlah Rp.4,9 miliar dan pembelian barang secara tunai.

Saksi yang diperikasa mengatakan, pembelian hand sanitizer diduga dilakukan dengan harga yang tidak semestinya yaitu Rp35.000.

Perusahaan pengadaan, diketahui bukan perusahaan medis,  demikian dikatakan saksi.

Melainkan rekanan perusahaan batik. DPRD Sumatra Barat maupun penegak hukum tidak boleh lamban dalam menyelidiki temuan tersebut. kata Haykal menilai

Atas temuan tersebut, LSM KOAD, meminta agar Pansus DPRD lebih transparan mengenai hasil pemeriksaan terhadap dugaan penyimpangan anggaran tersebut.

Mereka meminta Pansus menggandeng aparat penegak hukum yang jujur bila menemukan dugaan pelanggaran pidana dalam kasus ini.

Mahasiswa (BEM-SB) menggelar aksi Demo

Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Sumatera Barat (BEM-SB) menggelar aksi menuntut pelaku yang menyelewengkan dana Covid-19.

Pantauan Jurnalis KD di lapangan mahasiswa dari berbagai kampus di Sumbar baru sampai di titik lokasi aksi sekitar pukul 16:30.

Setiba di lokasi masa membagi tempat berdiri di 4 titik di sekitaran bundaran simpang DPRD Sumbar, Jumat (26/3/2021).

Mereka membentangkan aspirasi melalui kertas karton dan menuliskannya. Antaranya, Pandemi adalah ruang baru bagi koruptor.

walau bagaimanpun ternyata uang lebih menggoda. Koruptor layak duhukum mati. Bahkan ada yang menuliskan ‘Pemerintah kurang asupan gizi makanya mereka korupsi’.

Sebelumnya mahasiswa sudah pernah melakukan aksi yang sama menuntut pemerintah menindaklanjuti perampokok uang negara yang merupakan hak rakyat.

Diberitakan sebelumnya bahwa terjadi penyelewengan dana  Covid-19 yang masih dipertanyakan kejelasannya. (TIM)

Ditambahkan oleh ketua LSM KOAD bahwa kuat dugaan dana yang dipakai untuk pembayaran proyek juga ada yang dibayar dengan dana Covid-19.
Sebagai contoh : ketika proyek sudah di anggarkan, tender sudah dilakukan, tiba tiba pemerintah menarik sebahagian besar dana APBD, ketika dana diturunkan dalam bentuk lain seperti DID misalnya, mau tidak mau mereka akan berupaya untuk melakukan pembayaran memakai dana DID tersebut.
Baru baru ini sebuah proyek yang dikerjakan oleh dinas perdagangan kota Padang, diduga kuat dibayarkan dengan dana DID tersebut.
KabarDaerah.com sudah memuat berita tersebut, hal ini perlu dilakukan investigasi bersama.
Jangan biarkan aparat hukum bekerja sendiri, mari kita bantu untuk mengungkap penyimpangan yang terjadi khusunya di provinsi Sumatera Barat.
UANG Rp.4,3 MILIAR DIKEMBALIKAN
Uang Rp 4,3 miliar dikembalikan Kalaksa BPBD Sumbar Erman Rahman membenarkan adanya temuan itu.
Total temuan tersebut ialah Rp 4,9 miliar dari harga hand sanitizer yang kemahalan.
“Ada temuan di Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI sekitar Rp 4,9 miliar atas indikasi kemahalan harga barang,” kata Erman
(dikutip dari Kompas.com.)
Namun menurutnya, rekanan telah mengembalikan biaya barang yang kemahalan itu. “Sekitar Rp 4,3 miliar sudah dikembalikan. Sedangkan sisanya dalam minggu ini dibayarkan,” ujarnya.

KPK diminta turun tangan, menagani kasus Covid-19 di Sumbar.

Laporan yang disampaikan oleh Koalisi Masyarakat Antikorupsi Sumbar masih dipelajari oleh tim di lembaga antirasuah itu.

“Tentu kita (KPK, red) pelajari dulu apakah ini tindak pidana korupsi dan masuk kewenangan KPK atau tidak,” kata Nurul Ghufron di Padang, Kamis (18/3).

Mantan dekan fakultas hukum di Universitas Jember itu mengatakan bila kasus itu ternyata korupsi tetapi bukan wewenang KPK, maka akan ditangani oleh kepolisian atau kejaksaan.

Kejaksaan Tinggi (Kajati) Sumbar Anwarudin Sulistiyono

Sementara itu, Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Sumbar Anwarudin Sulistiyono menyebut proses pemeriksaan terkait dugaan penyimpangan dana Covid-19 di Sumbar, tengah dilakukan oleh Polda Sumbar.

“Jadi, kejaksaan menunggu, karena ada nota kesepakatan bersama.

Instansi mana yang sudah menggelar penyelidikan lebih dahulu itulah yang kita ikuti. Tetapi kita memantau,” kata Anwarudin.

(sumber : Antara,covesia.com)