Afrizal SH menjelaskan Unsur Pidana Bypass Teknik Sudah Terpenuhi

Saumbar.KabarDaerah.com-Saat saya menjelaskan tentang hak, dalam berita sebelumnya, sudah dijelaskan bahwa anak,adik,istri Rusdi (alm), ketika tidak melaksanakan kewajiban pihak pewaris seperti tersebut dalam pasal 1340, 1337, 1100, 1045, 1646, KUHPerdata, mereka Tidak Berhak.

Tentunya Pidana yang dilaporkan harus dilakukan proses hukum sesuai aturan hukum Perkapolri dan KUHAP.

 

BERIKUT MARI KITA PAHAMI APA ITU TINDAK PIDANA,

Tindak pidana adalah perbuatan terlarang, melanggar undang-undang dan dapat terancam hukuman apa bila dilakukan. Perbuatan tersebut juga dapat menyebabkan kerugian bagi orang lain, bahkan membahayakan.

Agar penyidik tidak ragu melaksanakan UU maka pahami unsur pidana diatas yaitu terlarang oleh pasal 1337. karena tidak dapat mengambil manfaat karenanya, karena UU tidak mewajibkan atau mengharuskan, Sehingga, setidaknya, Ketika anak, adik dan istri Rusdi (alm) melakukan perbuatan hukum seperti merusak gembok, menguasai usaha, menjual. mencuri aset TOKO BYPASS TEKNIK. adalah perbuatan terlarang bagi pihak ketiga.

Termasuk pihak lain juga berlaku hal yang demikian, seperti anak, adik, dan istri Rusdi (alm) berlaku aturan hukum.

Terutama ketika telah dilakukan perbuatan hukum. jika mau menyadari, kita harus berhati-hati.

Penyidik diberikan kewenangan melakukan tangkap-tangan, sehingga para pekerja dapat dianggap sebagai bersama sama melakukan kejahatan, kata Afrizal mengingatkan.

Jika disadari, bahwa Polisi adalah penegak hukum, berbeda dengan masyarakat umum, terhadap Polisi berlaku dua aturan hukum, Pidana umum dan etika profesi, Polisi juga harus taat terhadap aturan tersebut.

Semoga bapak-bapak Polisi berkenan melaksanakan penyelidikan dan penyidikan, mengawal, melakukan supervisi terhadap proses hukum pidana perkara TOKO BYPASS TEKNIK, katanya lagi

Mari kita jadikan Perkara TOKO BYPASS TEKNIK sebagai ajang menaikkan kredibilitas Polri setidaknya di Sumbar. Jangan sampai perkara ini menjadi batu sandungan, karena sebagai pengacara, saya yakin pelapor tidak akan menyerah begitu saja, kata Afrizal SH.

Selama periode Oktober 2021- Agustus 2022, terjadi berbagai pelanggaran pidana. Bahkan sebelum dilakukannya proses hukum dengan benar, akan terus terjadi pelanggaran pidana, hal inilah yang harus diluruskan.

Tinggalkan dulu kepentingan pribadi, mari kita utamakan penegakan hukum yang berkeadilan. Penyidik jangan salah memahami pasal pasal. jika kurang paham mari kita diskusikan. jelas Zal lagi.

lanjut afrizal SH,  “Salah memahami, bisa membuat salah mempersepsikan, sehingga salah melaksanakan, sehingga terjadi pembiaran yang berakibat barang bukti banyak yang hilang”, kata Afrizal SH.

Siapakah yang bertanggung jawab atas keadaan ini….. ?

Klien saya sebagai warga negara, karena berdasarkan UU, melaporkan kejahatan/pelanggaran atau tindak pidana kepada pihak kepolisian.

“Wassidik Polda Sumbar sudah diserahi tugas pengawasan oleh pimpinan Polda Sumbar, mari kita rubah pola penanganan perkara, mulai dari pelaporan sampai tahap peradilan, kita manfaatkan Jaksa sehingga kita bisa dapat petunjuk, kita punya hakim mengadili. sehingga tugas Polisi tidak terlalu berat, dimana bukti juga diseiakan pelapor, segera lakukan penyelidikan dan penyidikan sesuai aturan hukum”, ajak zal.

Jangan paksakan klient saya, laporan yang dulakukan klien saya bukan delik aduan tapi adalah delik biasa, saya hanya mengingatkan, kata Afrizal.

 

PENCURIAN MERUPAKAN DELIK BIASA,

Tidak semua perkara harus mengadu terlebih dahulu, jika delik pidana biasa tanpa mengadupun polisi punya kewenangan melakukan proses hukum. Sedangkan masyarakat wajib melaporkan dugaan kejadian tindak pidana, setelah itu polisi yang diwajib melakukan tugasnya.

Kecuali terjadinya dengan diantara keluarga, delik biasa tidak bisa dicabut, kewajiban pelapor hanya melaporkan berdasarkan UU.

Dengan dilaksanakannya proses hukum sesuai aturan hukum yang berlaku, dimulai dari sistem pelaporan di SPKT Polda disempurnakan, jelas Afrizal.

Berikut mari kita pahami tentang, Pasal 362 KUHP, 

PENCURIAN, “Barang siapa yang mengambil barang sesuatu, atau yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain dengan maksud untuk memiliki secara melawan hukum diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah”.

Dari Pasal 362 kita kutip kata kepunyaan orang lain seluruh atau sebahagian. Jika sebahagiannya kepunyaan orang lain, Polisi sudah dapat melakukan proses hukum. namun proses hukum tidak akan terpenuhi jika pemilik barang adalah milik pelaku seluruhnya, tapi kalau barang tersebut sebahagian tentunya unsur sudah terpenuhi.

Diceritakan oleh klien saya bahwa dia  diminta oleh Penyidiik untuk mengadakan bukti kepemilikan atas barang yang diperkarakan.

Bahkan orang yang menjual barang tersebut harus di BAP dihadirkan di kator polisi, sedangkan suatu yang wajib dilakukan oleh polisi menghadirkan calon tersangka dengan melakukan berbagai cara yang dibenarkan dalam proses penyelidikan. Menurut saya sebagai orang hukum tentunya yang dilakukan itu adalah sebuah lelucon. mari kita perhatikan kata demi kata :

” Mengambil barang sesuatu, atau yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain” “dengan maksud untuk memiliki” secara melawan hukum” jika kita sudah melakukan permintaan keterangan maka terlihat titik dimana kita harus melakukan penekananan agar perbuatan tersebut menjadi terang,  bahwa yang dilakukan tersebut adalah perbuatan pidana.

  1. Barang siapa
  2. Mengambil barang sesuatu, atau yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, yang perlu ditanya tentunya adalah yang diduga tersangka, tetapi ketika yang dicerca dengan berbagai pertanyaan adalah pelapor, bahkan sampai sampai menyediakan barang bukti sampai kepada kwitansi dan akan melakukan BAP penjual, tentunya hal ini sudah sangat jelas dan dapat diduga telah terjadi sesuatu dengan perkara tersebut.
  3. Kerugian jelas ada, berarti salah satu unsur sudah terpenuhi.
  4. Pidananya 5 tahun,

Jawaban saya sebagai pengacara adalah:

Untuk delik biasa tidak demikian kewajiban pelapor, karena unsur pidana pencurian adalah seperti yang diterangkan diatas. Sebagai orang yang paham dengan hukum, tidak etis jika kita anggap orang yang tidak paham bisa dipermainkan dengan berbagai dalih, kata Afrizal lagi.

Pencurian merupakan delik biasa, tidak ada masalah dengan pembuktian hak, bahkan polisi tanpa pengaduanpun bisa melakukan proses hukum.

Dengan adanya kata seluruh atau sebahagian kepunyaan orang lain. maka, jangankan anak-anak Rusdi, bahkan Rusdi sendiri juga bisa kena pasal pidana.

Untuk penyidik yang menagani perkara Toko Bypass Teknik, agar memperhatikan bunyi kalimat dari pasal 362 tersebut.

Dalam perkara pidana, suatu proses perkara dilakukan berdasarkan kepada deliknya. Terkait hal ini, ada dua jenis delik yang biasanya digunakan, yakni delik biasa dan delik aduan.

Delik biasa atau delik yang bukan delik aduan adalah delik yang dapat diproses langsung oleh penyidik tanpa adanya persetujuan dari korban atau pihak yang dirugikan.

Dengan kata lain, tanpa adanya pengaduan atau sekalipun korban telah mencabut laporannya, penyidik tetap memiliki kewajiban untuk melanjutkan proses perkara tersebut.

Sedangkan Delik aduan. dalam KBBI diartikan, delik sebagai perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang; tindak pidana.

Kemudian, definisi aduan berdasarkan KBBI adalah perihal atau perkara yang diadukan; hal mengadukan. Secara etimologis, delik aduan berarti tidak pidana yang diadukan.

Jika ditinjau secara hukum atau dalam melakukan proses hukum suatu perkara, delik aduan berarti delik yang hanya bisa diproses apabila ada pengaduan atau laporan dari orang yang menjadi korban tindak pidana.

E. Utrecht dalam Hukum Pidana.II mengungkapkan bahwa dalam delik aduan, penuntutan terhadap delik tersebut digantungkan pada persetujuan dari yang dirugikan atau korban.

Jika pelaksanaan proses hukum sesuai dengan aturan hukum (penyelidikan sampai ke penyidikan), masyarakat pelapor akan puas dengan kinerja Polisi. sehingga dapat dipastikan mereka tidak akan mencari jalan lain kejenjang yang lebih tinggi.

Jika penegak hukum benar benar melakukan penegakan hukum, kami dengan senang hati, mari kita lakukan diskusi. sehingga bisa menjadi ilmu yang bermanfaat.

Kadang sebagian orang tidak yakin bahwa kebenaran wajib ditegakkan bahwa semuanya akan diminta pertanggungjawaban, bukan hanya di dunia bahkan sampai ke akhirat kelak. 

Terakhir Redaksi sempat bertanya kepada pelapor, kenapa laporan pelapor tidak satupun yang bisa naik ketahap penyidikan.???

Jawaban pelapor sangat jelas

Bagaimana mungkin bisa naik ketahap peyidikan, untuk sampai  ketahap penyidikan harus terpenuhi dua alat bukti permulaan.

Fungsi Bukti Permulaan yang Cukup

Terkait kedua pasal ini, Chandra M Hamzah dalam bukunya Penjelasan Hukum tentang Bukti Permulaan yang Cukup menjelaskan bahwa pada dasarnya, fungsi bukti permulaan yang cukup dapat diklasifikasikan atas 2 (dua) buah kategori, yaitu merupakan prasyarat untuk:

  1. Melakukan penyidikan;
  2. Menetapkan status tersangka terhadap seseorang yang diduga telah melakukan suatu tindak pidana.

Terhadap kategori pertama, Chandra M. Hamzah menjelaskan bahwa fungsi bukti permulaan yang cukup adalah bukti permulaan untuk menduga adanya suatu tindak pidana dan selanjutnya dapat ditindaklanjuti dengan melakukan suatu penyidikan. Sedangkan terhadap kategori kedua, fungsi bukti permulaan yang cukup adalah bukti permulaan bahwa (dugaan) tindak pidana tersebut diduga dilakukan oleh seseorang.

KUHAP tidak mensyaratkan berapa banyak bukti yang harus dimiliki sehingga prasyarat bukti permulaan yang cukup telah terpenuhi, akantetapi KUHAP mensyaratkan bahwa: (1) dari bukti(-bukti) tersebut harus dapat diduga adanya tindak pidana (untuk melakukan penyidikan) atau (2) dari bukti-bukti tersebut harus dapat diduga bahwa seseorang adalah pelaku tindak pidana (untuk menetapkan tersangka). Karena bukti permulaan yang cukup hanya dikenal dan hanya digunakan dalam proses penyelidikan, maka bukti permulaan yang cukup dapat terdiri atas:

  1. Keterangan (dalam proses penyelidikan);
  2. Keterangan saksi (dalam proses penyidikan);
  3. Keterangan ahli (dalam proses penyidikan); dan
  4. Barang bukti, bukan alat bukti (dalam proses penyelidikan dan penyidikan).

Secara praktis bukti permulaan yang cukup dalam rumusan Pasal 17 KUHAP itu harus diartikan sebagai “bukti minimal” berupa alat bukti seperti dimaksud Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yang dapat menjamin bahwa penyidik tidak akan menjadi terpaksa untuk menghentikan penyidikan terhadap seseorang yang disangka melakukan suatu tindak pidana, setelah terdapat orang tersebut dilakukan penangkapan.

Membaca pasal-pasal terkait di atas, dapat disimpulkan bahwa KUHAP tidak mengatur mengenai definisi bukti permulaan yang cukup dalam tahap penangkapan. Namun, hal ini diatur dalam Keputusan Bersama Mahkamah Agung, Menteri Kehakiman, Kejaksaan Agung, dan Kapolri No. 08/KMA/1984, No. M.02-KP.10.06 Tahun 1984, No. KEP-076/J.A/3/1984, No. Pol KEP/04/III/1984 tentang Peningkatan Koordinasi dalam Penanganan Perkara Pidana (Mahkejapol) dan pada Peraturan Kapolri No. Pol. Skep/1205/IX/2000 tentang Pedoman Administrasi Penyidikan Tindak Pidana di mana diatur bahwa bukti permulaan yang cukup merupakan alat bukti untuk menduga adanya suatu tindak pidana dengan mensyaratkan minimal satu laporan polisi ditambah dengan satu alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP.

Pasal 184 KUHAP mengatur mengenai alat bukti yang sah. Sebelumnya, di dalam Pasal 183 KUHAP dinyatakan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Oleh karena itu, berdasarkan Pasal 184 KUHAP yang seringkali dikenal sebagai alat bukti yang sah dalam penjatuhan putusan oleh hakim, antara lain: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.

Indrawan menjelaskan, “Tiga laporan yang masuk ke Polsek dan Polresta Padang, dimana perkara, sangkaan perbuatan adalah sama, tetapi polisi menjawab dengan alasan yang berbeda, tidak ada suatu alasan yang sebenarnya, sehingga kita bisa membaca apa sebenarnya yang terjadi”.

Salah satu contoh, sebagai pelapor, saya sempat mempertanyakan kepada, bapak Kapolres, Kapolsek dan Kasat Rekrim Polresta Padang.

 

JAWABAN BERBEDA DIBERIKAN 

Berikut jawabannya:

Kapolres adalah terlapor sudah meninggal dunia, jawaban di SPPHP Kasat Reskrim Polresta Padang menjawab belum ada alat Bukti.

Sedangkan bapak Kapolsek Kuranji bersikukuh dan menjawab dalam SPPHP, bahwa laporan saudara tidak terpenuhi unsur penggelapannya, karena terkait perjajian saudara Indrawan dengan Rusdi.

Menurut Indrawan sebagai pelapor, jawaban Kapolsek kuranji dalam SPPHP yang paling ngawur. jika kita lihat dari redaksi kata, seakan Kapolsek menyamakan antara unsur pidana dengan perdata.

Unsur pidana sudah dijelaskan oleh UU  unsurunsur tindak pidana adalah: 1. Subjek, 2. Kesalahan, 3. Bersifat melawan hukum, 4. Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undang-undang terhadap pelanggarannya diancam dengan pidana, 5. Waktu, tempat dan keadaan dan unsur objektif lainnya, jelas Indrawan

Lima unsur di atas, dapat disederhanakan menjadi unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur SUBJECTIF meliputi subjek dan adanya unsur kesalahan.  Sedangkan yang termasuk unsur OBJECTIF adalah perbuatannya bersifat melawan hukum, tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undang-undang/perundangan dan terhadap pelanggarnya diancam pidana, dan dilakukan dalam waktu, tempat dan keadaan tertentu, kata Indrawan menjelaskan
PENGACARA AFRIZAL SH MENJELASKAN: 
dikutip dari P. A. F. Lamintang dalam buku Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia juga berpendapat bahwa setiap tindak pidana yang terdapat dalam KUHP pada umumnya dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur yang pada dasarnya dapat kita bagi menjadi dua macam unsur, yakni unsur-unsur subjektif dan unsur-unsur objektif (hal. 193).
Yang dimaksud dengan unsur subjektif itu adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk ke dalamnya, yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya (hal. 193).
Sedangkan yang dimaksud unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan (hal. 193).
Unsur subjektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah (hal. 193 – 194):
  1. kesengajaan (dolus) atau ketidaksengajaan (culpa);
  2. maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud di dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP;
  3. macam-macam maksud atau oogmerk, seperti yang terdapat di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan, dan lain-lain;
  4. merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad, seperti yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan berencana dalam Pasal 340 KUHP;
  5. perasaan takut atau vrees, seperti terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.
Unsur-unsur objektif dari sesuatu tindak pidana adalah (hal. 194):
  1. sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkbeid;
  2. kualitas dari si pelaku, misalnya “keadaan sebagai seorang pegawai negeri” di dalam kejahatan jabatan atau “keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas” di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP;
  3. kausalitas, yakni hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.
Untuk penyidik yang mengatakan bahwa diperlukan Kwitansi, bukti pembelian sepertinya kurang tepat jika diperlakukan kepada klien saya.
Sangat lucu jika polisi mengatakan persyaratan demikian. apalagi jika sangkaan kita adalah pasal yang merupakan delik biasa, maka bertambah lucu jika klient saya dipersaratkan demikian.
katanya sambil ketawa.
Unsur wederrechttelijk selalu harus dianggap sebagai disyaratkan di dalam setiap rumusan delik, walaupun unsur tersebut oleh pembentuk undang-undang tidak dinyatakan secara tegas sebagai salah satu unsur dari delik yang bersangkutan (hal. 194).
(diktip dari buku) P. A. F. Lamintang kemudian menerangkan apabila unsur wederrecttelijk dinyatakan secara tegas sebagai unsur dari delik, maka tidak terbuktinya unsur tersebut di dalam peradilan akan menyebabkan hakim harus memutus sesuatu vrijkpraak atau pembebasan (hal. 195).
Apabila unsur wederrecttelijk  tidak dinyatakan secara tegas sebagai unsur dari delik, maka tidak terbuktinya unsur tersebut di dalam peradilan akan menyebabkan hakim harus memutuskan suatu ontslag van alle rechtsvervolging atau suatu “pembebasan dari segala tuntutan hukum” (hal. 195).
Maka, untuk mengetahui apakah suatu perbuatan adalah tindak pidana atau bukan, perbuatan tersebut harus memenuhi unsur-unsur delik atau tindak pidana yang dimaksud itu.
Dalam penerapan unsur-unsur tindak pidana menurut Afrizal SH:
Untuk mengetahui apakah perbuatan dalam sebuah peristiwa hukum adalah tindak pidana dapat dilakukan analisis mengenai apakah perbuatan tersebut telah memenuhi unsur-unsur yang diatur dalam sebuah ketentuan pasal hukum pidana tertentu.
Untuk itu, harus diadakan penyesuaian atau pencocokan (bagian-bagian/kejadian-kejadian) dari peristiwa tersebut kepada unsur-unsur dari delik yang didakwakan.
Jika ternyata sudah cocok, maka dapat ditentukan bahwa peristiwa itu merupakan suatu tindak pidana yang telah terjadi yang (dapat) dimintakan pertanggungjawaban pidana kepada subjek pelakunya.
Namun, jika salah satu unsur tersebut tidak ada atau tidak terbukti, maka harus disimpulkan bahwa tindak pidana belum atau tidak terjadi.
Hal ini karena, mungkin tindakan sudah terjadi, tetapi bukan suatu tindakan yang terlarang oleh undang-undang terhadapnya dapat diancamkan suatu tindak pidana.
Mungkin pula suatu tindakan telah terjadi sesuai dengan perumusan tindakan dalam pasal yang bersangkutan, tetapi tidak terdapat kesalahan pada pelaku dan/atau tindakan itu tidak bersifat melawan hukum.
P. A. F. Lamintang lebih jauh menjelaskan bahwa apabila hakim berpendapat bahwa tertuduh tidak dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya, maka hakim harus membebaskan tertuduh dari segala tuntutan hukum atau dengan kata lain, hakim harus memutuskan suatu ontslag van alle rechtsvervolging, termasuk bilamana terdapat keragu-raguan mengenai salah sebuah elemen, maka hakim harus membebaskan tertuduh dari segala tuntutan hukum (hal. 197).
Unsur-unsur delik tercantum dalam rumusan delik yang oleh penuntut umum harus dicantumkan di dalam surat tuduhan (dakwaan) dan harus dibuktikan dalam peradilan (hal. 195 & 197).
Bilamana satu atau lebih bagian ternyata tidak dapat dibuktikan, maka hakim harus membebaskan tertuduh atau dengan perkataan lain harus memutuskan suatu vrijspraak.

Demikian dijelaskan terkait unsur pidana, selanjutnya adalah jawaban berbeda dari Kapolres, Kapolsek, Penyidik pembantu. Dalam hal ini dapat dilihat bahwa TKP nya sama, dugaan pelaku, satu orang adik dan dua lagi adalah anak Rusdi (alm) seharusnya jawabannya sama. Lalu kenapa jawaban berbeda..?

Sedangkan perbuatannya yang terjadi sama-sama tanpa hak dan melanggar hukum. (Lihat pasal 1340, 1337 KUHPerdata)

Penyidik Polresta Padang dan Polsek Kuranji sepertinya kurang persiapan dalam memutus perkara. yangjelas Polsek Kuranji dan Polresta Padang menghentikan perkara banyak keanehan, jelas Afrizal SH

 

Hasil Penanganan Laporan Perkara Etika Profesi belum memehuhi rasa keadilan

Setelah ketiga perkara tersebut dilaporkan ke Kadiv Propam Mabes Polri, saya menyakini bahwa diduga kuat masih terjadi pelanggaran kode Etik dan Propesi. Sebagai contoh disaat melapor, berikutnya pada saat proses penyelidikan ditingkat Polres dan Polsek.

Sebenarnya, selain mendiamkan/mengulur waktu proses pidana selama hanpir sebelas bulan, disengaja ataupun tidak, tentunya berakibat pada penanganan perkara selanjutnya. karena Barang Bukti banyak yang hilang.

Agar, para penyidik belajar dari masalah Bypass Teknik Ini, dari awal penyidik sudah enggan melakukan proses hukum. mulai dari menghalangi untuk melapor, bahkan, Polisi tidak mau menerima laporan resmi, ketika sudah dibuat pengaduanpun tetap diakali agar dapat dihentikan.

Dipertegas dalam Pasal 1 angka 21 Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana yang menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan bukti permulaan itu sendiri adalah alat bukti berupa Laporan Polisi dan satu alat bukti yang sah, yang digunakan untuk menduga bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana, selanjutnya sebagai dasar untuk dapat dilakukan penangkapan.

Disaat Polsek dan Polres sudah menerima laporan Polisi, Pimpinan Polsek bahkan Kapolres sendiri masih sibuk  berwacana dengan dalih yang ngawur, seakan akan polisi menempatkan diri sebagai pengacara terlapor.

 

WASSIDIK ADAKAN KLARIFIKASI

Bahkan terakhir wassidik pun juga ikut ikutan melakukan penekanan melalui acara Klarifikasi.  Sangat disayangkan ketika wassidik memfasilitasi melakukan penekanan dengan menghadirkan 11 orang untuk menekan pelapor dengan berbagai pertanyaan.

Ketika dilakukan pelaporan etika profesi ke mabes Polri, akhirnya dilimpahkan ke Propam Polda Sumbar, sepertinya penanganan perkara masih belum berjalan, dan sampai hari ini sudah 11 hari surat pemberi tahuan SP2HP dikirimkan kepada klien saya. jelas Afrizal SH.