Afrizal SH: Saya Hanya mengingatkan agar Polda Segera lakukan proses hukum sesuai aturan

Sumbar.KabarDaerah.com– Dalam berita sebelumnya, sebagai pengacara saya sudah menjelaskan tentang siapa pemilik hak atas usaha Toko Bypass Teknik yang merupakan persekutuan modal antara Rusdi dengan Indrawan. dalam berita sebelumnya.

Ketika pihak pewaris tidak melaksanakan kewajiban seperti yang disebutkan dalam UU-KUHPerdata pasal 1340, 1337, 1100, 1045, 1646 KUHPerdata.

“Secara implisit UU sudah mengatakan bahwa anak,adik istri Rusdi (alm)  TIDAK BERHAK. beranjak dari tidak memiliki hak barulah kita lanjutnya ke tahap berikutnya, jangan dibiarkan kejahatan terus terjadi”, kata Zaimul Bakri.

Dengan demikian tentunya perbuatan tindak Pidana yang telah dilaporkan, harus segera dilakukan proses hukum sesuai aturan hukum (Perkapolri dan KUHAP).  Bukannya diarahkan kepada gugatan perdata kepengadilan. karena sangat jahat perbuatan yang kita lakukan disaat seseorang yang seharusnya diberikan bantuan malah dizalimi bersama sama. atau berusaha melakukan pembatalan laporan dengan melakukan penekanan serta berbagai ancaman, saya sangat prihatin terhadap klien saya. karena saya mengetahui klien saya. dia tidak pernah menyerah. mari kita buktikan kata Afrizal.

Klien saya mengatakan bahwa, dia bukannya tidak mengerti dengan aturan, tapi alangkah baiknya jika laporan masyarakat ditanggapi sesuai aturan hukum. karena tidak semua orang paham dengan aturan tersebut. saya pastikan bahwa klien saya sangat kukuh dengan pendiriannya karena dia paham, jelas zal

Lagi pula, Melaksanakan kewajiban sebagai penegak hukum adalah kewajiban, Polisi tentunya sudah memahami, jangan lakukan langkah-langkah yang merugikan diri sendiri dan pelapor, kata Afrizal.

Seharusnya Polisi berterimakasih, semuanya disediakan, bukti sudah disediakan pelapor, bukti lain sebagai petunjuk juga disediakan. tinggal Polisi melakukan olah TKP, melakukan penyelidikan sesuai aturan, tambah Afrizal.

Kata Afrizal lagi,  “Tulisan ini sengaja saya tulis di Media KabarDaerah.com agar kita paham dengan proses hukum”.

 

Yang tak kalah penting, saling mengingatkan perlu dilakukan. karena yakinlah bahwa perbuatan yang tidak adil akan kembali kepada diri sendiri.

Polisi memilki Kode Etik dan Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Kita bisa lihat dan saksikan berbagai ketidakadilan yang terjadi terutama yang dilakukan oleh polisi. katakanlah sebagai contoh kasus Irjen pol Ferdi Sambo yang sekarang sedang menjadi trending topik, Jika kita pahami, hal itu tidak terjadi begitu saja.

Saya meyakini semua kejadian saling terhubung. untuk itu saya hanya mengingatkan. bahwa Negara ini akan hancur jika hukum tidak tegak.

Petinggi Polri sudah menyusun berbagai aturan untuk dilaksanakan oleh jajaran dibawahnya.

Jika bawahan Kapolri tidak patuh terhadap aturan tersebut, hukum dipastikan tidak akan tegak akibatnya  masyarakattidak akan  puas atas kinerja Polisi.

Kode Etik Profesi kepolisian telah diatur dalam undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2006 sebagaimana telah dirubah dengan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia, sehingga Kode Etik Profesi Polri berlaku bagi setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.

 

Untuk menegakkan Kode Etika Profesi Polri, maka disetiap tingkatan Polri (Polsek, Polres, Polda dan Mabes), harus mampu memberikan sanksi kepada Anggota Polri yang melakukan pelanggaran melalui sidang Kode Etik Profesi (KEP) maupun Sidang Disiplin.

 

Penegakan etika terhadap anggota Polri, diharapkan dapat dilaksanakan oleh setiap Kepala satuan organisasi Polri.

Selaku atasan yang berhak menghukum (Ankum) di seluruh tingkatan sehingga pelanggaran sekecil apapun harus ditindak-lanjuti dengan tindakan berupa korektif atau sanksi.

 

Berkaitan dengan penegakan kode Etik Profesi Polri dalam rangka mewujudkan Polri yang bersih dan berwibawa, yang merupakan bagian dari penegakan hukum.

 

Menurut Soerjono Soekanto tidak terlepas dari faktor-faktor yang menghambat yaitu faktor perundang-undangan (substansi hukum),  faktor penegak hukum, faktor prasana atau fasilitas, faktor kesadaran hukum, dan faktor budaya masyarakat dan Anggota Polri, serta fakor Pengawasan yang berasal dari dalam dan dari luar organisasi.

 

Apabila hal ini selalu terpelihara, maka pelanggaran-pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Anggota Polri dapat diminimalisir. Terkait dengan uraian singkat tersebut di atas, maka permasalahan yang perlu dibahas dan dan dilakukan penelitian adalah:

 

Pertama, bagaimana Penegakan Kode Etik Polri Terhadap Anggota yang melakukan Tindak Pidana Penulisan Artikel ini menggunakan metode pendekatan yuridis sosiologis yaitu penelitian dan pembahasan yang didasarkan pada ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku dan Wawancara. Telah didapat kesimpulan bahwa penerapan pelanggaran kode etik profesi Kepolisisan Negara Republik Indonesia dapat dilakukan secara prosedural berdasarkan ketentuan Peraturan Kapolri Nomor 14 tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polri.

 

Ketentuan tentang penyidikan diatur dalam Bab XIV KUHAP, terdiri dari dua bagian, yaitu penyelidikan dan penyidikan. Penyelidikan diatur dalam Pasal 102 sampai dengan pasal 105 sedangkan  Penyidikan diatur dalam Pasal 106 sampai dengan Pasal 136. Jika dikaitkan dengan ketentuan KUHAP yang mengatur tentang kewenangan dan tindakan penyelidik serta kewenangan penyidik, “serangkaian tindakan penyelidik dan penyidik” sebagaimana pengertian penyelidikan dan penyidikan tidak hanya tercantum dalam Bab XIV KUHAP, melainkan juga tercantum dalam bab dan pasal-pasal lain di dalam KUHAP. Wewenang, kewajiban penyidik dan ruang lingkup penyidikan, juga harus dilihat dari bab dan pasal-pasal lain dalam KUHAP.

Polri kemudian berupaya untuk mengatur bab dan bagian yang tercecer dalam KUHAP tersebut agar menjadi lebih sistematis sebagaimana yang tertuang dalam Perkap 14/2012 tentang Manajemen Penyidikan serta tertuang dalam Perkabareskrim 3/2014 tentang SOP Penyidikan.

 

Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, secara garis besar dapat dikemukakan bahwa proses penyidikan dimulai setelah adanya laporan dari masyarakat kemudian setelah ditemukan peristiwa yang diduga tindak pidana.

 

Perlu dilakukan laporan terlebih dahulu baru kemudian temuan di tindaklanjuti dengan penyelidikan, apakah ada perbuatan pidana atau tidak dalam suatu peristiwa.

Dimana Penyelidikan dihentikan jika tidak ada dugaan tindak pidana dalam peristiwa tersebut.

Demikian juga sebaliknya, penyelidikan dilanjutkan ke tahap penyidikan jika ada dugaan tindak pidana dalam peristiwa tersebut.

Lalu bagaimana mungkin hal tersebut dapat berjalan dengan benar jika proses diabaikan.

Jika telah dilakukan penyidikan wajib diberitahukan kepada penuntut umum (kejaksaan/JPU).

Sepertinya ini yang membuat berat petugas kepolisian. sehingga polisi lebih kepada menjaga agar tidak banyak tunggakan perkara.

 

Dalam proses penyidikan, penyidik mempunyai wewenang untuk melakukan pemanggilan, saksi, saksi ahli dan tersangka, berikut melakukan pemeriksaan saksi, saksi ahli dan tersangka, melakukan penangkapan dan menahan tersangka, melakukan penggeledahan badan dan penggeledahan rumah/bangunan, serta melakukan penyitaan barang bukti.

Penyidik melakukan kegiatan tersebut dalam rangka mengumpulkan bukti bukti yang nantinya akan dipakai sebagai bahan di pengadilan.

 

Apabila proses penyidikan sudah dianggap cukup, penyidik melimpahkan berkas perkaranya kepada JPU (Tahap I).

Tersangka dan barang bukti wajib diserahkan oleh penyidik kepada JPU jika berkas perkara telah dinyatakan lengkap (Tahap II).

 

Ketika penyidik telah melakukan Tahap II, terjadi perpindahan kewenangan dan tanggung jawab dari penyidik kepada JPU.

Penyidikan dihentikan apabila ternyata perkara tersebut tidak cukup bukti, bukan perkara pidana dan dihentikan demi hukum.

 

Penghentian penyidikan dengan alasan demi hukum dilakukan karena tersangka meninggal dunia, pengaduan dicabut (khusus delik aduan), nebis in idem dan kadaluarsa.

Penyidik wajib memberitahukan penghentian penyidikan ini kepada JPU, tersangka atau keluarganya.

 

Dalam kerangka sistem peradilan pidana (criminal justice system), proses yang dilakukan oleh Polri merupakan proses atau tahapan sebelum persidangan (pre-trial processes).

 

Proses ini dimulai dari suatu input, kemudian input tersebut diproses, lalu menghasilkan suatu output. Input suatu perkara ini dimulai dari laporan yang masuk kepada Polri dan atau perkara yang ditemukan sendiri oleh polri.

 

Proses yang dilakukan oleh Polri akan menghasilkan output, apakah akan diselesaikan di kepolisian atau diajukan kepada JPU untuk diajukan ke persidangan.

 

Hanya saja, berbeda dengan yang terjadi di kepolisian mulai dari Polsek, Polresta, bahkan Polda Sumbar terkait TOKO BYPASS TEKNIK, Dimana pada tahap awal melakukan laporan, pelapor telah mendatangi SPKT Polda Sumbar.

Setelah berusaha tiga kali untuk melaporkan, akhirnya pelapor diminta untuk membuat pengaduan.

 

Pada tahap berikutnya pelapor menyurati Kapolda, untuk melapor melalui surat atas dugaan tindak pidana.

Surat dikirim mulai dari sebelum tanggal 20 Juni 2022. Dan dilanjutkan laporan perkara lain tanggal 3 Juli 2022.

 

Kedua surat tersebut justru sampai saat ini tidak dilakukan proses hukum sesuai aturan.

Begitu sulitnya melakukan pelaporan ke Polda Sumbar??

Bukankah melaporkan pidana merupakan kewajiban warga negara berdasarkan undang- undang.

Selanjutnya, kewajiban Polisi adalah melakukan proses mulai dari penerimaan laporan serta memberikan surat tanda terima laporan.

 

Hal inilah permasalah pokok yang terjadi di Polda Sumbar. Sebagai seorang aktivis yang berkecimpung dalam dunia LSM, dan sebagai pihak yang dirugikan.

Klien saya merasa dizalimi oleh sistem yang berlaku di Polda Sumbar.

 

Untuk itu, perlu adanya pembenahan akan sistem pelaporan yang berlaku di Polda Sumbar setidaknya untuk kedepan.

 

Polda adalah institusi Polri tertinggi ditingkat provinsi. Jika Polda yang melakukan.

Kemana lagi Masyarakat  melapor, jika Polda saja menolak, bahkan pengaduan yang telah dilakukanpun begitu gampang dihentikan.

 

Maka sempurnalah kesulitan yang dialami masyarakat.

 

Walau dalam beberapa kali pertemuan, pihak penyidik mulai dari Polresta, Polsek, Kasat, dan Panit bahkan sampai kepada penyidik tidak bisa mempertahankan bahwa keputusan mereka belum bisa diterima oleh pelapor. Bagaimana tidak. Gelar perkara saja dilakukan diam diam. Saat pelapor minta diundang, Polres berkelit bahwa hanya gelar Internal.

Yang membuat saya tidak henti-hentinya berfikir. Ketika masyarakat yang tidak paham dengan hukum, akan lebih gampang dibodoh bodohi.

Ketika, saat akan dilakukan proses melapor, SPKT seakan akan enggan menerima laporan.

Berbagai pertanyaan diajukan tapi dengan tujuan agar pelaporan tidak memenuhi syarat, bahkan ada yang sampai dibatalkan. (Tim)