Membaca Pandangan Sufi tentang Hadiah Pahala kepada Orang Yang Telah Wafat dari Perspektif Pemahaman Agama Muhammadiyah

OPINI & ARTIKEL76 Dilihat

Penalaran agama mengalami perkembangan pesat pasca generasi salaf. Dalam bidang fiqh ibadah, perkembangan dimaksud tidak saja dalam aspek pemikiran esensi fiqih ibadah, bahkan lebih jauh tentang aspek bentuk dalam ibadah. Lebih kongkret, contoh perkembangan dimaksud misalnya munculnya amalan takziah kematian yang bentuk dan tata caranya belum ada pada masa Rasulillah dan para sahabat seperti tahlilan kematian, kenduri untuk yang sudah wafat, dan sebagainya. Pertanyaan yang sering muncul terhadap masalah seperti ini misalnya bagaimana kemunculan bentuk zikir tahlilan ini. Apakah zikir tahlilan ini muncul karena adaptasi Islam yang datang dengan tradisi lokal yang sudah ada. Lebih jauh, apakah bentuk tahlilan demikian bagian dari Sunnah. Apakah pahala bacaan tahlil dan bacaan lainnya yang diniatkan sampai kepada orang yang dituju.

Terhadap masalah hadiah pahala, ulama tarekat (sufi) melihat dengan cara berbeda dengan ulama-ulama fiqh. Para sufi lebih jauh menggunakan pengalaman dan penalaran batin dalam memahami persoalan hadiah pahala ini. Tak heran jika dalam penjelasan mereka muncul kalimat, misalnya “Aku sudah melihat dalam mimpi bahwa guruku (yang sudah wafat) berkata, “Pahala bacaan yang kamu kirim telah sampai kepadaku.” Atau misalnya lagi ada kalimat, “Aku melihat dalam mimpi bahwa ayahku yang sudah wafat memintaku untuk terus mengirimkan Al-Fatihah setiap selesai shalat fardhu”, dan seterusnya, dan seterusnya.

Pernyataan-pernyataan demikian ini konsisten dengan pandangan-pandangan dasar banyak sufi bahwa secara hakiki “pewahyuan” melalui ilham ruhaniah yang suci dalam ilmu agama Islam itu masih dan akan terus berlangsung melalui orang-orang yang taqarrub-nya sangat dekat kepada Allah. Perlu ditegaskah bahwa “pewahyuan” di sini tidaklah mereka pahami sebagaimana turunnya wahyu kepada para Nabi. Tapi hanya ilham keagamaan yang memperkuat pengetahuan terhadap Al-Qur’an dan Sunnah. Di sisi lain, mereka juga meyakini bahwa periwayatan hadis secara batini dari Rasulullah Saw masih akan terus berlangsung hingga akhir zaman.

Pada tingkat permukaan, pandangan sufi ini tampak bertentangan dengan penjelasan zhahir ayat Al-Quran bahwa pewahyuan ilmu agama berikut periwayatan Hadits telah berakhir seiring dengan telah sempurnanya risalah keislaman yang dibawa oleh Khatamun Nabiyyin Muhammad Rasulillah Saw.

Pandangan Ulama Sufi yang Berbeda

Di sisi lain, tidak pula sedikit ulama yang dikenal kesufiannya yang konsisten dengan pandangan umum ayat Al-Quran bahwa masa pewahyuan risalah keislaman telah berakhir dengan wafatnya Nabi terakhir Muhammad Saw. Ulama pada kelompok ini berpandangan bahwa ilham keilmuan yang mereka peroleh secara batini tidaklah berlevel syar’i, meskipun ia mendapatkannya melalui mimpi dari Nabi Saw. Katakanlah misalnya ia mendapatkan pengajaran zikir dari Rasulullah dalam mimpi dimaksud. Ia menyikapi pengajaran zikir demikian ini sebagai ilmu yang bersifat khusus buat dirinya saja. Ia takut kepada Allah, kalau-kalau diajarkan kepada orang lain justru akan mengangkangi kesempurnaan syariat yang telah selesai perisalahannya. Sikap demikian ini —hemat penulis— sangat jelas pada ulama besar seperti Imam Ghazali dan ulama-ulama sufi lain yang mementingkan pemaduan syari’at dan hakikat.

Pandangan Keagamaan Muhammadiyah

Tidak sedikit ulama besar dan sangat dihormati yang memiliki pandangan bahwa tahlilan, kenduri meninggal, dan lain-lain adalah amalan yang benar-benar syar’i dan disebut mendapat pembenaran secara esensial dari Sunnah Nabi dan juga pembenaran secara ruhaniah melalui mimpi dari Rasulillah Saw. Dan, mereka berpandangan bahwa amalan-amalan ini adalah sarana (wasilah) untuk membantu yang sudah wafat dengan hadiah pahala.

Dalam konteks ini, Muhammadiyah sependapat dengan pandangan para ulama terdahulu yang memiliki sikap dan pandangan bahwa pensyariatan agama telah sempurna secara verbal dan esensial pada masa Rasulillah Saw. Ada pun ilmu yang diperoleh dari balik tabir, misalnya melalui mimpi bertemu Rasulullah Saw, maka ilmu ini bersifat pribadi (khushushiyyah) dan tidak untuk diberlakukan menambah konsep keilmuan agama yang pijakannya sudah ada pada Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Atas dasar pandangan demikian, maka Muhammadiyah berpendapat dan berpendirian bahwa segala amalan yang berkategori ibadah seperti cara/kaifiat tahlil dan tujuan tahlil mestilah mengikuti pandangan asasi yang diwariskan oleh Nabi Saw dan para sahabat. Dalam paradigma pemahaman yang diwariskan oleh para sahabat tampak bahwa tahlil ditujukan bukan untuk sarana mengirim hadiah pahala, maka atas dasar ini Muhammadiyah berpandangan lebih baik untuk tetap memosisikan tahlil tetap sebagai sarana masing-masing orang beriman untuk taqarrub kepada Allah (zikrullah), atau sarana lain yang diajarkan secara jelas dalam Sunnah, misalnya sarana untuk menuntun orang yang sakaratul maut menghembuskan nafas terakhir. Dengan demikian, Muhammadiyah berpendirian tidak memilih pemahaman tentang tahlil yang berbeda dan di luar spektrum wawasan dan pemahaman era Sahabat Rasulillah.

Penutup

Begitupun, satu hal yang sangat penting digarisbawahi bahwa Muhammadiyah menekankan agar umat Islam tidak saling menyalahkan tentang keabsahan pengamalan ibadah masing-masing golongan. Hal pokok yang penting disemarakkan adalah ber-fastabiqul khairat dalam berilmu dan beramal. Jadi, mari kita saling bertausiyah dalam konteks fastabiqul khairat dan berlomba-lomba siapa yang paling baik amalnya. Karena semua perbedaan ini adalah ujian bagi kaum muslimin untuk pembuktian siapa di antara mereka yang paling baik amalnya (liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amala). Allahu a’lam.

 

(Penulis adalah dosen Universitas Islam Negeri Syekh Ali Hasan Ahmad Addary UIN Syahada Padangsidimpuan)