Hak Waris Dan Pelaksanaanya Dalam Kehidupan Bernegara

Sumbar.KabarDaerah.com – Hukum waris sering diabaikan banyak orang. Keberadaannya diperlukan akan tetapi banyak orang yang nyaris tidak perduli mendalaminya. Itulah sebabnya, hukum waris juga sering disebut sebagai hukum terlantar.

Bahkan, oleh sebagian besar para pengabdi ilmu sekalipun. Dalam isu-isu harian orang lebih tertarik mempelajari dan mendiskusikan masalah-masalah fikih, Hukum Waris disebut juga faraidh,

Mengenai prospek hukum waris, Oleh rasulullah SAW dalam salah satu sabdabnya: “……dan pelajarilah faraidh serta ajarkanlah kepada orang-orang. Karena saya adalah orang yang akan direnggut mati, sedangkan ilmu itu bakal diangkat.

Hampir-hampir dua orang yang bertengkar tentang pembagian pusaka, mereka berdua tidak menemukan seorangpun yang sanggup menfatwakannya kepada mereka.”( HR Ahmad, An Nasai dan Daruquthni )

Hukum waris sangat penting, karena berkaitan dengan Hak. Keinginan mengambil alih kekayaan orang yang meninggal merupakan keinginan orang berada sekitarnya. Tidak peduli, apakah yang berada di sekitar tersebut keturunannya atau hanya kebetulan mempunyai kedekatan saja. Banyak orang yang belum tahu, bahwa tidak semua orang yang dekat secara fisik dengan pewaris mempunyai hak waris.

Hal demikian berlaku sebaliknya, tidak mesti orang yang tidak dekat secara fisik harus diabaikan dari pembagian warisan. Karena, bisa jadi orang sehari-hari dekat dengan pewari, tapi sama sekali bukan keluarga yang mempunyai hubungan kewarisan dengan pewaris.

Untuk menjadi ahli waris, harus mempunyai hubungan kewarisan dengan orang yang meninggal. menurut hukum Syariat Islam disebabkan karena 3 hal yaitu:

  1. Karena hubungan nasab,
  2. karena hubungan perkawinan,
  3. Wala ( yang ketiga ini kini sudah tidak ada lagi).

Banyak orang beranggapan, bahwa karena merasa mempunyai hubungan nasab (mempunyai garis keturunan) maka harus memperoleh harta warisan dari orang yang meninggal.

Merekapun ikut meributkan harta warisan almarhum. Padahal, hanya orang yang mempunyai hubungan nasab yang secara syar’i paling dekat sajalah yang dapat menjadi dapat mewarisi harta pewaris.

Dalam hukum kewarisan Islam ada konsep hajib mahjub. Berdasarkan konsep ini, seorang ahli waris bisa terhalang untuk mewarisi harta almarhum karena ada ahli waris lain yang menghalangi. karena secara syar’i lebih dekat dengan pewaris.

Dan masih banyak lagi persoalan-persolan kewarisan yang ujungnya menjadikan sengketaan. Keluarga yang semula kompak rukun, karena berebut harta warisan akhirnya harus bercerai-berai dan putus silaturahmi dan berseteru sampai ke anak cucu bahkan tidak jarang terjadi pertumpahan darah.

Harta warisan adalah salah satu sebab manusia lupa peringatan Rasulullah SAW, bahwa pemutus silaturrahmi tidak akan dapat masuk surga.

Terjadinya sengketa, sering disebabkan oleh tiga hal: karena ketidak tahuan hukum warisan, manajemen harta, dan ketamakan.

Seperti disinggung dimuka bahwa ketidaktahuan tentang hukum waris menyebabkan ahli waris salah persepsi.

Orang yang secara hukum mestinya tidak berhak karena alasan tertentu merasa berhak akhirnya menguasai seenaknya harta peninggalan almarhum. Apalagi kalau jarak pembagian harta dengan kematian pewaris berlangsung lama, misal sudah sampai keturunan derajat ketiga atau bahkan keempat.

Sedangkan, harta sudah terlanjur dikuasai secara sepihak oleh sebagian keluarga. Seharusnya segera setelah pewaris meninggal, pembagian harta warisan dilaksanakan.

Sebab, salah satu asas hukum waris Islam adalah ijbari. Asas ini mengandung pengertian, bahwa peralihan harta dari orang yang meninggal kepada ahli waris berlaku dengan sendirinya, tanpa usaha dari yang akan meninggal atau kehendak yang akan menerima. Itulah sebabnya hukum waris beserta ketentuannya, berlaku seketika, ketika pewaris benar-benar telah meninggal.

Setelah seseorang dinyatakan meninggal dunia, pada saat itu pula harus ditentukan siapa ahli waris yang berhak menerima dan dipilah mana harta yang dapat dibagi sebagai harta warisan dan mana yang bukan.

Oleh karena mengenai berapa ketentuannya, ahli waris sering tidak tahu maka melibatkan tokoh agama setempat yang mengerti, merupakan sesuatu hal perlu dilakukan oleh ahli waris.

Tokoh masyarakat ini sebelum membantu menentukan siapa ahli waris yang berhak dan membaginya perlu memberikan sentuhan rohani kepada para ahli waris tentang status keberadaan harta warisan.

Hal-hal apa yang harus terlebih dahulu ditunaikan dan bahaya memperoleh harta warisan yang tidak sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah. “Barang siapa siapa durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya dan melampaui batas dari ketentuan yang telah ditetapkan Allah, maka Allah akan memasukannya ke dalam neraka kekal di dalamnya dan baginya adzab yang pedih (An Nisak 14)” Dalam rangka memberikan peringatan kepada ahli waris, peringatan Allah tersebut wajib disampaikan kepada para ahli waris.

Hanya saja di masyarakat yang masih menjunjung tinggi ketimuran pelaksanaan pembagian di atas memang tidak semudah teori. Banyak faktor mengapa harta warisan tidak dapat secara mudah dapat dibagi kepada yang berhak. Norma etika dan estetika turut menjadi pertimbangan.

Dengan alasan ini, para ahli waris merasa enggan menyinggung sedikitpun pembagian harta warisan. Karena dianggap tidak etis apabila ada ahli waris yang mengutik-utik harta almarhum dalam suasana berkabung.

Akan tetapi, hal demikian mestinya tidak boleh menyebabkan seluruh ahli waris lupa bahwa cepat atau lambat harta almarhum akan dibagi kepada ahli waris yang berhak.

Seharusnya mereka sadar, jika tidak disegerakan, cepat atau lambat harta peninggalan almarhum berpotensi menjadi sumber sengketa yang menyebabkan perpecahan keluarga.

Keluarga yang berpendidikan secara diam-diam atau secara terbuka, harus ada yang berani melakukan audit seluruh harta warisan almarhum dan perkembangannya. Hal ini dimaksudkan untuk memperkecil potensi masalah di kemudian hari.

Audit ini juga dimaksudkan agar ahli waris yang culas, tidak berlaku seenaknya terhadap harta warisan untuk kepentingan pribadi.

Yang sering dilakukan oleh ahli waris yang curang, Hal yang biasadilakukan adalah mengalihkan harta warisan kepada pihak ketiga dengan berbagai cara seperti menghibahkan dan menjual tanpa sepengetahuan ahli waris yang lain.

Momen kedamaian dan kediaman ahli waris lain, disalahgunakan untuk berlaku curang. Dia lupa dengan asas ijbari yang ada pada hukum kewarisan, bahwa ahli waris dan bagian harta yang berhak diterima melekat sampai kapanpun.

Oleh sebab itu maka harta warisan yang sudah berpindah kepada pihak lainpun, secara hukum tetap dapat diperhitungkan.

Apabila terjadi sengketa di Pengadilan, harta yang sudah beralih ke pihak lainpun dapat digugat dan pihak pembeli harta warisan tersebut juga dijadikan tergugat.

Potensi-potensi masalah diatas, sering diabaikan oleh masyarakat kita. Sesal datang ketika sudah menjadi persengketaan terbuka di pengadilan.

Dengan alasan memperebutkan harta warisan, mereka berani habis-habisan. Karena harta sudah beranak pinak dan sebagian sudah berpindah ke pihak-pihak lain. ruang sengketa menjadi meluas dan terbuka. Banyak pihak harus terlibat, tenaga, biaya dan pikiran harus terkuras demi perjuangan mendapatkan harta warisan.

Dengan porsinya masing-masing, seluruh ahli waris yang terlibat persengketaan ini pun sama-sama harus menanggung risiko. Apalagi kalau masing-masing pihak saling tidak mau mengalah sering sengketa warisan di pengadilan ini, harus berlangsung bertahun-tahun. Putusan yang diperoleh pun sering tidak memuaskan.

Bisa tidak memuaskan salah satu pihak atau kedua belah pihak sekaligus. Apabila terjadi demikian, para pihak harus maklum, pengadilan hanya sebatas memeriksa berkas dan bukti-bukti yang diajukan. Sebab, sering terjadi di pengadilan, yang merasa benar tidak bisa membuktikan dalil-dalilnya. Pengadilan hanya memeriksa yang terlihat sedangkan yang sesungguhnya terjadi dan yang tidak dapat dibuktikan bukanlah ranah pekerjaan pengadilan.

Dalam kondisi demkian para hakim memang hanya bisa mengikut rasulullah SAW “Kami hanya menghakimi yang tampak sedangkan Allah menguasai yang tersembunyi”. Para pihak yang merasa menangpun juga tidak serta merta bisa mendapatkan haknya. Sebab, apabila yang kalah tidak bersedia secara suka rela menyerahkan hak kepada pihak lain yang menang, masih diperlukan campur tangan pengadilan berikutnya yang yang ternyata juga sering tidak berjalan mulus.

Ilustrasi dari pengalaman kasus di masyarakat dan kisah nyata di dunia peradilan tersebut memberikan pelajaran bagi kita, bahwa masyarakat kita yang di samping masih banyak yang belum paham hukum waris ternyata juga masih banyak yang belum sadar mengenai akibat memakan bagian hak waris orang lain. Padahal, setelah menjelaskan ketentuan mengenai ketentuan bagian masing-masing ahli waris, dalam Surat An-Nisak ayat 14, Allah telah dengan tegas memberikan ultimatum, bahwa siapa saja yang tidak mentaati dan melebihi batas dalam hal bagian warisan sehingga mengambil bagian ahli waris yang lain dengan cara yang tidak benar, maka akan dimasukkan neraka secara kekal.

Berpijak dari ayat tersebut, tingkat kepatuhan seseorang dalam hal ketentuan bagian harta warisan ini, juga menjadi salah satu tolok ukur tingkat keimanan seseorang. Ironisnya, sengketa waris ini juga sering melibatkan para tokoh yang dari sisi pengetahuan agamanya juga cukup memadai.

Fenomena demikian mengundang pertanyaan besar:

Apa yang salah dengan masyarakat kita?

Pencerahan mengenai aspek-aspek hukum waris via majelis taklim, pengajian umum, dan penyuluhan hukum mungkin sudah waktunya mendapat perhatian dari para pemangku kepentingan. Wallahu a’lam.

Surat Keterangan Hak Waris adalah suatu akta otentik yang diterbitkan oleh Pejabat Balai Harta Peninggalan yang menerangkan tentang keadaan yang meninggal dunia, ahli waris, harta peninggalan, dan hak bagian masing-masing ahli waris.

Surat Keterangan Hak Waris (SKHW) merupakan bukti yang lengkap tentang tentang keadaan yang meninggal dunia, ahli waris, harta peninggalan, dan hak bagian masing-masing ahli waris, serta menjadi pemberitahuan pada pihak ketiga terutama Kantor Badan Pertanahan dalam rangka pengukuran tanah untuk pendaftaran peralihan hak karena warisan.

Berdasarkan pasal 20  ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, bahwa jika orang mempunyai hak atas tanah meninggal dunia, maka yang menerima tanah itu sebagai warisan wajib meminta pendaftaran peralihan tanah tersebut dalam waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal meninggalnya orang itu. Selanjutnya dalam pasal 23 ayat (1), untuk mendaftarkan peralihan hak karena warisan mengenai tanah yang telah dibukukan, maka kepada Kepala Kantor Pendaftaran tanah harus diserahkan Surat Keterangan Mewarisi dari instansi yang berwenang.

Balai Harta Peninggalan Jakarta, dalam kedudukannya berdasarkan ketentuan pada ayat 1 pasal 14 dari Instruksi Voor de Gouvernements Landmeters dalam Stbl. 1916 No. 517, jo Surat Menteri Dalam Negeri Cq. Kepala Direktorat Pendaftaran Tanah Direktorat Jenderal Agraria Departemen Dalam Negeri tanggal 20 Desember 1969 Nomor: DPT/12/63/12/69 jo. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah merupakan instansi yang berwenang menerbitkan Surat Keterangan Hak Mewaris Untuk Golongan Timur Asing.

Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan, maka diperoleh hasil sebagai berikut : Peran Pejabat Pembuat Akta Tanah terhadap Pemasangan Hak Tanggungan dengan Nama Sertifikat Hak Milik yang telah Meninggal Dunia yang dilakukan proses Turun Waris kepada Ahli Waris Berbasis Keadilan,

Problematika dan Cara Mengatasi Problematikan Peran Pejabat Pembuat Akta Tanah terhadap Pemasangan Hak Tanggungan dengan Nama Sertifikat Hak Milik yang telah Meninggal Dunia yang dilakukan proses Turun Waris kepada Ahli Waris Berbasis.

HAK AHLI WARIS 

UNTUK MENJUAL OBJEK WARISAN

Dengan adanya peristiwa kematian, maka para ahli waris dengan sendirinya karena hukum akan mendapat hak milik atas seluruh barang yang ditinggalkan oleh pewaris.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 833 (“KUH Perdata”) sebagai berikut:

“Para ahli waris, dengan sendirinya karena hukum, mendapat hak milik atas semua barang, semua hak dan semua piutang orang yang meninggal”.

Oleh karena itu, dalam kasus yang sering kita hadapi, pada dasarnya para ahli waris berhak untuk melakukan perbuatan hukum terhadap harta warisan, termasuk untuk menjual harta warisan dengan persetujuan seluruh ahli waris. Tapi ingat, Hanya Harta Pewaris, bukan harta orang lain.

Suatu contoh

Mengenai perjanjian kerjasama pengelolaan Lahan

Dalam hal ternyata harta warisan (tanah) sedang dikelola secara bersama-sama oleh para ahli waris dan pihak ketiga (yaitu Anda) berdasarkan suatu perjanjian kerja sama pengelolaan lahan, maka penjualan harta warisan tidak serta merta menghapuskan perjanjian kerja sama tersebut.

Untuk dapat menjawab pertanyaan terkait perjanjian setidaknya perlu dipastikan hal-hal berikut ini:

  1. Jangka waktu adendum dan/atau perjanjian kerjasama pengelolaan pasar belum berakhir; dan
  2. Adanya larangan pengalihan hak atas tanah (lahan pasar) selama waktu kerja sama yang menjadi adendum perjanjian kerjasama.

Dalam hal salah satu atau kedua kondisi diatas terpenuhi, maka tindakan ahli waris yang menjual lahan secara diam-diam yang mengakibatkan pengelolaan pasar tidak dapat dilanjutkan merupakan tindakan ingkar janji dalam perjajian disebut wanprestasi(melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan).

Konsekuensinya dapat ditempuh upaya hukum sebagai berikut mengirim surat somasi atau teguran terhadap ahli waris yang melakukan penjualan.

Penjelasan lebih lanjut mengenai somasi dan tips pembuatannya dapat Anda simak dalam Pengertian Somasi dan Cara Membuatnya.

Mengajukan gugatan perdata atau gugatan wanprestasi hanya terhadap pihak yang berjanji, apabila somasi tidak menyelesaikan masalah. Kita dapat mengajukan gugatan wanprestasi terhadap ahli waris.

Selaku pihak yang secara hukum telah memiliki tanah sebagai Para tergugat dan pihak pembeli tanah sebagai turut tergugat.

Dalam hal ini, pihak yang turut tergugat hanya tunduk pada isi putusan hakim, sebagaimana yang kami sarikan dari kedudukan dan konsekuensi menjadi turut tergugat.

Adapun tuntutan yang dapat Anda ajukan diatur dalam Pasal 1243 dan 1267 KUH Perdata sebagai berikut:

Pasal 1243

Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan. bila debitur, walaupun telah dinyatakan lalai, tetap lalai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan.

Pasal 1267

Pihak yang terhadapnya perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih; memaksa pihak yang lain untuk memenuhi persetujuan, jika hal itu masih dapat dilakukan, atau menuntut pembatalan persetujuan, dengan penggantian biaya, kerugian dan bunga.

Berdasarkan kedua pasal di atas, maka Anda dapat memilih tuntutan sebagai berikut:

  1. Pemenuhan perjanjian;
  2. Pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi;
  3. Ganti rugi;
  4. Pembatalan perjanjian;
  5. Pembatalan perjanjian disertai ganti rugi.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum: KUHPerdata

Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa), 1998.

  1. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa), 1998, hal. 53

PEMENUHAN KEWAJIBAN OLEH AHLI WARIS TERHADAP HUTANG PEWARIS

Pada prinsipnya, pewarisan hanya timbul karena kematian. Ketika seseorang (pewaris) meninggal dunia, maka hak dan kewajiban si pewaris beralih kepada ahli warisnya.

Selanjutnya, kami coba menjawab pertanyaan Saudara dari sisi hukum perdata Barat (KUHPerdata atau burgerlijke wetboek atau biasa disingkat BW) dan hukum perdata Islam.

Dalam pasal 833 ayat (1) KUHPerdata ditentukan bahwa :

Ahli waris dengan sendirinya karena hukum  memperoleh hak milik atas segala barang, segala hak dan segala piutang dari si pewaris.

(pasal 1100 KUHPerdata).

Namun, disisi lain para ahli waris itu juga mempunyai kewajiban dalam hal pembayaran hutang, hibah wasiat, dan lain-lain dari pewaris

Hutang/kewajiban dari debitur yang telah meninggal dunia dapat dialihkan kepada ahli waris berdasarkan ketentuan dalam KUHPerdata.

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga diatur mengenai hukum pewarisan. Mengenai kewajiban dari ahli waris untuk melunasi hutang-hutang dari pewaris.

Dapat dilihat dalam ketentuan pasal 171 huruf e KHI yang menyatakan bahwa:

Harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggal, biaya pengurusan jenazah, pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.

Apabila disimpulkan, menurut ketentuan tersebut berarti pemenuhan kewajiban pewaris didahulukan sebelum harta warisan dibagikan kepada para ahli waris nya.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa menurut hukum perdata Barat maupun hukum perdata Islam, bahwa:

Hutang/kewajiban seorang yang meninggal dunia atau pewaris dapat dialihkan kepada ahli warisnya.

Baik hal tersebut dituliskan dalam perjanjian atau surat hutang ataupun tidak dituliskan.

Artinya utang/kewajiban pewaris harus ditanggung oleh para ahli waris yang menerima warisan.

 

Hal ini diatur dalam Pasal 1100 KUHPerdata:

“Para ahli waris yang telah bersedia menerima warisan, harus ikut memikul pembayaran utang, hibah wasiat dan beban-beban lain, seimbang dengan apa yang diterima masing-masing dari warisan itu.”

Dengan tegas, Jika seseorang menerima warisan secara murni, maka ia bertanggung jawab atas seluruh utang pewaris.

Jadi ketika Ahli waris hanya bersedia menerima harta peninggalan pewaris tapi tidak bersedia menyelesaikan kewajiban pewaris, maka tidak terjadi keseimbangan sehingg tidak adil buat pewaris. Sehingga dengan demikian dapat disimpulan bahwa ahli waris telah melanggar aturan hukum. Sedangkan melanggar aturan hukum baik pidana maupun perdata atau undang undang merupakan pelanggaran atas undang undang. Pelanggaran atas undang undang adalah pidana.

KETERANGAN SECARA HUKUM/LEGAL

Menurut pendapat ahli hukum perdata

Ketika seseorang meninggal dunia, pada prinsipnya hak dan kewajiban si pewaris beralih kepada ahli warisnya.

Begitu pula dalam hal terjadinya kredit/hutang debitur, kewajiban, yang meninggal dunia, adalah hak ahli waris untuk menerima harta pewaris dan kewajibannnya untuk melunasi utang dari harta yang diterimanya itu.

Hak dan kewajiban pewaris yang meninggal beralih kepada ahli waris diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Kewajiban ahli waris untuk membayar utang debitur meninggal diatur dalam Pasal 123 KUHPer dan Pasal 1100 KUHPer, yakni :

  1. Pasal 123 KUHPer Berbunyi “semua utang kematian, yang terjadi setelah seseorang meninggal dunia, hanya menjadi beban para ahli waris dan yang meninggal itu”. Ketentuan dalam pasal ini mendasari bahwa jika seseorang meninggal dunia sedang ia meninggalkan utang, maka kewajiban utang tersebut beralih kepada ahli warisnya untuk diselesaikan. Begitu pula jika debitur kredit meninggal, kewajiban pembayaran utang beralih kepada ahli waris.
  2. Pasal 1100 KUHPer Menyebutkan bahwa “Para waris yang telah menerima suatu warisan diwajibkan dalam hal pembayaran utang, hibah wasiat dan beban-beban lain dengan apa yang diterima masing-masing dari warisan itu”. Ahli waris yang menerima harta pewaris (misalkan usaha yang dibiayai bank) mendapatkan beban kewajiban utang dari harta warisan yang diterimanya itu. Ahli waris yang berhak menerima warisan dilihat dari silsilah dengan orang yang meninggal. Pengaturan mengenai prioritas ahli waris diatur dalam Pasal 832 ayat (1) KUHPer terdapat 4 (empat) golongan.
  3. Pasal 1318 KUHPer Pasal 1315 KUHPer, mengandung pengertian bahwa “Para pihak tidak boleh mempunyai tujuan untuk mengikutsertakan orang lain atau mengikat pihak ketiga selain daripada mereka sendiri”. Suatu perjanjian hanya berlaku dan mengikat para pihak yang membuatnya. Ketentuan ini dipertegas dalam Pasal 1340 KUHPer “Persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya…” yang dikenal dengan asas perjanjian bersifat tertutup, terdapat beberapa pengecualian yang diatur dalam Pasal 1316 hingga 1318 KUHPer. Pasal 1318 KUHPerdata yang berbunyi, “Orang dianggap memperoleh sesuatu dengan perjanjian untuk diri sendiri dan ahli warisnya”, berisi ketentuan yang memperluas daya kerja perjanjian terhadap ahli waris dan orang-orang yang memperoleh hak dari para pihak. Menurut ketentuan Pasal 1318 KUHPer dengan tidak adanya ketentuan khusus bahwa perjanjian ditujukan kepada pihak ketiga ketika pewaris meninggal, maka ahli waris berkewajiban untuk melanjutkan perjanjian. Menurut Pasal ini pada saat melakukan perjanjian, pewaris dianggap melakukan perjanjian tersebut untuk dirinya sendiri dan ahli warisnya jika suatu hari ia meninggal. Hak yang dimiliki ahli waris adalah untuk menerima atau menolak harta warisan dari pewaris. Keputusan menerima warisan akan berakibat pemikulan beban kewajiban pembayaran kredit. Keputusan menolak akan mengakibatkan ahli waris terhindar dari beban kewajiban pewaris. KUHPerdata mengatur hak ahli waris terhadap warisan dalam pasal 833 KUHPer menyebutkan, “Ahli waris dengan sendirinya karena hukum memperoleh hak milik atas semua barang, semua hak dan semua piutang orang yang meninggal.” Harta yang ditinggalkan pewaris secara otomatis menjadi milik ahli waris akibat dari kematian. Terhadap hal tersebut, sebaiknya Saudari sebagai ahli waris melihat kembali isi perjanjian daripada ayahanda dengan pihak lain. Ketentuan dari perjanjian terkait hak dan kewajiban para pihak dipelajari dengan seksama kembali. Bahwa perjanjian yang dilaksanakan oleh para pihak yang berkepentingan merupakan payung hukum bagi para pihak tersebut. Oleh karenanya perjanjian tersebut harus equal/sama kedudukan hukumnya. Bilamana isi perjanjian sesuai dengan peraturan perundang-undangan, maka sesuai dengan pasal 123 KUHPer, Pasal 1100 KUHPer, dan Pasal 1318 KUHPer, ahli waris secara otomatis memikul beban utang pewaris (debitur meninggal), untuk itu wajib melakukan pembayaran atas utang. Menurut ketentuan KUHPerdata, tanggungjawab penyelesaian kewajiban beralih kepada ahli waris. Kewajiban yang diatur dalam Pasal 123 KUHPer, Pasal 1100 KUHPer, dan Pasal 1318 KUHPer, ahli waris secara otomatis memikul beban utang pewaris (debitur meninggal), untuk itu wajib melakukan pembayaran atas utang. Hak diatur dalam Pasal 833 KUHPerdata, Pasal 1023 KUHPerdata, dan Pasal 1318 KUHPerdata, ahli waris memiliki hak untuk meneruskan perjanjian pewaris dan memiliki hak atas harta milik pewaris, dan terhadap hak waris tersebut ahli waris dapat menolak.

Berikut mari kita perhatikan beberapa ketentuen hukum perdata berikut yang terkait dengan perjanjian, waris dan usaha bersama.

Ketentuan pasal 1318 KUHPerdata:

“Ahli waris secara otomatis memikul beban utang pewaris (debitur meninggal), untuk itu wajib melakukan pembayaran atas utang”.

Menurut KUHPerdata, tanggungjawab penyelesaian hutang beralih kepada ahli waris.

Pasal 1318 KUHPerdata, “ahli waris secara otomatis memikul beban utang pewaris (debitur meninggal), untuk itu wajib melakukan pembayaran atas kewajiban pewaris”.

Pasal 1318 KUHPerdata, ahli waris memiliki hak untuk meneruskan perjanjian kredit pewaris dan memiliki hak atas harta milik pewaris, dan terhadap hak waris tersebut ahli waris dapat menolak

Hak diatur dalam Pasal 833 KUHPerdata, Pasal 1023 KUHPerdata,

Pada pasal 1318 KUHPerdata, “ahli waris memiliki hak untuk meneruskan perjanjian kredit pewaris dan memiliki hak atas harta milik pewaris, dan terhadap hak waris tersebut ahli waris dapat menolak.

Pasal 123 Semua utang kematian, yang terjadi setelah seorang meninggal dunia, hanya menjadi beban para ahli waris dan yang meninggal itu. Pasal 124 Hanya suami saja yang boleh mengurus harta bersama itu.

Pasal 833 ayat (1)KUHPerdata: Para ahli waris, dengan sendirinya karena hukum, mendapat hak miik atas semua barang, semua hak dan semua piutang orang yang meninggal. Berdasarkan pasal 833 tersebut, anak dari pewaris berhak atas tanah warisan tersebut yang sudah dibuktikan dengan penetapan waris dari pengadilan negeri.

Pasal 1645 KUHPerdata. Jika salah seorang peserta mengadakan suatu perjanjian atas nama perseroan, maka perseroan itu dapat menuntut supaya perjanjian itu dilaksanakan.

Pasal 1646 KUHPerdata menentukan bahwa suatu persekutuan perdata berakhir disebabkan oleh:

  1. Lampaunya waktu yang diperjanjikan;
  2. Hancurnya benda yang menjadi objek persekutuan;
  3. Selesainya perbuatan pokok persekutuan;
  4. Pengakhiran oleh beberapa atau salah seorang sekutu;
  5. Kematian salah satu sekutu

Pasal 1646 KUHPerdata mengenai keanggotaan perseroan tidak beralih kepada ahli waris menyebutkan:

Perseroan/persekutuan bubar:

  1. Karena waktu yang ditetapkan dalam perjanjian telah habis;
  2. Karena musnahnya barang yang dipergunakan untuk tujuan perseroan atau karena tercapainya tujuan itu;
  3. Karena kehendak beberapa peserta atau salah seorang peserta
  4. Karena salah seorang dari peserta meninggal dunia, di tempat di bawah pengampuan atau bangkrut atau dinyatakan sebagai orang yang tidak mampu.

Karena dalam usaha bersama ada barang barang yang kerjasamakan yang objek kerjasama dan barang yang di titip dan di servise mari kita pahami ketentuan berikut:

TITIPAN

Pasal 1717 KUHPerdata. Bila seorang ahli waris penerima titipan menjual barang titipan itu dengan itikad baik, tanpa mengetahui bahwa barang yang dijualnya itu adalah barang titipan maka ia hanya wajib mengembalikan uang harga pembelian yang telah diterimanya atau jika ia belum menerima uang itu menyerahkan hak untuk menuntut pembeli barang.

Pasal 1718 KUHPerdata. Jika barang titipan itu mendatangkan hasil dan hasil itu telah dipungut atau diterima oleh penerima titipan, maka wajiblah ia mengembalikan hasil itu. Ia tidak harus membayar bunga atas uang yang dititipkan kepadanya tetapi jika ia lalai mengembalikan uang itu maka terhitung dan hari penagihan ia wajib membayar bunga.

Pasal 1652 KUHPerdata. Semua aturan tentang pembagian warisan, tentang cara pembagian itu, begitu pula tentang kewajiban-kewajiban yang timbul dari aturan-aturan itu berlaku juga untuk pembagian harta benda peseroan di antara para peserta.

Pasal 955 ayat 1 KUHPerdata menentukan bahwa dengan meninggalnya pewaris, maka baik waris yang diangkat dengan surat wasiat maupun mereka yang diberikan sebagian dari harta peninggalan oleh undang-undang, menurut hukum menjadi pemilik dari benda-benda yang ditinggalkan.

Jadi, tidak hanya harta kekayaan berbentuk hak-hak, melainkan juga harta kekayaan yang berupa kewajiban dan beban-beban lainnya seperti hibah wasiat atau legaat.

Dipertegas lagi melalui pasal 1100 KUHPerdata menyebutkan bahwa “Para ahli waris yang telah bersedia menerima warisan, harus ikut memikul pembayaran utang, hibah wasiat dan beban-beban lain, seimbang dengan apa yang diterima masing-masing dari warisan itu.” Maka hutang pewaris dapat dialihkan kepada ahli waris berdasarkan KUHPerdata.

Dalam pasal 807 KUHPerdata membahas mengenai hak pakai hasil berakhir dengan meninggalnya orang yang mempunyai hak tersebut secara jelas menyebutkan:

Hak pakai hasil berakhir:

  1. Karena meninggalnya pemakai hasil;
  2. Bila tenggang waktu hak pakai hasil itu telah lewat, atau syarat-syarat diberikannya hak itu telah dipenuhi;
  3. Karena percampuran, yaitu bila hak milik dan hak pakai hasil jatuh ke tangan satu orang;
  4. Karena pemakai hasil melepaskan haknya untuk pemilik;
  5. Karena lewat waktu, yaitu bila pemakai hasil selama tiga puluh tahun tidak menggunakan haknya;
  6. Karena semua barang yang berhubungan dengan hak pakai hasil itu musnah.

Tentunya dengan ketentuan diatas, dapat dipahami keterkaitan hak dan kewajiban ahli waris dengan hak pewaris, karena dalam perjanjian kerjasama antara pewaris dengan pihak terdapat hak dan kewajiban pewaris.

Dijawab oleh: Nurhayati, S.H., M.Si. (Penyuluh Hukum Ahli Madya) Terima kasih atas pertanyaan Saudara Azizan kepada Badan Pembinaan Hukum Nasional terkait pembagian waris berdasarkan hukum perdata.

Sebelumnya dapat kami sampaikan bahwa menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata ada dua cara untuk mendapatkan warisan, yaitu:

  1. Sebagai ahli waris menurut Undang-undang.
  2. Karena ditunjuk dalam surat wasiat (testament).

Cara yang pertama dinamakan mewarisi menurut Undang-undang atau “ab intestato” dan cara yang kedua dinamakan mewarisi secara “testamentair”.

Bila orang yang meninggal dunia tidak membuat testamen, maka dalam Undang-undang Hukum Perdata ditetapkan pembagian warisan sebagai berikut:

  1. Yang pertama berhak mendapat warisan yaitu suami atau isteri dan anak-anak, masing-masing berhak mendapat bagian yang sama jumlahnya (pasal 852 BW).
  2. Apabila tidak ada orang sebagaimana tersebut di atas, maka yang kemudian berhak mendapat warisan adalah orang tua dan saudara dari orang tua yang meninggal dunia, dengan ketentuan bahwa orang tua masing-masing sekurang-kurangnya mendapat seperempat dari warisan (pasal 854 BW).
  3. Apabila tidak ada orang sebagaimana tersebut di atas, maka warisan dibagi dua, separuh untuk keluarga pihak ibu dan separuh lagi untuk pihak keluarga ayah dari yang meninggal dunia, keluarga yang paling dekat berhak mendapat warisan. Jika anak-anak atau saudara-saudara dari pewaris meninggal dunia sebelum pewaris, maka tempat mereka diganti oleh keturunan yang sah (pasal 853 BW).

Pasal 832 ayat (1) KUHPer menyebutkan bahwa : “Menurut undang-undang, yang berhak menjadi ahli waris ialah keluarga sedarah, baik yang sah menurut undang-undang maupun yang di luar perkawinan, dan suami atau isteri yang hidup terlama, menurut peraturan-peraturan berikut ini.

Dalam hukum perdata waris dibagi dalam beberapa golongan. Golongan ahli waris dapat dibedakan atas 4 (empat) golongan ahli waris, yaitu:

  1. Golongan I : Golongan ini terdiri dari anak dan keturunannnya ke bawah tanpa batas beserta janda/duda.
  2. Golongan II : Golongan ini terdiri dari ayah dan/atau ibu si pewaris beserta saudara dan keturunannnya sampai derajat ke-6.
  3. Golongan III : Golongan ini terdiri dari keluarga sedarah menurut lurus ke atas.
  4. Golongan IV : Golongan ini terdiri dari keluarga sedarah dalam garis ke samping yang lebih jauh sampai derajat ke-6. Pembagian harta warisan berbeda sesuai dengan golongan diatas diantaranya meliputi:
  5. Dalam golongan I ini, suami atau istri dan atau anak keturunan pewaris yang berhak menerima warisan. Masing-masing mendapat ¼ bagian.
  6. Golongan II ini adalah mereka yang mendapatkan warisan bila pewaris belum mempunyai suami atau istri, dan anak. Dengan demikian yang berhak adalah kedua orangtua, saudara dan atau keturunan saudara pewaris, yakni ayah, ibu, dan saudara kandung pewaris. Masing-masing mendapat ¼ bagian. Pada prinsipnya bagian orangtua tidak boleh kurang dari ¼ bagian
  7. Golongan III ini adalah, apabila pewaris tidak mempunyai saudara kandung sehingga yang mendapatkan waris adalah keluarga dalam garis lurus ke atas, baik dari garis ibu maupun ayah, yakni kakek atau nenek baik dari ayah dan ibu. Pembagiannya, dipecah menjadi ½ bagian untuk garis ayah dan ½ bagian untuk garis ibu.
  8. Golongan IV ini adalah keluarga sedarah dalam garis atas yang masih hidup. Mereka ini mendapat ½ bagian. Sedangkan ahli waris dalam garis yang lain dan derajatnya paling dekat dengan pewaris mendapatkan ½ bagian.

Undang-undang tidak membedakan ahli waris laki-laki dan perempuan, juga tidak membedakan urutan kelahiran. Hanya ada ketentuan bahwa ahli waris golongan pertama jika masih ada maka akan menutup hak anggota keluarga lainnya dalam garis lurus ke atas maupun ke samping. Demikian pula, golongan yang lebih tinggi derajatnya menutup yang lebih rendah derajatnya.

Sebelum melakukan pembagian warisan, ahli waris harus bertanggungjawab terlebih dahulu kepada hutang-piutang yang ditinggalkan oleh pewaris semasa hidupnya.

Terkait kasus waris yang saudara sampaikan maka berdasarkan hukum perdata yang berhak menerima waris jika pewaris selaku kepala keluarga meninggal adalah istri dan ketiga anaknya (anak kandung) dengan masing-masing memperoleh ¼ bagian, dalam hal ini bagian anak laki-laki dan perempuan sama.

Sedangkan terkait anak angkat pewaris dapat kami sampaikan bahwa sebagaimana disebutkan dalam Pasal 852 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa: “ahli waris ialah: Anak-anak atau sekalian keturunan mereka, biar dilahirkan dari lain-lain perkawinan sekali pun mewaris dari kedua orang tua, kakek, nenek, atau semua keluarga sedarah mereka selanjutnya dalam garis lurus ke atas, dengan tiada perbedaan antara laki atau perempuan dan tiada perbedaan berdasarkan kelahiran lebih dulu” Berdasarkan ketentuan pasal tersebut dapat dikatakan bahwa ahli waris merupakan mereka yang memiliki hubungan darah/sedarah dengan pewaris.

Inilah dasar hukum yang menegaskan bahwa anak angkat tidak bisa dikatakan sebagai ahli waris. Anak angkat (anak adopsi) bukan merupakan anak yang memiliki hubungan darah.

Sedangkan syarat utama pewarisan adalah adanya hubungan darah. Ada dua cara yang dapat dilakukan untuk memberikan pemenuhan hak anak angkat mengenai harta waris yaitu dengan memberikan hibah sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 957 KUHPerdata yang menyatakan ; “hibah wasiat ialah Suatu penetapan wasiat yang khusus dengan mana si yang mewariskan kepada seorang atau lebih memberikan beberapa barang-barangnya dari suatu jenis tertentu seperti misalnya segala barang-barangnya bergerak atau tak bergerak atau memberikan hak pakai hasil atas seluruh atau sebagian harta peninggalannya” Pemberian hibah wasiat sebagai pemenuhan hak anak angkat terhadap harta waris harus dilakukan secara adil.

Maksudnya, bila pemberian hibah tersebut memiliki nilai yang terlalu besar sehingga mengurangi hak dari ahli waris sah, maka nominalnya harus dikurangi.

Di sisi lain, apabila orang tua angkat yang merupakan penghibah telah mewasiatkan ketentuan lain, maka pemberian harta berjumlah besar dapat dilakukan, sebagaimana disebutkan pada Pasal 972 KUHPerdata:

“Apabila warisan tidak seluruhnya atau untuk sebagian diterimanya, atau apabila warisan diterimanya dengan hak istimewa akan pendaftaran harta peninggalan, dan yang ini tidak mencukupi guna memenuhi akan segala wasiat, maka hibah-hibah itu dalam keseimbangan dengan besarnya, harus dikurangi, kecuali yang mewariskan tentang hal ini, telah menetapkan ketentuan-ketentuan lain dalam surat wasiatnya”

Demikian penjelasan dari kami semoga dapat bermanfaat dan membantu.

Disclaimer:

Jawaban konsultasi hukum semata-mata hanya sebagai nasihat hukum dan tidak memiliki kekuatan hukum tetap dan tidak mengikat sebagaimana putusan pengadilan.

Dasar Hukum :

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Terimakasih.

 

AKIBAT HUKUM

Terhadap Salah Satu Sekutu atau Cv Yang Meninggal Dunia

Author: Antonius Gunawan Dharmadji, S.H.

Badan usaha yang dapat didirikan di Indonesia dapat berupa Perseroan Terbatas (PT), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Koperasi, Yayasan, dan lain sebagainya termasuk Commanditaire Vennootschap (CV). Persekutuan Komanditer atau sering disebut dengan Commanditaire Vennootschap (CV) merupakan badan usaha non badan hukum yang mempunyai satu atau lebih sekutu komplementer dan sekutu komanditer. Lantas, apa akibat hukum apabila salah seorang sekutu pada CV meninggal dunia?

Pada hakekatnya, pengaturan mengenai CV atau persekutuan perdata terdapat dalam KUH Perdata sepanjang tidak diatur secara khusus dalam KUHD. Dengan demikian berakhirnya CV mengikuti ketentuan yang sama dengan berakhirnya persekutuan perdata yang diatur dalam Pasal 1646 sampai dengan Pasal 1652 KUH Perdata.

Ketentuan Pasal 1646 KUHPerdata menyatakan bahwa persekutuan berakhir apabila:

  • Karena waktu yang ditetapkan dalam perjanjian telah habis,
  • Karena musnahnya barang yang dipergunakan untuk tujuan perseroan atau karena tercapainya tujuan itu,
  • Karena kehendak beberapa peserta atau salah seorang peserta
  • Karena salah seorang dari peserta meninggal dunia, ditempatkan di bawah pengampuan atau bangkrut atau dinyatakan sebagai orang yang tidak mampu oleh Pengadilan.

Berdasarkan Pasal 1646 KUH Perdata dapat kita ketahui bahwa sebagai sebuah persekutuan, maka meninggalnya seorang sekutu berakibat pada bubarnya persekutuan atau sebuah CV.

Ketentuan ini dapat dikesampingkan jika sebelumnya di Akta Pendirian CV telah diperjanjikan bahwa apabila salah seorang sekutu meninggal dunia, maka persekutuannya berlangsung terus dengan ahli warisnya atau akan berlangsung terus diantara sekutu-sekutu yang masih ada.

Oleh karena itu, para pihak yang ingin membuat suatu CV harus memahami isi akta pendirian CV dengan baik untuk menghindari hal-hal sebagaimana tersebut di atas yang dapat merugikan usaha para sekutu.