Komunikasi dan Bahasa: Penting Mana?

OPINI & ARTIKEL110 Dilihat

Oleh: Emeraldy Catra

Dua orang ahli bahasa secara kebetulan bertemu di sebuah kebun binatang. Orang pertama ahli bahasa Indonesia, tapi tak bisa berbahasa Perancis. Sebutlah namanya Mahmud. Orang kedua ahli bahasa Perancis, tapi tak bisa berbahasa Indonesia. Kita namakan saja orang ini Saussure. Karena saling tidak bisa berkomunikasi secara verbal mereka hanya saling senyum dan menggunakan gerakan tangan sebagai isyarat.

Tiba-tiba terjadi kegaduhan. Orang berlarian ke luar kebun binatang. Mahmud bertanya pada seorang pengunjung yang setengah berlari. ‘Ada apa?’. Orang itu menjawab, ‘Harimau lepas. Ia mengganas. Cepat selamatkan diri’. Mahmud pun ketakutan.

Tak ingat Saussure tidak bisa berbahasa Indonesia, Mahmud memberi tahu kenalan barunya itu dengan bahasa Indonesia. Setelah itu segera pergi menyelamatkan diri.

Saussure bukannya lari, tapi mengambil kamera dan memotret orang berlarian. Ia tidak tahu apa yang terjadi walaupun beberapa orang telah memperingatkan agar ia menyingkir.

Mungkin Anda menyangka Saussure akan dimangsa harimau. Silahkan saja, Anda bebas berimajinasi. Boleh membayangkan Saussure tewas diterkam harimau, boleh juga mengira Saussure diajak bersalaman oleh harimau ganas itu. Suka-suka Anda sajalah. Saya tidak akan memberitahu Anda apa yang terjadi setelah itu, karena peristiwanya memang tidak pernah ada.

Peristiwa di atas logis sekali, dan mungkin saja bisa terjadi, tapi yang saya ceritakan tidak lebih dari sekedar ilustrasi. Saya ingin mengambil sejumput unsur dari cerita tadi, yaitu bahasa dan komunikasi.

Mahmud dan Saussure sama-sama ahli bahasa, tapi dalam bahasa yang berbeda. Perbedaan bahasa, dan keduanya hanya mengerti satu bahasa, menyebabkan keduanya tidak dapat berkomunikasi secara normal sebagaimana lazimnya manusia. Mereka terpaksa mengandalkan isyarat dan bahasa tubuh saja.

Penting Mana?

Ketika dua ahli bahasa saling tidak mengerti bahasa kenalannya, apakah bahasa menjadi penting? Apakah keahlian mereka juga penting? Pertanyaan ini dapat kita alihkan ke objek lain: ketika seorang ahli bahasa bertemu dengan seekor ular kobra, apakah bahasa yang ia kuasai itu tetap penting? Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas hanya satu kata: tidak!

Bahasa dan keahlian berbahasa hanya berguna dalam sebuah komunikasi. Tanpa komunikasi bahasa hanya menjadi sekumpulan pengetahuan dan keahlian yang tidak bermakna secara sosial. Ahli bahasa tidak akan dapat mengajarkan keahliannya kepada orang lain tanpa komunikasi. Bicaralah dengan berbagai bahasa pada dinding, Anda akan yakin bahasa itu tidak bermanfaat karena dinding tidak punya kuping.

Oleh sebab itu, dalam interaksi manusia bahasa tidak lebih penting daripada komunikasi. Pertemuan antara Mahmud dan Saussure menegaskan betapa tidak pentingnya bahasa ketika keduanya saling tidak mengerti. Justru yang penting adalah isyarat bibir, mata dan tangan yang sebenarnya tidak termasuk bahasa (kecuali kalau dipaksakan menjadi bagian dari bahasa).

Saya tidak memasukan isyarat sebagai bahasa, karena hanya akan memperluas definisi bahasa secara membabi buta. Alam juga memberi isyarat. Tengkorak manusia yang tergeletak di pinggir jalan juga memberi isyarat kalau dimaknai. Apakah alam dan tengkorak manusia punya bahasa? Bahasa alam? Bahasa tengkorak? Tentu tidak dapat dikatakan demikian.

Bahasa terkait dengan tanda, makna dan konvensi. Konvensi dipengaruhi budaya. Unsur konvensi menyebabkan bahasa jadi tidak relevan dengan isyarat alam karena manusia tidak dapat membuat konvensi dengan alam dalam soal tanda dan makna tanda.

Meskipun isyarat tidak termasuk bahasa, ia tetap berguna dalam komunikasi dan orang tetap dapat berkomunikasi hanya bermodal isyarat. Bunyi kentongan bukan bahasa, tapi ia bisa membawa makna tertentu. Bunyi tertentu mengisyaratkan kematian, bunyi yang lain mengisyaratkan bencana seperti adanya maling atau kebakaran.

Implikasi

Uraian di atas membawa implikasi pada kajian komunikasi kontemporer. Sejak tahun 1980an muncul pengaruh sangat kuat kajian linguistik, terutama sekali semiotika, analisis wacana dan literasi kepada ilmu komunikasi. Sebagian sarjana ilmu komunikasi menganggap kajian itu seksi dan mereka memaksakan agar sub-kajian linguistik itu masuk ke kajian komunikasi. Alasannya sederhana saja: kita tidak dapat berkomunikasi tanpa bahasa.

Tulisan ini saya buat untuk membantah argumen itu. Justru bahasa yang membutuhkan komunikasi agar ia berguna secara sosial. Orang tetap dapat berkomunikasi dengan isyarat, yang tidak dapat diklaim sebagai bagian dari bahasa. Istilah ‘bahasa isyarat’ itu bukan memastikan isyarat merupakan sebuah bahasa, dan kata  bahasa dalam istilah itu cenderung membuat kekaburan batas antara bahasa dengan non-bahasa.

Seharusnya ilmu komunikasi dapat menjadi disiplin yang otonom, yang tidak tergantung kepada analisis semiotika, analisis wacana dan literasi yang sejatinya berada di luar ilmu komunikasi. Memang benar ilmu komunikasi mempelajari pernyataan antar manusia, dan pernyataan itu membutuhkan bahasa, tapi ilmu komunikasi tidak mempelajari bahasa. Ilmu komunikasi mempelajari manfaat pernyataan yang dipertukarkan manusia untuk membangkitkan energi kolektif yang berguna untuk memecahkan berbagai masalah dalam masyarakat.

(Penulis adalah Ketua Jurusan Komunikasi Universitas Andalas)