Surau Sedekah dan Potensi Ekonomi Umat

OPINI & ARTIKEL65 Dilihat

Oleh: Emeraldy Chatra

Saya memaknai kalimat Allah yam haqullahur riba wayurbi sadoqaati (Al Baqarah 276) sebagai sebuah petunjuk bahwa ekonomi berbasis riba akan hancur dan sebaliknya ekonomi berbasis sedekah akan tumbuh dengan subur. Secara logika apa yang dikatakan Allah sangat dapat diterima. Ekonomi berbasis riba cenderung menghisap, sehingga suatu ketika kemampuan ekonomi masyarakat akan menurun. Disitulah akan muncul kehancuran.

Kehancuran itu sudah terjadi, dibuktikan dengan banyaknya orang miskin atau terus-menerus berada di ambang kemiskinan. Mereka orang yang mendekati miskin hidup pas-pasan saja, dengan sedikit tabungan – bahkan ada yang dililit hutang — dan tidak mampu membeli secara tunai benda-benda yang dibutuhkan rumah tangga.

Di pihak lain ada sekelompok kecil orang yang menguasai sumber daya ekonomi dalam jumlah yang luar biasa. Mereka bukan main kayanya. Mereka mampu membeli apa saja, termasuk kekuasaan yang dimiliki pejabat negara. Semua itu akibat penghisapan yang ditopang oleh sistem riba.

Ketimpangan ekonomi yang hebat ini tidak lain karena umat Islam tidak punya kemampuan mengoptimalisasi sedekah. Tidak pula mampu membangun ekonomi berbasis sedekah. Padahal kalau firman Allah ditindaklanjuti dengan mengonstruksi sistem ekonomi berbasis sedekah umat Islam akan dapat keluar dari masalah ekonomi yang menderanya.

Saya juga memaknai kalimat Allah yam haqullahur riba wayurbi sadoqaati sebagai petunjuk bagaimana menghancurkan ekonomi berbasis riba. Caranya, dengan sedekah. Bukan dengan zakat (sehingga Allah tidak mengatakan wayurbi zakaati) atau infak yang utama.

Alasannya karena sedekah punya makna yang lebih luas daripada zakat. Sedekah tidak musti berupa uang atau benda-benda berharga. Perkataan yang baik, senyuman, nasehat kepada kebaikan dan sumbangan tenaga dapat juga menjadi sedekah. Sepanjang semuanya diberikan sebagai bukti keimanan kepada Allah maka ia menjadi sedekah.

Dalam memerangi ekonomi berbasis riba tidak cukup hanya dengan bermodalkan uang, tapi harus menghimpun modal-modal lain seperti modal sosial, modal kultural dan modal ilmu pengetahuan. Semua bentuk sedekah diperlukan dalam memerangi ekonomi berbasis riba.

Penerima sedekah tidak pula dibatasi hanya kepada orang miskin. Sedekah dapat diberikan kepada lembaga-lembaga yang bergerak untuk jihad dalam berbagai bidang: pendidikan, kesehatan, keamanan, keadilan, sampai pada gerakan yang bertujuan memerangi riba.

Tidak demikian dengan zakat. Penerimanya sudah ditentukan (At Taubah 60). Zakat pun hanya berupa materi (uang, emas, bahan makanan), tidak termasuk jasa dan ucapan-ucapan yang baik.

Sedekah ke Mesjid

Akhir-akhir ini ada kecenderungan mereduksi makna sedekah menjadi pemberian ala kadarnya kepada pengemis. Bagaimana mungkin pemberian berupa uang recehan dengan jumlah sangat sedikit akan mampu memerangi sistem ekonomi riba?

Dalam prakteknya, pemberian sedekah ke mesjid masih terus dilaksanakan. Tapi ada kecenderungan istilahnya bergeser dari sedekah menjadi infak. Perubahan istilah tentu membawa akibat perubahan konsep, dan perubahan konsep disusul oleh perubahan makna. Infak mempunyai makna yang tidak sekuat sedekah dalam konteks perang melawan ekonomi riba. Masalahnya, infak juga dapat dimaknai sebagai pemberian yang buruk, yang bertentangan dengan kehendak Allah.

Dengan demikian mustinya istilah bersedekah ke mesjid dikembalikan dan dipopulerkan. Di samping itu umat Islam juga diberi pengertian untuk apa mereka bersedekah ke mesjid. Perlu ditekankan bahwa bersedekah ke mesjid bukan berarti bersedekah untuk pengurus mesjid atau membangun mesjid saja, tapi bermakna lebih luas dari itu. Mesjid dapat menggunakan sedekah jemaah untuk membantu anak yatim, fakir miskin, atau janda-janda tua terlantar.

Surau Sedekah

Peran mesjid sebagai penerima sedekah sudah berlangsung sangat lama: sejak mesjid mulai dibangun di muka bumi. Tapi sedekah yang diterima lebih diutamakan untuk membangun fisik mesjid atau merenovasi bagian mesjid yang rusak. Di banyak tempat orang berlomba-lomba mempercantik mesjidnya. Setelah mesjid berdiri dan dianggap layak untuk beribadah barulah sedekah diarahkan untuk keperluan jemaah yang patut menerima.

Tidak ada yang salah dari pengumpulan sedekah untuk membangun mesjid. Sebab bangunan mesjid memang hasil jerih payah umat secara kolektif. Namun pengelolaan sedekah setelah mesjid selesai jarang didiskusikan secara serius. Sedekah ke mesjid yang jumlahnya sangat besar (kalau digabungkan) ternyata tidak berdampak pada pertumbuhan ekonomi riba. Umat Islam tetap saja terbelit oleh sistem riba yang hanya menguntungkan sekelompok kecil manusia. Sistem itu malah semakin hari semakin kuat menjepit kehidupan umat Islam.

Ke depan kita perlu serius memikirkan pengelolaan sedekah ini. Sedekah harus menjadi sumber kekuatan ekonomi umat, tidak hanya dihabiskan untuk konsumsi. Dengan uang sedekah umat dapat membangun usaha produktif tanpa riba yang akhirnya akan mengurangi kemiskinan.

Agar sedekah benar-benar terkelola dengan baik saya mengusulkan agar dilakukan pemisahan manajemen mesjid dengan manajemen sedekah. Setiap mesjid dapat membentuk lembaga khusus yang saya beri nama Surau Sedekah. Pengelolanya orang khusus, kalau dapat tidak merangkap sebagai pengurus mesjid. Mereka harus mempunyai skill pengelolaan keuangan yang bersumber dari Quran dan Hadis.

Apabila setiap mesjid punya Surau Sedekah dalam waktu singkat insyaAllah umat Islam tidak lagi menggantungkan diri kepada bank-bank riba. Mereka dapat mencari pinjaman modal usaha ke Surau-surau Sedekah di mesjid di lingkungan tempat tinggal mereka.

*Catatan tambahan*

Saya tidak tertarik dengan kerusuhan kata-kata. Saya lebih suka memikirkan solusi. Riba memang menghancurkan. Itu alat bagi Yahudi menghancurkan goyim (non-Yahudi) sesuai dengan Kitab Taurat yang mereka pegang. Mereka membuat bank-bank riba, sementara mereka sendiri berpantang memakannya.

Oleh sebab itu, beberapa bulan yang lalu saya menggagas Surau Sedekah di mushalla Ar Rasyid, FISIP Unand. Saya bentuk pengurus yang terpisah dengan pengurus mushalla.

Inti gagasannya, kalau saja 3.000 dari 32.000 warga Unand mau bersedekah rutin Rp 50.000/bulan, tiap bulan Surau Sedekah akan mendapatkan dana Rp 150 juta. Setahun Rp 1,8 M. Wow…Tapi itu potensi, belum real.

Setelah masuk ke surau, duit itu jadi milik Allah. Bukan milik siapa2 lagi. Bukan milik pemberi sedekah. Pengurus Surau Sedekah harus mengelola milik Allah itu untuk kemaslahatan umat.

Siapa yang berhak menerima uang itu?

Ada dua golongan. Pertama mahasiswa yang kesulitan dana. Bea siswa tidak ada. Mereka wajib dibantu. Sudah tiga orang mahasiswa dapat kami selamatkan dengan uang sedekah, padahal yang mau bersedekah belum sampai 20 orang.

Kedua, sarjana-sarjana baru yang sedang merintis usaha (startup) dan perlu modal. Kepada mereka pemberian dana dilakukan dengan sistem pinjaman. Mereka dapat mengajukan proposal pemiminjaman dana, kalau disetujui oleh Tim Penelaah mereka dapa meminjam tanpa bunga. Kapan dibayar, dapat dinegosiasikan. Yang penting mereka harus menyadari bahwa mereka berhutang bukan kepada manusia, tapi kepada Allah.

(Penulis Adalah Penggiat Sedekah dan Dosen Unand)