Sepenggal Kisah Imlek dari Oma Tres Gho

BERITA UTAMA701 Dilihat

JAKARTA,KABARDAERAH.COM– Tahun Baru Cina atau Imlek 2574 Kongzili resmi diperingati masyarakat Tionghoa diseluruh dunia pada Minggu, 22 Januari 2023. Imlek pertama yang diperingati secara meriah pasca Covid-19 ini disambut penuh harapan.
Salah satu harapan itu datang dari seorang tokoh dan aktivis perempuan Tionghoa, Theresia Yatty Effendy (80) tahun. Perempuan kelahiran 11 September 1942 di Padang, Sumatera Barat ini mengatakan bahwa “Shio Kelinci” menurutnya merupakan simbol keberuntungan dan keberkahan.

“Harapannya supaya Indonesia lebih maju, ‘des’ kami-kami ini (Komunitas Tionghoa-red) pun dipakai jugalah untuk acara-acara lain. Jangan dibuang. Kita bersama-sama dalam membangun bangsa, budaya,dan ekonomi untuk memajukan bangsa dan negara ini,” kata Oma Tres Gho ditemui media ini di Panti Jompo, Babakan, Tangerang Selatan, Banten, sehari sebelum perayaan Imlek 2023.

Oma Tres Gho, yang juga masih saudara sepupu jauh penyanyi legendaris Indonesia Erni Johan inipun menaruh harapan kepada generasi muda Indonesia untuk tetap menjaga, merawat dan melestarikan budaya-budaya warisan leluhur.

“Jadi, kalau bisa tradisi-tradisi nilai-nilai budaya itu jangan dihilangkan. Awet terus sampai kapanpun. Karena itu sebuah tradisi yang tidak bisa dibeli dengan uang. Meskipun masa tahun berlalu, dan tantangan boleh berubah, tetapi suatu yang harus selalu hadir. Kita selalu mensyukuri atas semua yang telah kita terima untuk saling berbagi demi kemajuan bersama,” imbuhnya berharap.

Reuni dan Harapan

Tentang tema Imlek 2574 Kongzili tahun ini (2023) menurut Oma Tres, demikian ia disapa, merupakan sebuah tema yang sangat baik dijalankan oleh setiap keluarga atau khususnya masyarakat Tionghoa yakni “Reuni dan Harapan” atau acara makan bersama (Nian Ye Fan) sebuah tradisi yang ada ribuan tahun silam.

Oma Tres Gho bersama putrinya Ibu Sinta dan Pimpinan Panti,Suster Agnus (baju biru) asal Flores-NTT . Terus bernyanyi untuk menghibur teman-temannya di Panti Jompo. (foto: Domi Dese Lewuk)

“Tradisi ini menjadi momen penting bagi keluarga Tionghoa. Dimana keluarga menjadi pilar penting dalam budaya masyarakat Tionghoa, karena merupakan saat reuni (Tang Yuan) bagi setiap keluarga Tionghoa dimana pun berada,” tutur Oma Tres pemilik nama Tionghoa Gho Siok Hoa itu.

Lanjut alumni SD Xin Hua Padang, Sumatera Barat ini, tradisi Tahun Baru Cina-Imlek baginya memiliki banyak kenangan yang tak pernah dilupakan. Ia juga berkisah tentang perbedaan Imlek di jamannya dengan jaman sekarang.

“O..tentu saja Imlek jaman dulu dengan sekarang jauh berbeda. Meski maknanya sama,tapi suasana sangat berbeda. Dulu kami lebih happy setiap menjelang maupun pada hari “H” perayaan Imlek,” kenang Oma Tres yang juga Pendiri dan Komisaris 1 Organisasi Perempuan Tionghoa bernama Sri Bhakti di Padang-Sumatera Barat tersebut.

“Jaman kami itu perayaan tahun baru Cina lebih meriah ketimbang sekarang, ya. Dimana kami bisa merasakan kebahagiaan di momen-momen itu,” kisah Oma Tres yang pernah ikut lomba pesparani (oikumene) , sekitar 40th yang lalu di Palangkaraya itu.

Salah satu kenangan Imlek yang tak bisa hilang dari ingatannya di masa kecil adalah menikmati atraksi Barongsai, dan lainnya. Oma Tres mengaku dirinya paling senang, bahagia ketika berkesempatan menaiki ‘sepasan-naga²an’ yang biasa dipikul oleh bapak-bapak.

“Ya, saat masih kecil, oma dan teman-teman perempuan lainnya sangat senang naik sepasan yang seperti ular itu lho…,” kenangnya.
Masih kata dia, pada saat pesta Imlek itu banyak sekali atraksi barongsai. “Saya senangnya pakai baju warna merah. Warna merah dan emas memang khas-an budaya orang Tionghoa saat pesta tahun baru Imlek. Tapi ada juga warna hijau, dan macam-macamlah,” tuturnya dengan mata berkaca-kaca, saking semangatnya.

Dirinya terus mengimbau agar generasi muda jangan bosan-bosan dengan budaya lokal warisan nenek moyang. Ia meminta agar kaum muda ikut merawat tradisi-tradisi budaya yang sudah ada pada ribuan tahun silam itu.

“Sekali lagi, Oma berharap, budaya apapun itu harus tetap dipertahankan. Jangan sampai punah. Sebab, apapun sebuah seni dan budaya itu punya makna, punya dasar filosofis tersendiri. Saya kira dimanapun di dunia ini, orang hidup itu harus punya prinsip. Karena dari budaya itulah ia akan belajar banyak hal tentang hidup, tentang kehidupan di sekitarnya bersama alam dimana dia berpijak”, ungkapnya.

Ekspresi Oma Tres Gho saat menyanyikan lagu-lagu favoritnya (foto:domi dese lewuk)

Tradisi bagi-bagi Angpao

Alumni anggota Paduan Suara Cicilia Katedral Jakarta dan Padang itu menuturkan, soal bagi-bagi angpao itu bukan sekedar berbagi rezeki,tapi merupakan tradisi bagi masyarakat Tionghoa pada umumnya saat menyambut Tahun baru Cina-Imlek.

“Angpau itu sudah jadi tradisi nenek moyang oranf Tionghoa. Merupakan simbol peduli sesama, bentuk kepedulian dan berbagai kegembiraan antar-sesama terutama yang belum mampu. Selain itu, angpau merupakan wujud ucapan syukur atas rezeki yang kita dapat selama setahun terakhir. Wujudnya adalah berbagi dengan orang yang lebih membutuhkan,” kisah oma Tres Gho yang juga seorang penyanyi lawas di masanya.

Jago Tarik Suara

Hari makin siang, langit kota Tangerang Selatan tampak mendung. Gumpalan awan saling berganti antara panas dan mendung. Raut wajah perempuan berusia 80 tahun itu tak tampak lelah meski obrolan sudah berlangsung hampir satu jam.

Sejak obrolan awal, Oma Tres sudah mengocok perut dengan celetukan-celetukan yang cukup menghibur. Beberapa kali Oma Tres sempat mengalihkan topik obrolan seputar Imlek dengan menyanyikan tembang-tembang lawas yang sangat digandrunginya saat muda hingga di usianya 80 tahun saat ini. Suara dan ekspresi keartisannya masih sangat kental.

Hari itu, Oma Tres mampu menyanyikan 12 lagu tembang kesukaannya. Mulai pop Mandarin, Pop Daerah Minang, Batak, Inggris, Jepang, Perancis, juga pop Indonesia terutama lagu-lagu Keroncong.

Berikut adalah judul-judul lagu pop dalam berbagai judul dan bahasa yang dinyanyikan Oma Tres Gho saat sesi obrolan sekitar 1 (satu) jam pada Kamis siang. Pemiliki nama Gho Siok Hoa atau Theresia Yatty Effendy, alias Tres Gho ini mampu melahap belasan judul lagu yang dihapalnya secara baik.

1. Kampuang nan jauh dimato (Minang, dipopulerkan Elly Kasim)
2. Alusiau
3. Teluk Bayur (dipopulerkan Erni Johan)
4. Bengawan Solo (Gesang Martomartono )
5. Ayam den Lapeh (Minang)
6. Bunda Maria (Pance Pondaag)
7. Sancta Lucia (Italia)
8. Che Sera (Italia)
9. Kokoronotomo (Jepang)
10. Zhe Mo Shuo (Mandarin – Teresa Teng)
11. L’amour Les Baguette Paris (Spanyol)
12. Tien Mi Mi (Mandarin)
13. Sinanggar Tulo (Batak)

Teresa Teng,Penyanyi legendaris asal Taiwan (fot; Dok/Istimewa)

Khusus lagu Zhe Mo Shuo, tembang Mandarin ini merupakan lagu favorit Oma Tres. Lagu ini dipopulerkan oleh Teresa Teng atau dikenal dengan nama Teresa Teng, seorang penyanyi legendaris dari Taiwan.

Ia terkenal di antara komunitas masyarakat berbahasa Mandarin dan di seluruh Asia bahkan dunia, termasuk Indonesia, selama kurang lebih 30 tahun. Teresa Teng lahir dengan nama Teng Li-Chun pada tanggal 29 Januari 1953 di desa Tianyang, Baozhong Township, Yunlin, Taiwan.

Dilansir dari wikipedia, Teresa Teng adalah seorang penyanyi legendaris dari Taiwan. Ia terkenal di antara komunitas masyarakat berbahasa Mandarin dan di seluruh Asia, termasuk Indonesia, selama kurang lebih 30 tahun. Ia terkenal hingga hari ini kerana lagu-lagunya yang merakyat dan bernada balada romantis.

Ayahnya seorang tentara Angkatan Bersenjata Republik China dari Daming, Hebei sedangkan ibunya dari Doungping, Shandong. Teresa Teng adalah satu-satunya perempuan dari 4 bersaudara, ia memiliki 2 abang dan seorang adik. Pernah bersekolah di SMA Putri Ginling di Sanchoung Township, Taipei County.

Pada saat muda, Teresa Teng memenangkan penghargaan untuk bernyanyi di kompetisi bakat. Pada tahun 1964, hadiah besar pertama diraihnya ketika menyanyikan lagu ‘Visiting Yintai’ dari Shaw Brothers Hwangmei film opera, The Love Eterne, dalam sebuah acara yang diselenggarakan oleh Broadcasting Corporation of China.

Tidak lama setelah itu, Teresa mampu mendukung keluarganya dengan bernyanyi. Berkembangnya ekonomi manufaktur Taiwan di tahun 1960an membuat pembelian rekaman lebih mudah untuk banyak keluarga. **

Penulis/Editor : Domi Dese Lewuk.