Peraturan Daerah Tentang Kebudayaan Minangkabau, Semoga Disetujui

Ditulis Oleh  :  Labai Korok Piaman

 

 

Adat dan budaya Minangkabau sekarang mulai bergeser, namun ketika ditanya tentang apa pengamanan budaya Minang dalam bentuk aturan hukum, kita semua bisa termenung. Sudah lebih kurang 80 tahun usia Sumatera Barat tidak ada aturan itu.

Alhamdulillah, kemarin muncul usulan Ranperda aspirasi yang dihimpun oleh anggota DPRD Sumatera Barat. Ranperda terkait dengan Pokok-pokok Kebudayaan Sumatera Barat ini perlu dibentuk untuk mendukung kelancaran penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Secara pribadi pun, sebelum milihat kontenya, Penulis menganggap Ranperda inisiatif DPRD Sumatera Barat tersebut masih terbatas, ini sebatas pokok-pokok kebudayaan Sumatera Barat. Tapi usulan Penulis langsung saja DPRD keluaranya nanti lahir Perda tentang Kebudayaan Minangkabau.

Penulis memberi apresasi usul inisiatif dewan muncul. Dari media yang dibaca Anggota Dewan yang terhormat ini, ide berangkat dari keinginan untuk menyatukan budaya Minangkabau yang akan jadi pedoman bagi generasi mendatang nantinya.

Makna kebudayaan itu sangat luas. Kebudayaan itu ada dan hadir disetiap sendi kehidupan bermasyarakat, termasuk diberbagai bidang disiplin ilmu. Bahkan budaya itu juga hadir didunia usaha dan kerja kantoran.

Ranperda pokok pokok kebudayaan Sumatera Barat ini tentunya juga tetap berpedoman pada kebudayaan Minangkabau secara umum, namun dipertegas dengan berbagai regulasi sehingga budaya minang itu betul betul menjadi bagian dalam aktivitas kehidupan bermasyarakat.

Jadi Penulis menyarankan, berharap agar DPRD Propinsi Sumatera Barat dan eksekutif nantinya menyempurnakan isi dengan melahirkan Perda tentang Kebudayaan Minangkabau seperti yang ada di Bali, Djogja, Betawi dan lainnya.

Sekarang runtuhnya nilai-nilai budaya Minangkabau nyata, tidak hanya datang dari kuatnya harus informasi budaya global, tapi juga terjadi dalam diri pemangku kebijakan yang berkuasa di Ranah Minang ini yang tidak memiliki karakter dan empati terhadap budaya minang itu sendiri, ini bukan tuduhan yang subjektif terhadap keadaan yang ada.

Namun hal itu bisa dibuktikan diantaranya dilihat dari pembangunan infrastruktur gedung-gedung perkantoran yang ada di Ranah Minang. Hari ini setiap instansi pemerintah dan swasta pasca gempa tahun 2009 membangun gedung rehab rekon sebahagian besar bentuk arsitektur modern yang tidak tahu asal usul filosofis budayanya, yang jelas tidak berbentuk rumah adat bagonjong.

Keruntuhan nilai-nilai budaya tidak hanya terjadi dari sisi bentuk fisik infrstruktur, tapi lebih mengkhawatirkan terjadi dalam bentuk kerusakan moral perbuatan dan perilaku social budaya, seperti pola kehidupan pribadi yang suka mengembar-gemborkan budaya hedonis dan music band barat, senang tampilan atraksi dj music disco, tata krama, budi pekerti, basa basi dalam aktifitas keseharian orang Minang.

Apabila dikolaborasi antara kerusakan fisik dan non fisik budaya Minang tersebut, maka tak salah juga kata pameo urang tuo-tuo dahulu yaitu “bantuak yang lahia manujukkan yang bantuk batin”. Artinya bentukan tampilan fisik yang ada sekarang di wajah ranah minang merupakan hasil dari prilaku masyarakat yang tidak memiliki rumpun filosofi minang dalam dirinya.

Situasi merosotnya nilai-nilai minang ini tentu tidak bisa dibiarkan. Yang komitmen dengan kelestarian budaya dan kebudayaan Minang sudah saatnya bersorak dan mendesak Pemerintah Provinsi Sumatera Barat (Pemprov Sumbar) baik eksekutif (Gubernur) untuk membuat regulasi atau peraturan yang berisi tentang kebudayaan Minangkabau tidak sekedar pokok-pokok.

Pertanyaannya apakah boleh masyarakat minang membuat peraturan tentang kebudayaan minangkabau? Siapa yang melarang, ya tentulah boleh dirumuskan, boleh diwujudkan dalam koridor menjujung tinggi nilai-nilai “Bhineka Tungga Ika”. Sudah saatnya pemerintah (DPRD/Kepala Daerah) membuat regulasi yang mengikat semua orang untuk menerapkan nilai-nilai budaya minang dan melestarikan budaya minang.

Anggota Dewan Propinsi Sumatera Barat tidak yang pertama membuat regulasi atau peraturan bernilai kebudayaan ini, tapi pemerintah Propinsi Sumatera Barat termasuk yang terlambat membuatnya dari daerah lain, namun walaupun terlambat, Alhamdulillah sudah saatnya mengikuti langkah daerah-daerah yang terlebih dahulu memperjuangkan keistimewaan daerahnya seperti DKI, Djogja, Papua dan lainnya.

 

Editor  :  Robbie