Asas Ne Bis In Idem Untuk Kepastian Hukum, Berikut Penjelasan Katua FRN DPW Sumbar

BERITA UTAMA, TERBARU1054 Dilihat

KabarDaerah.com – Berdasarkan surat nomor B/108/III/WAS.2.1/2024/Bidpropam, tanggal 01 Maret 2024 Bidpropam tidak bisa menindak lanjuti laporan saudara pelapor, karena objeknya sama dengan objek laporan sebelumnya.

Menerima balasan surat yang dikirim Bidpropam Polda Sumbar tersebut, dapat ditanggapi sebagai berikut:

  • Laporan kami tersebut dengan nomor surat 04/LP/LSM-KOAD/BT/I/2024 tanggal 25 Januari 2024 adalah kami tidak bisa melapor (laporan resmi) sesuai dengan aturan dan UU.
  • Pengaduan STTP/284 STTP/303, dan STTP 636 yang kami lakukan bukanlah Laporan Polisi yang diisaratkan aturan dan UU, untuk itu kami sebagai masyarakat tentunya punya hak untuk melapor tersebut.
  • STTP/284 STTP/303, dan STTP 636, Objeknya berbeda dengan yang kami laporkan ke Kapolda Sumbar U/p Waka Polda Sumbar.
  • Laporan Hasil Penyidikan nomor R/LHP-60/VII/WAS.2.4/2022/Bidpropam, tanggal 18 Juli 2022, Barang bukti kami dihilangakan oleh Subbid Warprof Bidpropam Polda Sumbar, sehingga perlu kami pertanyakan kembali ke Polda Sumbar.
  • Jawaban Bidpropam dalam suratnya, menyatakan alasan penghentian perkara adalah tidak cukup bukti sedangkan alasan Polsek, Polresta Padang adalah belum ada alat bukti dan tidak terpenuhi unsur perkara karena terkait perjanjian kerjasama.
  • Dalam surat nomor B/251/VII/HUK.12.10./2023/Bidpropam tanggal 12 Juli 2023, tidak ditemukan pelanggaran Kode Etika Profesi. Pada hal  ada barang bukti yang dihilangkan dai BAP, berupa gembok dan mesin pompa air merek Kipor, jadi mana mungkin tidak ditemukan pelanggaran kode etika profesi tersebut. yang benar bukti dihilangkan dulu oleh Subbid Warprof.

Kata ketua FRN DPW Sumbar, ” Perlu kami jelaskan, agar Kabidpropam paham dengan apa yang dimaksud dari laporan ke Kapolda dan Waka Polda Sumbar tersebut. Terkait tidak bisa melaporkan tindak pidana. Hanya saja Kapolda Sumbar memang sangat cerdas, beliau tentunya mengetahui bahwa telah terjadi pelanggaran kode etika profesi, yang dilakukan Polsek Kuranji, Polresta Padang untuk itulah didisposisi ke Bidpropam untuk disidik”, kata Ketua FRN DPW Sumbar.

Ketika Kabidpropam salah dalam menafsirkan perintah Kapolda Sumbar, tentunya Kabidpropam telah melakukan pelanggaran, dengan menolak laporan kami, kata ketua FRN.

Ne Bis In Idem, berikut keterangannya penjelasannya

Ne Bis In Idem adalah perkara dengan obyek, para pihak dan materi pokok perkara yang sama, diputus oleh pengadilan dan telah berkekuatan hukum tetap baik mengabulkan atau menolak, tidak dapat diperiksa kembali untuk kedua kalinya.

Gugatan yang diajukan seseorang ke pengadilan dan mengandung Ne bis In Idem, harus dinyatakan oleh hakim bahwa gugatan tersebut tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijk Verklaard).

Pengertian tentang asas ne bis in idem terdapat pada ketentuan pasal 1917 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang berbunyi “Kekuatan sesuatu putusan Hakim yang telah memperoleh kekuatan mutlak tidaklah lebih luas daripada sekedar mengenai soal putusannya.

Untuk dapat memajukan kekuatan itu, perlulah bahwa soal yang dituntut adalah sama, bahwa tuntutan didasarkan atas alasan yang sama, lagipula dimajukan oleh dan terhadap pihak-pihak yang sama didalam hubungan yang sama pula”.

Artinya bahwa suatu perkara yang telah diputus oleh hakim terdahulu dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap tidak dapat digugat kembali dengan subyek dan objek yang sama.

Yurisprudensi MA.RI tentang ne bis in idem, YMA No. 1226 K/Pdt/2001, Tanggal 20 Mei 2002. Kaidah Hukum dari yurisprudensi tersebut adalah meski kedudukan subyeknya berbeda, tetapi obyek sama dengan perkara yang telah diputus terdahulu dan berkekuatan hukum tetap, maka gugatan dinyatakan Ne bis In Idem.

Dalam setiap putusan, perlu memperhatikan tiga hal yang sangat esensial yaitu unsur keadilan, unsur kemanfaatan dan unsur kepastian hukum.

Apabila hakim telah memeriksa suatu perkara yang diajukan kepadanya. Pada tahap pelaksanaan dari pada putusan ini, maka akan diperoleh suatu putusan yang in kracht van gewijsde (berkekuatan hukum tetap).

Terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, terkadang seseorang yang merasa haknya dilanggar akan menggugat kembali suatu perkara yang sebelumnya sudah digugatnya, walaupun dengan subyek yang berbeda tetapi dengan obyek yang sama.

Dalam hal ini dibutuhkan ketelitian seorang hakim dalam menilai apakah perkara yang diajukan tersebut masuk kategori Ne bis In Idem.

Penerapan asas Ne bis in idem ini menjadi perhatian Mahkamah Agung dengan diterbitkannya Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 tahun 2002 tentang Penanganan Perkara yang berkaitan dengan Asas ne bis in idem, pada pokoknya kepada hakim-hakim agar memperhatikan dan menerapkan asas nebis in idem dengan baik  untuk menjaga kepastian hukum bagi pencari keadilan, hal itu juga bertujuan agar tidak terjadi putusan yang berbeda.

Demikian pula terdapat beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung RI yang dapat dijadikan landasan menyatakan gugatan adalah ne bis in idem.

Mahkamah Agung melalui Putusan pada tingkat kasasi No. 647/K/sip/1973 yang menyatakan : ”Ada atau tidaknya asas ne bis in idem tidak semata-mata ditentukan oleh para pihak saja, melainkan terutama bahwa obyek dari sengketa sudah diberi status tertentu oleh keputusan Pengadilan yang lebih dulu dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap”.

Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 Tahun 2012, pada angka Romawi XVII.

Tentang Ne bis In Idem, diatur sebagai berikut menyimpangi ketentuan Pasal 1917 KUHPerd Majelis Kasasi dapat menganggap sebagai Nebis In Idem meskipun pihaknya tidak sama persis dengan perkara terdahulu asalkan pada prinsipnya pihaknya sama meskipun ada penambahan pihak. status objek perkara telah ditentukan dalam putusan terdahulu.

Untuk melihat apakah suatu perkara terkwalifikasi ne bis in idem maka harus dilihat objek dan subjek dalam perkara tersebut, jika terdapat persamaan maka dapat dipastikan terpenuhi asas ne bis in idem, selanjutnya perkara akan dinyatakan tidak dapat diterima oleh majelis hakim.

Dibawah ini beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung yang memutus perkara sebagai ne bis in idem.

  • Putusan Mahkamah Agung RI No. 1456 K/Sip/1967, tanggal 6 Desember 1969 menyatakan “Hakikat dari asas hukum ne bis in idem adalah bahwa baik para pihak yang berperkara (subject) maupun barang yang disengketakan (object) dalam gugatan perdata tersebut adalah sama.”
  • Putusan Mahkamah Agung RI No. 123 K/Sip/1968, tanggal 23 April 1969 menyatakan “Meskipun posita gugatan tidak sama dengan gugatan terdahulu, namun karena memiliki kesamaan dalam subjek dan objeknya serta status hukum tanah telah ditetapkan oleh putusan terdahulu yang sudah in kracht, maka terhadap perkara yang demikian ini dapat diterapkan asas hukum ne bis in idem.”
  • Putusan Mahkamah Agung RI No. 588 K/Sip/1973, tanggal 3 Oktober 1973 menyatakan “Karena perkara ini sama dengan perkara yang terdahulu, baik dalil gugatannya maupun objek perkara dan penggungat-penggugatnya, yang telah mendapat keputusan Mahkamah Agung tanggal 19 Desember 1970 No. 1121 K/Sip/1970 No. 350 K/Sip/1970, seharusnya gugatan dinyatakan tidak dapat diterima, bukannya ditolak.”
  • Putusan Mahkamah Agung No. 497 K/Sip/1973, tanggal 6 Januari 1976 menyatakan “karena terbukti perkara ini pernah diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Negeri Surakarta, maka gugatan penggugat tidak dapat diterima.”
  • Putusan Mahkamah Agung No. 1149 K/Sip/1982, tanggal 10 Maret 1983 menyatakan “Terhadap perkara ini dihubungkan dengan perkara terdahulu, yang telah ada putusan Mahkamah Agung, berlaku asas ne bis in idem, mengingat kedua perkara ini, pada hakikatnya sasarannya sama, yaitu pernyataan tidak sahnya jual beli tanah tersebut dan pihak-pihak pokoknya sama.”
  • Putusan Mahkamah Agung RI No. 1226 K/Sip/2001, tanggal 2002 menyatakan “Meski kedudukan subjeknya berbeda tetapi objeknya sama dengan perkara yang telah diputus terhahulu dan berkekuatan hukum tetap, barulah gugatan dinyatakan ne bis in idem.”
  • Putusan Mahkamah Agung RI No. 547 K/Sip/1973, tanggal 13 April 1976 menyatakan “Menurut Hukum Acara Perdata, asas ne bis in idem, tidak hanya ditentukan oleh kesamaan para pihaknya saja, melainkan juga adanya kesamaan dalam objek sengketanya.”
  • Untuk menilai suatu perkara terkualifikasi ne bis in idem maka dilihat dari gugatan yang diajukan oleh penggugat.

Hal ini sangat penting, untuk menghindari perbedaan putusan hakim atau dualisme putusan hakim dalam suatu perkara yang sejenis dan untuk menjaga kepastian hukum bagi para pencari keadilan.

Syarat-syarat Asas Ne Bis In Idem dalam Hukum Pidana

Ne Bis In Idem diatur dalam KUHPidana dalam ketentuan Pasal 76 ayat (1) KUHP yang menyebutkan orang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia terhadap dirinya telah diadili dengan putusan yang menjadi tetap.

Ne Bis In Idem merupakan asas hukum dalam perkara dengan obyek sama, para pihak sama, dan materi pokok perkara yang sama yang diputus oleh pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap yang mengabulkan atau menolak, tidak dapat diperiksa kembali untuk kedua kalinya.

Setiap putusan yang telah dijatuhkan oleh hakim terhadap diri terdakwa, baik putusan yang merupakan pemidanaan maupun putusan yang lainnya adalah sebagai bentuk pertanggung jawaban yang diberikan oleh undang-undang terhadap yang telah terbukti secara sah dan berdasarkan bukti yang kuat telah terbukti melakukan suatu tindak pidana.

Setiap terdakwa yang terbukti melakukan tindak pidana hanya dapat dipertanggungjawabkan terhadap peristiwa atau tindak pidana yang telah dilakukannya dan tidak dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang tidak pernah dilakukannya, serta juga hanya berhak menjalani hukuman yang dijatuhkan oleh hakim atas peristiwa dan tindak pidana yang dilakukannya.

Penerapan asas Ne Bis In Idem dalam perkara pidana merupakan bentuk perlindungan hukum terhadap diri terdakwa agar tidak dapat dituntut dan disidangkan kembali dalam peristiwa dan perkara pidana yang sama dan yang sebelumnya telah pernah diputus, serta untuk menghindari agar pemerintah tidak secara berulang memeriksa perkara yang telah pernah diperiksa sebelumnya yang pada akhirnya menimbulkan beberapa putusan berbeda.

Suatu perkara pidana yang dituntut dan disidangkan kembali baru dapat dinyatakan sebagai perkara yang Ne Bis In Idem apabila telah memenuhi syarat tertentu. Menurut M.Yahya Harahap, unsur Ne Bis In Idem baru dapat dianggap melekat pada suatu perkara ditentukan dalam Pasal 76 KUHP, yaitu:

Perkara telah diputus dan diadili dengan putusan positif, yaitu tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa telah diperiksa materi perkaranya di sidang pengadilan
Hakim telah menjatuhkan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.

Ne Bis In Idem diatur dalam KUHPidana dalam ketentuan Pasal 76 ayat (1) KUHP yang menyebutkan orang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia terhadap dirinya telah diadili dengan putusan yang menjadi tetap.

Kemudian, dalam perkara pidana putusan pengadilan atau putusan hakim yang bersifat positif terhadap peristiwa pidana yang dilakukan dan didakwakan dapat berupa pemidanaan, putusan pembebasan, dan putusan lepas dari segala tuntutan.

Meski salah satu syarat agar suatu putusan perkara pidana dapat dinyatakan telah Ne Bis In Idem adalah putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, akan tetapi tidak semua jenis putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan kemudian terhadap terdakwa dan perkara pidana yang sama tidak dapat dituntut dan disidangkan kembali atau dinyatakan sebagai perkara pidana yang telah Ne Bis In Idem.

Oleh karena itu, putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara pidana bukan berdasarkan putusan yang positif atas peristiwa pidana yang didakwakan kepada terdakwa, akan tetapi berada diluar peristiwa pidananya, yaitu berupa putusan yang dijatuhkan dari segi formal atau putusan yang dijatuhkan bersifat negatif.

Putusan tersebut adalah putusan yang menyatakan surat dakwaan batal demi hukum, putusan yang menyatakan surat dakwaan tidak dapat diterima dan putusan yang menyatakan pengadilan tidak berwenang mengadili.

Pembelajaran Buat Kita 

Dari tulisan diatas, dapat kita simpulkan bahwa ne bis in idem tidak berlaku bagi perkara yang dihalang halangi Kepolisian untuk berproses. Ne bis in idem tentunya tidak berlaku bagi perkara pidana yang belum pernah dilaporkan, Ne bis in idem tidak berlaku bagi perkara pidana yang dihentikan tidak sesuai aturan hukum.

Khusus untuk Bidpropam Polda Sumbar yang menolak laporan ketua FRN DPW Sumbar.

Terkait surat kami yang diterima Kapolda Sumbar, surat tersebut didisposisi ke Bidpropam, tentunya untuk dilakukan proses hukum KEPP, dan yang pasti terkait dengan tugas Bidpropam Polda Sumbar, disposisi tersebut bukan untuk menolak laporan, tapi untuk diproses, kata ketua FRN DPW Sumbar.

Jika Bidpropam Polda Sumbar, mengikuti kronologis pelaporan yang kami lakukan, terdapat pergantian alasan dari penyidik. ada barang bukti yang dihilangkan berupa gembok dan mesin pompa air merek Kipor. lantas bukti tersebut hilang dari penyelidikan Subbidwarprof Propam Polda Sumbar.

Yang harus diperiksa sebenarnya adalah terkait Perkapolri nomor 7 tahun 2022. sesuai dengan poin pasal yang telah diatur.

Ketua FRN DPW Sumbar mengingatkan, ” Bidpropam Polda Sumbar Kombes (Pol) Hidayat Asykuri Ginting, S.Ik agar tidak menolak laporan. ketika laporan tersebut ditolak, Bapak telah melanggar KEPP Polri. sedangkan Perkara yang didisposisi oleh Kapolda Sumbar ke Bidpropam tentunya semata karena Job Deskripsi Bidpropam”, sebut ketua FRN Sumbar.

Lanjutnya, “Perlu Bapak pahami dulu, agar jawaban Bapak tidak membuat kami pusing tujuh keliling,kami melaporkan ke Kapolda sumbar bahwa kami tidak bisa melapor”, kata ketua FRN lagi. (Red)