BPP Yayasan I.J.Kasimo : Pemerintah Pusat “Prematur”Tetapkan KKB di Papua Sebagai Terorisme

BERITA UTAMA643 Dilihat

JAKARTA,KABARDAERAH.COM-Menyikapi Pernyataan Menko Polhukam RI, Prof. Mahfud M.D, yang disampaikan pada hari Kamis, 29/04/2021, sehubungan dengan penetapan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di tanah Papua dan segala nama organisasi dan orang yang berafiliasi didalamnya merupakan tindakan “teroris”.

Adapun, Keputusan ini diambil mengacuh pada ketentuan yang ada dalam UU Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Untuk itu, kami atas nama Badan Pengurus Pusat Yayasan Ignasius Joseph Kasimo yang memiliki tanggung jawab moril dan historis terhadap penghargaan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagian, kecerdasan dan keadilan bagi keberlangsungan kehidupan Orang Asli Papua (OAP) di Tanah Papua dimasa depan.

Setelah membaca dan mencermati lebih jauh situasi di Tanah Papua yang terus bereskalasi dan mengikuti perkembangan pandangan dunia internasional atas situasi di Papua terkini, dengan ini Kami, BPP Yayasan I.J. Kasimo menyampaikan sebagai berikut :

“Kami berpandangan, Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagian, kecerdasan dan keadilan (UU 39 Tahun 1999 Tentang HAM),” tulis Dewan Pembina Yayasan I.J. Kasimo,Dr. Sefanus Roy Rening, SH., MH. dalam siaran pers yang diterima awak media di Jakarta, Sabtu (1/5/2021).

Untuk itu, rakyat/masyarakat Papua dan segenap stakeholder Papua (Pemerintah, DPRP, MRP dan Tokoh Gereja) merupakan bagian integral (yang tidak terpisahkan) dari bangsa dan negara Republik Indonesia, harus dilindungi, dihormati martabatnya serta mendapatkan kesejahteraan, kebahagian lahir dan bathin serta memperoleh keadilan.

Selanjutnya, kami menilai, secara faktual, sejak bergabungnya Papua (Papua dan Papua Barat) ke Indonesia, catatan tentang realitas sosial, ekonomi dan politik di tanah Papua tidak berjalan secara linear sebagaimana daerah lainnya di Indonesia.

Realitas Papua lebih sering hadir sebagai perdebatan, wacana, diskusi bahkan diwarnai kekerasan yang tak terhindarkan baik secara vertikal antara masyarakat dengan pemerintah maupun horisontal antara masyarakat dengan masyarakat. Konflik horisontal dan vertikal tersebut telah mengakibatkan masih sering terjadinya pelanggaran terhadap HAM di Tanah Papua.

Kami menilai, pernyataan Menko Polhukam RI, Prof. Mahfud M.D yang telah menetapkan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Tanah Papua dan segala nama organisasi dan orang yang berafiliasi didalamnya merupakan tindakan “teroris” adalah tindakan yang “terburu-buru” alias “prematur”. Karena belum memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Dalam UU Terorisme dijelaskan, bahwa Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan dan ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.

Dengan memperhatikan pengertian terorisme tersebut, membuktikan bahwa situasi dan kondisi yang terjadi di Tanah Papua saat ini melalui gerakan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) belumlah dapat dikatakan telah menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas di Tanah Papua. Gerakan KKB hanya terlokasir dibeberapa tempat/lokasi. Artinya, gerakannya belum meluas diseluruh Tanah Papua.

Selain itu, gerakan KKB ini juga, belum menimbulkan korban yang bersifat massal,kerusakan objek vital strategis, lingkungan hidup, fasiltas publik dan fasilitas internasional. Dengan kata lain, penerapan UU Terorisme di Tanah Papua belum tepat, alias belum memenuhi syarat sebagaimana dimaksud Undang-Undang No. 5 Tahun 2018 Tentang Tindak Pidana Terorisme.

Selain itu, penetapan tersebut yang memasukkan organisasi dan orang yang berafiliasi didalamnya sebagai tindakan “teroris” yang dapat mengancam dan membahayakan keselamatan Orang Asli Papua (OAP) untuk mendapatkan hak hidup, hak untuk tidak disiksa, dan hak kebebasan pribadi yang merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.

Artinya, dengan adanya penetapan ini, dimungkinkan pihak TNI dan Polri (Densus 88) melakukan penyalahgunaan kekuasaan dengan cara melakukan kekerasan/ intimidasi/penyiksaan terhadap masyarakat/ organisasi yang berbeda pandangan dengan TNI/Polri (Densus 88) pada tingkat implementasinya.

Bagi kami, Yayasan Kasimo, Keputusan pemerintah dengan memberikan stigmatisasi KKB termasuk berbagai kelompok yang berafiliasi di dalamnya sebagai teroris ini mempertegas lagi bahwa kekerasan menjadi pilihan pendekatan oleh Pemerintah Pusat terhadap situasi di Papua.

Menurut Yayasan Kasimo, kebijakan ini selain kontraproduktif, juga mengkuatirkan akan mempercepat dan memperluas arena kekerasan susulan. Keputusan pemerintah ini akan sangat rentan terjadinya pelanggaran HAM serius di Tanah Papua.

Menurut Yayasan Kasimo, Keputusan ini sekaligus mengkonfirmasi gagalnya “pendekatan keamanan” yang sudah cukup intensif dilakukan dalam beberapa tahun terakhir. Keputusan yang tampak sangat tegas ini, terlihat sebagai kegagalan pendekatan keamanan yang dilakukan selama ini.

Selain kondisi geografis dan area yang sulit dijangkau, kegagalan aparat keamanan terhadap gerakan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) lebih disebabkan oleh kurangnya dukungan dan kepercayaan dari rakyat/masyarakat setempat terhadap aparat keamanan dan solusi-solusi yang ditawarkan dalam pola pendekatan keamanan ini.

Dengan melihat kondisi ini, Yayasan Kasimo sangat menyayangkan,adanya suara tokoh adat dan tokoh agama untuk mengadakan dialog dengan pendekatan yang lebih humanis dan bermartabat tidak direspon secara baik oleh Pemerintah Pusat.

Permintaan berkali-kali dari pemerintahan lokal di Papua agar membuka dialog dan pendekatan yang lebih humanis-bermartabat dengan mengikutkan tokoh adat dan tokoh agama justeru sampai saat ini terabaikan dalam proses kebijakan Pemerintah Pusat.

Tak kurang para ilmuwan peneliti pun telah merekomendasikan hasil penelitian dan kajian mereka atas persoalan-persoalan yang terjadi di Papua berikut tawaran solusinya tapi tidak terlihat diakomodir dalam kebijakan ini.

Oleh karena itu, Yayasan Kasimo mendesak, Pemerintahan Presiden Joko Widodo, untuk mencabut kembali penetapan KKB sebagai “terorisme” dengan segala afiliasinya dan segera membuka dialog dengan pihak Pemerintah Daerah (pemprov, pemkab/pemkot) termasuk DPRP, MRP (Lembaga Adat) dan Lembaga Agama di Papua.

Presiden Joko Widodo, diharapkan dapat memfasilitasi forum dialog yang bermutu dan bermartabat dengan melibatkan semua elemen utama di Tanah Papua untuk saling menyapa dan memberdayakan dalam semangat Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hasil dari dialog ini dapat dijadikan pilihan alternatif bagi langkah-langkah kongkrit penyelesaian Papua secara damai dan humanis.

“Kami percaya, dengan kemampuannya, Presiden Joko Widodo dapat menyelesaikan masalah Papua ini dengan bijaksana sebelum timbulnya korban jiwa, korban kekerasan/intimidasi/ penyiksaan dari pihak masyarakat sipil atau Orang Asli Papua (OAP) yang tidak bersalah,”ujar Roy Rening. ** (rls).