Sang Demokrat Sejati

OPINI & ARTIKEL96 Dilihat

MENYONGSON Pesta Demokrasi, pemilu serentak 2024, saya ingin menyumbangkan sebuah refleksi teologi politik sederhana tentang “Sang Demokrat Sejati” sebagai kelanjutan dari dua artikel teologi politik yang telah saya kemukakan sebelumnya, yaitu “Politik Allah Antitesis Politik Herodian” (sinergisatu.com, 17/18 Desember 2022) dan “Rakyat Mencari Mesias Politik” (kabardaerah.com, 5 Januari 2023).

Meski teologi politik ini dari perspektif Katolik, namun mudah-mudahan relevan dan bermanfaat bagi publik, terutama para elite politik dan partai politik serta elite kekuasaan.

Sebagai “tokoh historis” dua ribu dua puluh tiga tahun silam sekaligus “tokoh iman milenial”, gagasan dan pemikiran serta karya dan kinerja Yesus, Sang Demokra Sejati, akan selalu aktual dan relevan. Yesus dijuluki Sang Demokrat Sejati karena karya dan kinerja-Nya diabdikan secara total-radikal semata-mata demi “kemaslahatan” umat dan rakyat di dunia maupun “keselamatan” umat manusia dan dunia di akhirat.

Atau dalam sebuah adagium yang telah menjadi “hukum besi politik demokrasi” disebut salus populi suprema lex, artinya “kesejahteraan rakyat adalah hukum tertinggi”. Dalam versi teologis disebut salus populi suprema lex Dei, artinya keselamatan umat manusia adalah hukum Allah yang tertinggi. Visi ideoteologis dari Allah adalah keselamatan umat manusia, yang diaktualisasikan oleh Yesus dalam misi pewartaan Injil Kerajaan Allah sebagai kabar gembira keselamatan bagi umat manusia.

Meski Yesus hanya berkarya dan berkinerja selama tiga tahun, namun nilai karya dan kinerja-Nya tak lekang oleh zaman dan tak lapuk oleh milenium karena tetap terus dilanjutkan oleh Gereja-Nya. Dari sejarah kita mengetahui bahwa agama dan negara menjadi dua bidang utama pergumulan politik Yesus. Berikut ini beberapa aspek penting karakteristik kinerja Yesus, sang pemimipin berintegritas demokrat tulen.

Kaderisasi 

Yesus adalah satu-satunya contoh tokoh pemimpin dunia yang sukses melakukan kaderisasi dan pewarisan nilai-nilai “ideologi-teologis-emansipatoris” yaitu “politik keselamatan dari Allah untuk manusia, dunia, dan sejarah”. Kaderisasi yang melembaga dan berkesinambungan dalam Gereja Katolik yang didirikan oleh Yesus (Mat. 16: 18) itu, telah terbukti sepanjang sejarah, mulai dari para murid Yesus dengan Rasul Petrus yang kemudian menjadi paus pertama hingga Paus Fransiskus sebagai paus ke-266 di awal milenium ketiga ini.

Sejalan dengan kaderisasi yang melembaga secara berkesinambungan itu adalah komitmen dan konsistensi ideoteolgis dalam Gereja Katolik, yang tak tergoyahkan, terutama dalam hal menjaga dan membela ajaran iman, kesusilaan, etika, serta moral. Oleh karena itu, tidak ada salahnya kalau para eltie kekuasaan, eltie politik dan partai politik belajar dari Yesus Sang Demokrat sejati dalam hal kaderisasi, regenerasi, dan pewarisan nilai-nilai ideologis-konstitusional, yang untuk Indonesia adalah Pancasila dan UUD 1945. Kaderisasi, regenerasi, kelembagaan yang kokoh, serta konsistensi dalam hal ideologi dan konsistitusi adalah conditio sine qua non alias syarat mutlak bagi kokoh dan tegaknyanya sebuah negara atau sebuah partai politik.

Pemisahan Kekuasaan

Yesus adalah satu-satunya pemipin dunia yang sejak awal dengan tegas memisahkan antara kekuasaan negara di satu pihak dan agama di pihak lain.

“Berilah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah,” tegas Yesus (Mat. 22: 21).

Negara dan agama adalah dua bidang yang memiliki otonomi dan otoritas masing-masing, namun saling berkorelasi satu terhadap yang lain dalam hal kewajiban dan hak serta etika bernegara dan etika beragama, yang kalau dipraktikkan, akan bernilai positif bagi kedua belah pihak.

Yesus meminta umat Yahudi dan elite pemimpin mereka sebagai pihak agama untuk berkewajiban terhadap negara, salah satunya adalah membayar pajak.

Meski dari pihak negara, dalam hal ini kaisar dan rezim kolonial Roma, tidak peduli dengan hak dan nasib rakyat terjajah, namun Yesus meminta mereka untuk tetap taat membayar pajak kepada kaisar. Sekaligus juga berkwajiban terhadap Allah yang telah menciptakan manusia (termasuk Yahudi/Israel) sesuai dengan gambar dan rupa atau citra-Nya. Tentu saja kewajiban dalam bentuk kesetiaan menjalankan kehendak Allah dan jangan mengkhianati-Nya.

Para elite Indonesia, entah elite politik, elite kekuasaan, dan elite agama perlu belajar dari Yesus Sang Demokrat sejati yang dengan tegas memisahkan negara dan agama. Mencampuradukkan kepentingan negara dan kepentingan agama hanya akan menciptakan masalah yang ruwet. Agalagi mengagamakan negara dengan menerapkan hukum dan ideologi agama tertentu akan sangat kontrapruoduktif bagi kesatuan dan persatuan nasional, bahkan berpotensi memecah belah dan membubarkan NKRI. Demikian pula politisasi agama (politik identitas) demi menggapai kekuasaan, selain akan merusak citra dan martabat agama, juga berdampak negatif bagi persaudaraan kebangsaan Indonesia.

Kritik Kekuasaan 

Bagi Yesus, kekuasaan harus dikritik, agar tidak sewenang-wenang dan kejam. Dengan memisahkan negara dan agama, maka sebagai tokoh agama Yesus dengan bebas, tanpa takut melancarkan kritik tajam terhadap kekuasaan. Buktinya? Ketika orang Farisi meminta Yesus untuk menyingkir karena Raja Herodes Antipas ingin membunuh-Nya, dengan keras Yesus mengatakan: “Pergilah dan katakanlah kepada serigala itu ….” (Luk. 13: 32). Yesus mengecam Herodes Antipas sebagai serigala yang “memangsa” (memenggal kepala) Yohanes Pembaptis, karena sang Nabi itu menegur Heordes Antipas yang menikahi iparnya yang bernama Herodias, yang adalah istri Filipus, saudara Herodes sendiri (Mat. 14: 9-14).

Di Indonesia ada elite agama yang aktif terlibat dalam politik praktis dan mendapat jababatan dalam kekuasaan negara. Selama masih di ruang lingkup lembaga keagamaan, dari atas mimbar mereka bersuara lantang ketika berdakwah atau berkhotbah. Tetapi sebaliknya dijamin seratus persen, suara kenabian mereka tak terdengar lagi ketika sudah berada dalam lingkaran kekuasaan.

Elite agama yang sudah menjadi elite politik dan kekuasaan, tidak akan mungkin bersikap kritis terhadap penggunaan kekuasaan yang bersifat “memangsa” orag lain, misalnya dalam bentuk ketidakadilan, terutama terhadap rakyat kecil. Beranikah mereka menegur sang penguasa agar jangan menjadi serigala bagi manusia alias homo homini lupus.? Akan ada risiko yang harus ditanggung oleh elite yang bersangkutan, misalnya dipecat dari jabatannya atau dimutasi ke posisi yang tidak menguntungkan.

Politik Pelayanan

Sebagai antitesis terhadap politik kekuasaan, Yesus meminta para kader dan para pengikut-Nya, agar kalau ingin menjadi pembesar atau terpilih menjadi pemimpin, maka janganlah mereka memerintah dengan tangan besi atau kekerasan, melainkan harus melayani rakyat yang dipimpin. Lazimnya penguasa meminta dilayani, tetapi sebaliknya Yesus malah meminta penguasa untuk melayani atau menjadi pelayan rakyat.

“Kamu tahu bahwa pemerintah-pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi dan pembesar-pembesar menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka.Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa yang ingin menjadi besar di antara kamu, hendaknya ia menjadi pelayanmu. Barangsiapa yang ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu, sama seperti Anak Manusia yang datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani … “ tegas Yesus (Mat. 20: 25-28).

Jadi, Yesus meminta pemerintah dan para politisi memraktikkan politik pelayanan, bukan politik kekuasaan. Bahwa, seorang demokrat sejati adalah pelayan rakyat, bukan penguasa atas rakyat. Kepentingan rakyat harus dituamakan, bukan kepentingan pribadi, keluarga, kelompok, atau kepentingan oligarki. Seperti Yesus Sang Demokrat Sejati yang datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani, bahkan sampai mengorbankan diri-Nya demi keselamatan manusia, dunia, dan sejatah. Tentu para elite pemimpin tidak perlu mengorbankan nyawanya seperti Yesus, namun yang penting seperti diminta oleh Yesus yaitu benar-benar para elite pemimpin itu melayani kepentingan rakyat.

Mandat Ekonomi 

Sebagai tokoh agama yang demokrat sejati, Yesus tidak hanya memperhatikan kepentingan rohani para pengikut-Nya melalui pewartaan Injil dan pengajaran-Nya. Tetapi Yesus juga memperhatikan kepentingan jasmaniah mereka. Konkretnya Yesus memberi makan kepada ribuan orang. Kepada para kader-Nya, Yesus menegaskan: “Kamu harus memberi mereka makan … “ (Mat. 14: 16). Ini adalah mandat ekonomi, yang harus dilaksanakan oleh para kader-Nya dari generasi ke generasi, dari zaman ke zaman, dari milenium ke milenium dalam Gereja Katolik.

Mandat Yesus ini benar-benar direalisasikan oleh para paus dan Magisterium Gereja Katolik dengan mengeluarkan dokumen-dokumen Ajaran Sosial Gereja, yang secara langsung ataupun tidak langsung berkontribusi besar bagi perekonomian dunia, maupun internal Gereja Katolik dan umatnya sendiri di seluruh dunia dan segala zaman.

Bagi Indonesia, kerja sama produktif antara negara dan lembaga-lembaga agama dalam rangka merealisasikan amanat ideologi Pancasila, terutama sila yang kelima, dan amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sangat penting dan diperlukan demi meningkatkan kamakmuran dan kesejahteraan rakyat serta terciptanya keadilan sosial-ekonomi bagi seluruh rakyat Indonesia. Setiap lembaga agama dapat menyumbangkan kemampuan yang dimiliknya demi kepentingan rakyat dan bangsa Indonesia.

Politik Antikorupsi 

Salah satu dimensi penting dari politik Allah untuk kemaslahatan manusia yang masih hidup di dunia adalah “Antikorupsi”. Kepada Musa yang mewakili orang Israel, Allah dengan tegas memerintahkan: “Jangan mencuri!” (Kel. 20: 15), salah satu perintah dari Dekalog atau Sepuluh Perintah Allah. Korupsi adalah perbuatan mencuri uang negara yang adalah uang rakyat apabila dilakukan oleh oknum pejabat pemerintah maupun oknum pengusaha swasta yang berkolusi dengan oknum pejabat negara.
Tentu saja politik antikorupsi yang diperintahkan oleh Allah berlaku untuk semua orang, semua warga masyarakat dan negara, mulai dari penguasa tertinggi hingga rakyat biasa. Seorang isteri yang mengambil uang dari dompet suaminya yang tergeletak di atas meja, meski dengan maksud baik untuk membeli sayur, namun tanpa ketahuan suami, maka perbuatan isteri itu dikategorikan sebagai korupsi kecil-kecilan di rumah tangga. Karena itu pendidikan antikorupsi harus dimulai dari unit yang paling kecil yaitu keluarga, terutama anak-anak diajarkan agar jangan mencuri, sehingga menjadi kebiasaan terbentuknya budaya antikorupsi sejak kecil.

Korupsi entah nilai uangnya sedikit ataupun banyak, apalagi megakorupsi (bernilai miliar hingga triliun rupiah) adalah kejahatan pembunuhan secara tidak langsung terhadap hak hidup rakyat di bidang ekonomi. Ini adalah tindakan Iblis yang menjadi bapa bagi segala koruptor. Ingat Yesus pernah melontarkan kritik pedas kepada elite agama bahwa Iblis adalah bapa mereka, iblis yang sejak semula mempunyai keinginan membunuh manusia (Yoh. 8: 44-47). Seorang demokrat sejati yang sungguh-sungguh mencintai rakyatnya tentu tidak akan melakukan korupsi alias tidak mencuri hak rakyat.

Budaya Toleransi dan Dialog

Sebagai demokrat ulung, Yesus sangat menjunjung tinggi budaya toleransi dan budaya dialog. Yesus menghargai perbedaan praksis peribadatan Yudaisme antara orang Yahudi Samaria di Israel Utara dan orang Yudea di Israel Selatan, sekalipun keduanya sama-sama berasal dari keturunan Abraham. Orang Samaria berbakti kepada Allah di Gunung Gerizim, sebaliknya orang Yudea berbakti kepada Allah di Bait Suci, Yerusalem.

Ketika berdialog dengan seorang perempuan Samaria, di kota Sikhar, Yesus tidak memvonis orang Yahudi Samaria sebagai kafir dan tidak mempersoalkan praktik peribadatan agama mereka. Bagi Yesus tidak ada masalah soal tempat beribadah. Hal terpenting bagi Yesus adalah baik orang Yahudi Samaria maupun orang Yahudi di Yudea sama-sama harus menyembah Allah dalam roh dan kebenaran, karena Allah adalah Roh (baca Yoh. 4: 1-13). Itulah peribadatan yang benar dan sejati, sedangkan perihal tempat bisa di mana saja!

Demikian pula, Yesus tidak pernah memaksakan ajaran-Nya tentang Injil Kerajaan Allah kepada pihak lain. Yesus dan para kader-Nya tidak pernah menggunakan kekerasan dan pedang dalam mewartakan Injil Kerajaan Allah. Ketika mengutus para kader-Nya ke desa-desa, Yesus berpesan agar jika mereka diterima di desa-desa, maka tinggal bersama orang desa dan mengajar mereka. Sebaliknya jika para kader itu tidak diterima di suatu desa, maka tinggalkan saja desa itu. Tidak boleh ada paksaan atau mengkafirkan orang desa yang tidak mau menerima para kader Yesus (bdk. Mrk. 6: 6a-13).

Di Indonesia, intoleransi agama masih menjadi masalah serius dan akut. Virus intoleransi susah disembuhkan. Kekerasan verbal dan “pedang kata-kata” masih terdengar lantang dari mimbar-mimbar agama, maupun polemik apologetik secara virtual. Ada oknum elite agama yang sok paling pintar, paling hebat keimanannya, paling memahabenarkan agamanya, dan mempunyai hobi jelek yaitu mengutak-atik dan mempersoalkan keyakinan iman dan kitab suci agama lain.

Cilakanya, umat yang minim literasi agama membebek dan membeo saja kepada oknum elite agama yang sok mahatahu itu. Bahkan persekusi terhadap umat lain yang beribadah masih terjadi. Begitu pula pemaksaan penutupan rumah ibadah agama lain, masih marak. Budaya intoleransi agama masih menjadi tantangan dan problem serius, yang menuntut tanggung jawab bersama untuk mengatasinya, baik dari pihak pemerintah maupun pihak elite agama.***

Penulis adalah cendekiawan Tana Ai, Flores, NTT.