Keluargatokrasi, Fulustokrasi, dan Kleptokrasi

MENJELANG perhelatan nasional pileg  dan pilpres 2024, ada dua fenomena politik menarik untuk disoroti.

Pertama adalah semakin menguatnya apa yang saya sebut “keluargatokrasi” (kekuasaan dinasti keluarga). Saya sengaja menciptakan tiga istilah yang menjadi judul opini kali ini, ditambah beberapa “krasi” lain yang akan saya sebutkan, sebagai kritik terhadap “polusi politik” atau pencemaran terhadap iklim Demokrasi Pancasila.

Kedua adalah akrobatik politik devide et impera, menggoreng dan mem-framing isu, serta politik pengkhianatan yang dilakukan oleh para elite parpol dalam rangka mencari dan membentuk poros koalisi pilpres. Telah terbentuk tiga poros koalisi, yaitu poros Nasdem dkk., poros Gerindra dkk., dan poros PDI-Perjuangan dkk.

Namun tidak lama kemudian segera muncul lagi wacana cukup dua poros koalisi pilpres saja. Dilatarbelakangi oleh masih alot dan saling intip antara poros Gerindra dkk. untuk menentukan bacawapres bagi Prabowo Subianto di satu pihak dan di pihak lain poros PDI-Perjuangan dalam menetukan bacawapres bagi Ganjar Pranowo.

Tampaknya upaya menyatukan dua poros ini tidak semudah membalik telapak tangan karena baik Prabowo Subianto maupun Ganjar Pranowo tidak mungkin mau mengalah menjadi bacawapres satu terhadap yang lain. Sehingga yang ditunggu adalah tangan dingin sang king maker untuk menyatukan dua poros ini. Hasilnya bisa ya, dua poros, bisa tidak yaitu tetap tiga poros!

Rasionalisasi Keluargatokrasi

Tidak ada niat sama sekali untuk mencemarkan nama baik pihak-pihak yang dalam iklim Demokrasi Pancasila telah berhasil menciptakan dan menjalankan dinasti keluargatokrasi (yang tidak perlu disebutkan, namun publik sudah tahu). Apalagi kritik terhadap keluargatokrasi akan segera ditangkis dengan argumen rasionalisasi alias alasan pembenar yaitu hak politik konstitusional.

Misalnya agrumen dapat diambil dari Pasal 28D Ayat (3) UUD NRI 1945 yang berbunyi: “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.” Klausul ini bisa menjadi alat pembenar bagi warga negara untuk terlibat dalam politik dan pemerintahan yang kemudian berhasil membentuk dinasti keluargatokrasi setelah sang warga negara itu berhasil mencapai puncak kekuasaan.

Jadi, adakah hal yang salah mengenai keluargatokrasi? Tidak salah sejauh menyangkut hak warga negara atas kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Tetapi akan menjadi masalah apabila terjadi pelanggengan dan pelestarian dinasti keluargatokrasi dalam negara kita yang bersistem Demokrasi Pancasila.

Seperti fenomena yang dapat kita baca dengan jelas. Para pesaing politik PDI-P melancarkan politik devide et impera dengan terus menggoreng isu ketikaharmonisan komunikasi politik antara Presiden Joko Widodo dengan Megawati Soekarnoputri, dan elite PDI-P.
Langsung atau tidak langsung gorengan isu yang terus-menerus itu berimpak secara koinsiden dengan fenomena politik putra Presiden Joko Widodo, yaitu Mas Kaesang Pangarep menjadi Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia dengan branding politik partainya generasi milenial. Sementara Mas Gibran dan Anak Mantu Bung Boby Nasution meniti karier politik di PDI-P.

Para analis politik pun sibuk meramal dan menafsir. Misalnya, Joko Widodo telah mempersiapkan perahu politik untuk mengantisipasi posisi politiknya paska dua kali menjadi presiden RI. Dinasti keluargatokrasi mulai dibangun lewat kendaraan politik yang dipimpin putranya sendiri. Tidak salah juga tafsiran seperti ini, dan tidak melanggar konstitusi.

Pencemaran Demokrasi Pancasila

Selain keluargatokrasi, saya juga menciptakan istilah fulustokrasi, istilah yang sinonim dengan plutokrasi, yaitu kekuasaan uang atau pengaruh penguasa uang terhadap pemerintah. Juga istilah kleptokrasi, manakala dalam sebuah negara terdapat oknum pejabat bermental pencuri uang rakyat alias koruptor yang berkolusi dengan oknum pengusaha swasta.

Mulai dari pusat hingga daerah, dari oknum pejabat tinggi di pusat kekuasaan hingga paling rendah di desa-desa. Anda bisa bayangkan apa jadinya bila negara dikuasai oleh para oknum pejabat koruptor, baik yang sudah dikirim ke hotel prodeo maupun yang sedang diproses hukum, serta yang masih mampu menyembuyikan hasil pencuriannya.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa para taipan atau konglomerat alias para “nagasongo” penguasa uang di negeri ini ikut cawe-cawe secara tidak langsung dalam “mendukung” perhelatan politik nasional seperti pileg ataupun pilpres.

Dan, baik kaum fulustokrat maupun penguasa yang didukungnya sudah sama-sama tahu bahwa “tidak ada makan siang gratis dalam politik”.

Terlebih lagi kaum fulustokrat pemilik dan atau penguasa pertai politik, yang juga terjun langsung maupun tidak langsung dalam pemerintahan, entah di legislatif maupun eksekutif sudah sangat paham bagaimana “memproyekkan” proyek pemerintah untuk mendapatkan rente yang sebesarnya. Demikian pula, politik berbiaya sangat mahal berpotensi menciptakan oknum pejabat kleptokrat, semua sudah paham.

Demikian pula halnya dengan elitokrasi yang menguasai Indonesia selama seperempat abad reformasi dan tampaknya akan terus mengkooptasi demokrasi dengan melanggengkan kekuasaan mereka terutama di lembaga legislatif karena tidak ada pembatasan masa jabatan bagi legislator di parlemen Indonesia.

Jadi, keluargatokrasi, fulustokrasi alias plutokrasi, kleptokrasi, elitokrasi, dan oligarki adalah “polusi-polusi politik” yang dapat mencemarkan iklim Demokrasi Pancasila yang kita anut.

Rakyat Dapat Apa?

Saya sama sekali tidak bermaksud mengatakan bahwa rakyat sama sekali tidak mendapatkan apa-apa ketika semua jenis “krasi” tersebut di atas menimbulkan polusi poitik bagi Demokrasi Pancasila. Terlebih lagi, tujuan kita berdemokrasi Pancasila adalah melaksanakan pembangunan nasional sebesar-besarnya untuk kemakmuran, kesejahteraan, dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana imperatif filosofis-ideologis sila kelima dari Pancasila: “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Namun apa dan bagaimana yang didapat oleh rakyat terutama yang berada di bawah garis kemiskinan? Ilustrasi berikut ini barangkali dapat menjelaskan apa dan bagaimana yang didapat oleh rakyat miskin Indonesia.

Di atas meja pembangunan Indonesia ada tumpukan kue pertumbuhan ekonomi yang disusun tinggi. Sudah jelas bahwa kaum terhormat dari kalangan keluargatokrasi, fulustokasi, elitokrasi, dan klepokrasi yang duduk lebih dekat dan mengelilingi meja akan lebih dahulu mengambil kue itu.

Sedangkan rakyat miskin yang duduk di belakang dan jauh, juga akan mendapat bagian, tetapi mungkin remah-remah kue saja. Jadi ada ketimpangan dalam menikmati hasil pembangunan nasional. Inilah tantangan bagi pemerintahan baru yang terbentuk melalui pemilu 2024, siapa pun presiden yang dipilih oleh rakyat.***

Penulis adalah sang pencerah dan cendekiawan Masyarakat Adat Matriarkat Tana Ai, Flores, NTT.