TPDI Sebut, Anwar Usman Masih Gunakan Fasilitas Jabatan Ketua MK,Ini Faktanya

JAKARTA,KABARDAERAH.COM-Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) dan Pergerakan Advokat Nusantara (Perekat Nusantara), Petrus Selestinus menyebut, hakim konstitusi Anwar Usman, yang sejak tanggal 9 November 2023 dicopot dari jabatan sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), tetapi tidak mengembalikan fasilitas Ketua MK yang dinikmati selama menjadi Ketua MK kepada Ketua MK terpilih Dr. Suhartoyo.

“Tindakan Anwar Usman itu linear dengan sikap congkaknya yaitu menggugat jabatan Ketua MK terpilih yang sudah beralih dan diserahterimakan kepada Ketua MK terpilih Dr. Suhartoyo melalui Gugatan PTUN ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta,” kata pengacara senior,Petrus Selestinus dalam keterangan tertulis diterima wartawan di Jakarta,Minggu (21/4/2024).

Artinya, dengan Gugatannya itu, Anwar Usman merasa dirinya masih tetap menjabat sebagai Ketua MK termasuk masih saja menggunakan fasilitas Ketua MK, seperti rumah Jabatan Ketua MK, ruang kerja Ketua MK, bahkan mobil Dinas Ketua MK dengan Plat Nomor RI 9,diduga masih dipakai oleh Anwar Usman. Padahal ia sama seperti Hakim Konstitusi lainnya.

“Ini jelas tidak hanya melanggar Etika dan Perilaku Hakim Konstitusi, tetapi ini juga dapat dikualifikasi sebagai Tindak Pidana Korupsi dan Nepotisme di dalam lingkungan MK, karena menikmati sesuatu yang bukan haknya atas nama Nepotisme,”kritik Petrus Selestinus yang dijuluki dengan sebutan Pengacara Sepatu Miring,karena sikapnya yang keras dan dibenci oleh para koruptor di negeri ini.

“Jadi, pendek kata, Anwar Usman masih menggunakan fasilitas Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) meski sudah dicopot dari jabatan Ketua MK. Anwar Usman yang juga merupakan ipar Presiden Jokowi atau Paman Gibran Rakabuming Raka. Ia dipecat dari kursi Ketua MK oleh Majelis Kehormatan MK atau MKMK pada tanggal 7 November 2023 akibat terbukti melakukan Pelanggaran Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi berkategori berat,” tulis Petrus Selestinus.

Nepotisme Mendegradasi Moral Kenegarawann 8 Hakim MK kita 

Petrus menyebut, pernyataan Juru Bicara MK Fajar Laksono membenarkan kabar bahwa Anwar Usman,  masih menggunakan beberapa fasilitas Ketua MK, seperti Mobil Dinas, Ruang Kerja Ketua MK, Rumah Dinas Ketua MK, jelas merusak tata cara Keprotokoleran Pejabat Tinggi Negara di MK dan di tempat-tempat lain sebagai penghormatan terhadap kedudukan Pejabat Negara yang meliputi Tata Tempat, Tata Upacara, dan Tata Penghormatan sebagai bentuk penghormatan kepada sesorang sesuai dengan jabatan, kedudukannya dalam negara, pemerintahan atau masyarakat.

Oleh karena itu, Pembentuk UU merasa perlu mengatur persoalan Keprotokoleran Indonesia dengan UU yaitu UU No.9 Tahun 2010 Tentang Keprotokoleran dan PP No. 56 Tahun 2019 Tentang Pelaksanaan UU No. 9 Tahun 2010, sebagai wujud Etika Bernegara dan Berbangsa dan memelihara kebiasaan Internasional dan nasional dalam memberi penghormatan kepada Pejabat Negara di manapun termasuk dilingkungan MK.

Sebagai Lembaga Tinggi Negara di bidang Kekuasaan Kehakiman, maka MK tunduk dan terikat kepada UUD 1945 dan kepada UU No.9 Tahun 3010 Tentang Keprotokoleran, termasuk wajib menjaga marwah Ketua MK selaku Pimpinan tertinggi pada Lembaga Tinggi Negara di MK.

“Dengan demikian janji Kepala Biro Humas MK bahwa Pimpinan MK akan segera menyelesaikan penataan fasilitas Ketua MK, dari Anwar Usman ke Dr. Suhartoyo setelah MK tuntas melaksanakan persidangan perselisihan hasil pemilihan umum atau PHPU 2024, merupakan kebijakan yang bertentangan dengan UU.”

Anwar Usman Hakim MK,Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (Sumber Foto: Istimewa)

Hakim MK Tersandera dan Tunda Memutuskan Perkara

Bahkan ini menjadi bukti bahwa 8 Hakim Konstitusi di MK tidak berwasasan sebagai negarawan, tidak memiliki nyali untuk berkata tidak pada sesuatu yang bersifat melanggar hukum, bahkan mereka membiarkan pelanggaran hukum oleh mantan Ketua MK-nya sendiri tanpa daya apapun menyatakan tidak.

“Ini adalah sikap tidak berdaya 8 (delapan) Hakim Konstitusi kita menghadapi hegomoni kekuasaan Nepotisme yang sudah terlalu dalam mengakar di MK bahkan ikut merusak mental 8 (delapan) Hakim Konstitusi terutama runtuhnya sikap kenegarawanannya, rintuh moralitas, netralitas dan terbelenggu nalar akibat Nepotisme,” kata dia.

“Mereka masih menghamba kepada Kekuasaan Eksekutif, bahkan monoloyalitas kepada kekuasaan Ekeslutif sudah mrambah ke MK. Inilah yang disayangkan, apa lagi besok tanggal 22 April 3024 mereka akan melahirkan Peristiwa Hukum yang sangat penting bagi Rakyat Indonesia, Peristiwa Hukum yang menentukan bagi kedaulatan berada di tangan rakyat yang laksanakan dengan Luber dan Jurdil  sesuai UUD 45.”

Karena itu 8 (delapan) Hakim Konstitusi yang akan menentukan nasib bangsa ini.ke depan sesuai harapan rakyat, maka diperlukan kondisi Hakim Konstitusi yang dalam keadaan merdeka dan bebas dari segala pengaruh apapun juga.

Namun,kata Petrus, jika 8 (delapan) Hakim Konstitusi ini hingga besok masih dalam cengkraman Nepotisme sehingga kebebasan dan kemerdekaannya terganggu, maka lebih baik besok 22/4/2024 jangan putus dulu Perkara Perselisihan Hasil Pilpres atau sebelu membuka persidangan 8 Hakim MK harus mendeclare dan menjamin bahwa mereka benar-benar dalam keadaan bebas secara lahir dan bathin.

“Jika mereka masih ayam sayur, tertekan dan terdegradasi atau runtuh kenegarawanannya, sehingga tidak tunduk pada Konstitusi lagi, maka Negeri ini sedang mengalami celaka 13 di tangan 8 Hakim Konstitusi dan karena itu Tunda Putus Sengketa Pilpres, karena langit tidak akan runtuh besok dan NKRI tidak akan bubar besok jika MK masih belum merdeka dalam memutus perkara Sengketa Pilpres 2024.” tutup Petrus Selestinus. **

Editor : Domi Dese Lewuk.