Putuskan Muhammad Hibrian Jadi Hakim Non Palu, Kewenangan Pengawasan Hakim Oleh MA Digugat

Jakarta, KabarDaerah.com – Ina Mutmainah, salah satu karyawan bank yang dipecat akibat berselingkuh dengan Hakim Pengadilan Negeri (PN) Kalianda., Muhammad Hibrian mengajukan pengujian terhadap  Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA) dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Sidang perdana perkara yang teregistrasi Kepaniteraan MK dengan Nomor 39/PUU-XIII/2015 ini digelar di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Selasa (07/04/2015).

Dalam pokok permohonannya, Pemohon yang diwakili oleh Dian Fariska selaku kuasa hukum menjelaskan berpotensi dirugikan hak-hak konstitusionalnya dengan berlakunya Pasal 32A ayat (1) UU Mahkamah Agung dan Pasal 39 ayat (3) UU Kekuasaan Kehakiman. Pasal 32A ayat (1) UU Mahkamah Agung menyatakan “Pengawasan internal atas tingkah laku hakim agung dilakukan oleh Mahkamah Agung”. Sedangkan Pasal 39 ayat (3) UU Kekuasaan Kehakiman menyatakan “Pengawasan internal atas tingkah laku hakim dilakukan oleh Mahkamah Agung”.

Dian Fariska menjelaskan pemohon menilai adanya perbedaan putusan antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial terhadap Muhammad Hibrian menyebabkan hak konstitusional pemohon terlanggar. Dari hasil pemeriksaan dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim terhadap Muhammad Hibrian, Komisi Yudisial memutuskan pemberhentian tetap dengan hak pensiun. Sementara, Badan Pengawasan MA hanya memutuskan Hakim Muhammad Hibrian menjadi hakim nonpalu selama 2 (dua) tahun pada Pengadilan Banda Aceh.

“Perbedaan kedua putusan ini dianggap berpotensi melanggar hak konstitusional Pemohon”, ucap Dian Fariska.

Menurutnya, tidak ada satupun pasal dalam Konstitusi yang mengatur secara eksplisit tentang kewenangan Mahkamah Agung yaitu menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Tetapi Mahkamah Agung hanya berwenang untuk mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan dibawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang (Pasal 24A ayat (1) UUD 1945), berbeda dengan kewenangan Komisi Yudisial yang secara eksplisit sangat jelas dan gamblang tentang kewenangannya diatur dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945.

“Pengawasan secara internal maupun eksternal, para perumus norma hukum tidak memilah pengawasan internal dan eksternal. Sehingga dapat berpotensi terjadinya dualisme pengawasan hakim agung dan hakim lingkungan badan peradilan di bawahnya dan berakibat ketidakpastian hukum atas keputusan mana yang dianggap melanggar kode etik hakim yang diberikan oleh Komisi Yudisial atau Mahkamah Agung,” terang Dian Fariska dihadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK., Anwar Usman.

Untuk itulah, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Pasal 32A ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung bertentangan dengan Pasal 24B ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Menanggapi permohonan tersebut, Majelis Hakim memberikan saran perbaikan. Hakim Konstitusi Aswanto menjelaskan bahwa kerugian konstitusional pemohon belum terlihat.

“Kami belum bisa menangkap kerugian yang dialami pemohon. Ada kasus konkret yang anda ajukan dan ada dua putusan yang tidak memiliki kepastian hukum, kaena ada putusan dari pengawas hakim dan pengawas ekjsternal yakni KY. Harus saudara jelaskan apa memang KY mempunyai kewenangan untuk memberhentikan hakim. Apa ada dasar hukumnya?” tandas Aswanto.

Sementara itu, Hakim Konstitusi., Suhartoyo mempertanyakan relevansi pasal yang dimohonkan dengan kasus yang dialami Pemohon.

Menurut Suhartoyo, pemohon belum menguraikan kerugian hukum yang dialami dengan berlakunya pasal-pasal tersebut.

“Coba dikaji kembali relevansi Pasal 32A dengan kasus konkretnya. Kemudian, apakah ini masih relevan, tidak ini dibawa sampai ke Mahkamah. Karena memang ini penjatuhan sanksi lebih belakangan daripada sanksi sudah dijatuhkan oleh Mahkamah Agung. Jangan nanti kehilangan momentum,” terang Suhartoyo.

“Majelis Hakim memberi waktu 14 hari bagi pemohon untuk memperbaiki permohonan. Sidang berikutnya akan digelar dengan agenda mendengar perbaikan permohonan,” tutup Suharyoto.

 

Kontributor  :  Lulu Anjarsari