Oleh: Anang Iskandar
Hingga saat ini, mungkin masih banyak yang menyangsikan. Mungkinkah dengan senjata rehabilitasi berhasil memenangi perang melawan narkotika? Jawabannya, sangat mungkin memenangkannya. Kepastian jawaban ini tentu saja berangkat dari berbagai dasar ilmiah dan bukti sejarah.
Pertama, faktanya, senjata rehabilitasi itu merupakan satu-satunya cara untuk pulih dari penyakit ketergantungan narkotika.
Kedua, penyalahguna narkotika yang menjalani proses hukum, ditempatkan di lembaga rehabilitasi sesuai tingkat pemeriksaannya. Sementara setiap hakim wajib memvonis dengan hukuman rehabilitasi karena itu adalah amanat konvensi, amanat undang-undang dan amanat umat manusia untuk hidup sehat, yaitu jauh dari segala macam penyakit termasuk penyakit ketergantungan.
Ketiga, apabila penyalahguna sembuh, yang berarti tidak ada lagi penyalahguna. Itu berarti tidak akan ada demand atau permintaan. Maka secara otomatis pedagang narkotika gulung tikar karena tidak ada pembelinya.
Dari titik ini, senjata rehabilitasi membuktikan keampuhannya untuk memenangi perang melawan narkotika. Sebab rehabilitasi bukan sekadar memulihkan penyalahguna saja tapi juga dapat membuat bandar narkotika bangkrut selamanya.
Secara tekhnis, narkotika adalah obat, bahan dan zat bukan makanan yang jika diminum, dihisap, dihirup, ditelan atau disuntik berpengaruh pada kerja otak. Sering kali juga menyebabkan penyakit ketergantungan. Jika kemudian seseorang sudah mengidap penyakit itu, mengakibatkan kerja otak berubah dan perubahan fungsi vital organ lain seperti jantung, peredaran darah, pernapasan, dan lain-lain.
Di sisi lain, narkotika sebenarnya memang diperlukan untuk kepentingan kesehatan, ilmu pengetahuan dan tehnologi. Tentunya dengan dosis tertentu dan diperuntukkan oleh dokter dalam menghilangkan rasa sakit.
Maka sebenarnya, peredaran narkotikanya yang justru mesti diawasi secara ketat dengan aturan perundang-undangan. Sementara penyalahgunaan atau penggunaan tanpa resep dokter dan peredaran diluar ketentuan perundang-undangan, mesti dilarang oleh undang-undang narkotika kita.
Semua karena penyalahgunaan dapat menyebabkan penyakit ketergantungan atau adiksi. Sementara untuk penyembuhannya, memerlukan usaha yang serius untuk dapat kembali sehat. Mulai dari melalui proses detoksifikasi, proses sosial dan penanaman kembali nilai-nilai sosial yang hilang akibat adiksi.
Sementara juga, menurut UU Narkotika Indonesia, penyalahgunaan narkotika secara garis besar terbagi menjadi 2 tipe. Tipe pertama, yaitu penyalahguna untuk diri sendiri dan penyalahguna untuk diedarkan. Tipe kedua yang memang perlu diperangi meski dengan cara yang berbeda, bukan melalui rehabilitasi.
Cara Memerangi Narkotika
Berangkat dari Undang-undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, khususnya pasal 4, senjata pertama memerangi narkotika memang melalui rehabilitasi. Sasaran “tembak” senjata ini sangat khusus, yaitu para penyalahguna.
Melalui pasal 4 itu juga, senjata bernama rehabilitasi ini digunakan untuk mencapai tujuan dari lahirnya Undang-Undang Narkotika Indonesia. Secara historis, ruh dari undang-undang ini menegaskan bahwa para penyalahguna dijamin untuk direhabilitasi.
Bahkan jaminan ini disebutkan dalam undang-undang secara spesifik, dengan menyatakan ‘mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan narkotika dan menjamin upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bagi penyalahguna dan pecandu’.
Secara teknis, penggunaan senjata rehabilitasi juga diatur oleh undang-undang narkotika Indonesia, yaitu:
1. Bagi keluarga atau orang tua penyalahguna yang ingin sembuh secara mandiri atas biaya sendiri, dapat memilih tempat rehabilitasi sesuai keinginan masing-masing. Hal ini karena undang-undang narkotika kita memposisikan penyalahguna sebagai orang sakit dan menjadi kewajiban orang tua untuk menyembuhkan.
2. Apabila tidak, ada pilihan lain yaitu mengikuti rehabilitasi yang dipaksa oleh undang-undang dan dibiayai pemerintah. Maka dalam konteks ini, penyalahguna dapat mengikuti jalur wajib lapor yang disediakan undang-undang yaitu secara sukarela atau dilaporkan keluarganya ke rumah sakit yang telah ditunjuk pemerintah.
Rumah sakit itu dikenal juga sebagai IPWL (Institusi Penerima Wajib Lapor) yang berkewajiban untuk mendapatkan atau penyembuhan dan diberi bonus oleh undang-undang, yaitu tidak dituntut pidana. Hal ini karena undang-undang narkotika kita berperspektif hukum dan kesehatan.
3. Karena karakter penyalahguna itu enggan dan tidak mau direhabilitasi meskipun dipaksa, maka berdasarkan undang-undang juga, penyalahguna dilakukan upaya paksa untuk direhabilitasi melalui rehabilitation justice system (RJS). RJS ini merupakan proses peradilan yang bermuara pada penghukuman rehabilitasi.
Dalam prosesnya, penyalahguna ditangkap, disidik dan dituntut di pengadilan, dimana selama proses penyidikan dan penuntutan tersangka atau terdakwa ditempatkan di lembaga rehabilitasi dan hakim. Menurut undang-undang narkotika wajib memvonis hukuman rehabilitasi baik terbukti atau tidak terbukti bersalah.
Penempatan penyalahguna ke lembaga rehabilitasi selama proses penyidikan, penuntutan dan peradilan menurut undang-undang telah dihitung sebagai hukuman kurungan atau pemenjaraan. Ini sebenarnya esensi dari proses modern yang mewarnai undang undang narkotika kita yang memiliki perspektif penegakan hukum dan kesehatan
Lalu terhadap para pengedar. Mulai dari pengecer, pengedar sampai produsen narkotika, undang-undang narkotika Indonesia sebenarnya juga sudah membuktikan keampuhannya.
Pembuktian itu dengan diperangi melalui law enforcement melalui penangkapan, penyidikan dan penuntutan lewat mekanisme criminal justice system. Ancamannya berat: mereka diancam hukuman berat bahkan sampai hukuman mati.
Semua karena pengedar adalah penjahat narkotika sesungguhnya. Merekalah yang justru mendapatkan keuntungan dari bisnis narkotika. Mereka ini juga sosok sebenarnya yang merusak setiap bangsa. Bahkan karena racun yang mereka sebar itu, lalu banyak yang mengkonsumsi narkoba, jiwa penyalahguna bisa terganggu bahkan menjadi gila. Ini yang sebenarnya dan seharusnya dihukum berat oleh hakim. Bukan penyalahgunanya.
Sementara bagi mereka yang belum terlibat sama sekali, undang-undang narkotika juga sudah menegaskan perlindungan dengan senjata pencegahan. Tujuannya jelas dan tegas, yaitu agar tidak masuk ke dalam bisnis narkotika. Pencegahan ini juga menjadi penting agar mencegah munculnya penyalahguna baru.
Maka sebenarnya, perang narkoba itu sudah sepatutnya mengunakan tiga senjata diatas secara seimbang dan berkelanjutan.
Pengalaman Menang Perang
Tercatat, proyek Mayfahluang Foundation Thailand telah berhasil dalam memenangi perang melawan narkotika. Yayasan ini fokus pada rehabilitasi dan pencegahan tanpa ada penegakan hukum. Sehingga dalam waktu tidak lama, berhasil merehabilitasi seluruh wilayah proyek. Efeknya, kini sudah tidak ada lagi peredaran di daerah proyek karena tidak ada konsumen atau permintaan.
Di seluruh wilayah Uni Eropa, khususnya Belanda, justru tidak pernah menghukum penjara meskipun penyalahguna narkotika dilarang dan dibatasi. Para penyalahguna justru dihukum secara non-kriminal. Belanda juga banyak membangun tempat rehabilitasi sehingga banyak penyalahguna yang sembuh. Ini juga yang menjadi salah satu sebab banyaknya penjara di Belanda yang “gulung tikar” karena tidak ada penghuninya. Bandingkan dengan Indonesia.
Disisi lain, memang ada beberapa negara di dunia yang gagal dalam perang melawan narkotika. Hasil penelitian menegaskan, kegagalan itu karena berpatokan hanya pada Konvensi Tunggal Narkotika 1961.
Sebut saja Amerika Serikat. Negara ini juga pernah gagal dalam perang melawan narkotika di tahun 1970-an. Saat itu, pelopornya justru Presiden Nixon sendiri dengan menggunakan senjata law enforcement. Baik terhadap pengedar maupun penyalahgunanya dimana keduanya, baik penyalahguna dan pengedar, justru dihukum penjara. Serupa dengan Indonesia saat ini.
Maka berangkat dari pengalaman negara yang gagal dalam perang melawan narkotika itu, mengilhami masyarakat dunia untuk mengamandemen Konvensi Tunggal Narkotika 1961.
Melalui Protokol 1972, arah perang melawan narkotika berganti wajah, dimana penyalahguna narkotika diberikan alternatif penghukuman rehabilitasi.
Konvensi ini kemudian diadopsi oleh negara-negara anggota PBB dan dijadikan dasar pembuatan undang-undang narkotika di masing negara peserta.
Berdasarkan konvensi tersebut, Indonesia mengadopsi juga sehingga menjadi UU No. 8 Tahun 1976. Undang-undang ini kemudian menjadi dasar dibentuknya Undang-undang Narkotika No. 9 Tahun 1976, sebagai undang-undang narkotika pertama di Indonesia.
Berdasarkan rentetan sejarahnya juga, UU 1976 mengalami pergantian menjadi UU Narkotika 1997. Terakhir menjadi UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
Lalu undang-undang narkotika paling terakhir, saat sudah berlakunya telah berperspektif pada penegakan hukum dan kesehatan. Khususnya untuk menangani masalah narkotika. Itulah sebabnya dalam regulasi ini, penyalahguna diberikan penghukuman berupa rehabilitasi sebagai pengganti hukuman penjara dan bersifat wajib.
Dengan demikian rehabilitasi atau hukuman rehabilitasi bagi penyalahguna, telah menjadi ketetapan bagi seluruh bangsa di dunia. Tentunya termasuk juga Indonesia sebagai salah satu cara mematikan bisnis narkotika illegal. Disamping hukuman berat yaitu penjara atau mati, khusus bagi para kelompok pengedar.
Meski demikian, kini, penerapan hukumnya justru menyimpang dari arah dan tujuan undang-undang. Semua karena selama penyidikan, penuntutan dan peradilan, para penyalahguna banyak “digoreng” untuk mengikuti proses criminal justice system yang bermuara di penjara.
Di titik ini, permasalahan pemenjaraan itu yang harus diluruskan. Tentunya agar bangsa ini tidak berjalan ke arah yang salah. Tokh tujuan UU Narkotika Indonesia untuk melindungi dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari masalah penyalahgunaan narkotika.
Caranya pun juga diatur mengikuti perkembangan dunia. Meski kenyataannya, penyalahguna bukan di rehabilitasi atau dihukum rehabilitasi. Bahkan ditahan dan dihukum penjara.
Dampak ketidakpatuhan atas regulasi UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika itu, Indonesia menjadi sulit memenangkan peperangan melawan narkotika. Bahkan segelintir pihak juga malah menyalahkan undang-undangnya. Mereka kerap menyatakan bahwa ‘undang-undangnya tidak jelas, ambigu, tidak baik, ganti.
Di titik itu, sebenarnya telah menunjukkan adanya arah yang salah dalam perang melawan narkotika. Nah, maukah kita memenangi perang melawan narkoba ini?
(Penulis adalah Dosen Pidana Narkotika Universitas Trisakti, (Ka BNN 2012-2015, Kabareskrim 2015-2016)