Jaga Pemilu, Lindungi Hak Pemilih

Tahapan pemilu 2024 sudah berjalan. Kondisi saat ini jelas sudah tidak memungkinkan untuk mengubah metode pemungutan suara dalam sistem pemilu. Partai politik sudah mendesain bagaiamana cara mereka berkompetisi dalam pendekatan sistem proposional terbuka. Sebaliknya, Penyelenggara pemilu juga sudah memasuki fase-fase krusial untuk fokus terhadap pelaksanaan prosedur, pemutahiran data pemilih dan sebagainya.

Sekalipun perdebatan sistem proposional terbuka dan tertutup ini menimbulkan kegaduhan, tetapi situasi ini tidak perlu diratapi secara berlebihan. Perdebatan itu mengindikasikan bahwa sistem politik di Indonesia masih demokratis. Lebih baik jika semua pihak fokus pada persiapan yang optimal untuk setiap tahapan sekaligus juga mencegah segala potensi masalah yang dapat muncul dalam pemilihan kedepan, terutama mengenai gangguan hak memilih yang kerap hadir disetiap penyelenggaraan pemilu.

Daniels dalam artikelnya yang berjudul “Voter Deception” mengartikan istilah gangguan hak memilih sebagai upaya untuk mengusik atau menghalangi pemilih agar tidak dapat menggunakan hak pilihnya. Bentuk tindakan yang tergolong sebagai gangguan terhadap hak memilih yaitu adanya intimidasi/tekanan kepada lawan politik, pembatasan akses, maupun mengelabui pemilih mengenai waktu, tempat, atau tata cara memilih.

Tujuannya yaitu untuk mencegah pemilih tertentu memberikan, atau mengalihkan hak suaranya. Adanya gangguan terhadap hak memilih tentunya merupakan masalah yang serius karena mencinderai hak warga negara dalam memberikan hak politik, yang seharusnya dapat diberikan tanpa diskiriminasi dan memiliki kesempatan yang sama.

Dalam perkembangan teknologi saat ini, praktek gangguan memilih tidak hanya terjadi di dunia nyata, melainkan juga telah menjalar kedunia maya. Pada pemilihan serentak 2019, Perludem menemukan beberapa konten yang cukup mengusik pemilih dimedia sosial, antara lain berkaitan dengan syarat dokumen yang harus dibawa untuk bisa memilih di TPS. Beredar luas dimedia sosial bahwa pemilih pindahan dapat memberikan hak suara hanya dengan membawa KTP elektronik tanpa harus membawa formular A5/pindah memilih.

Faktanya dalam pasal 8 ayat (5) PKPU No.9 Tahun 2019 pemilih pindahan diperbolehkan memilih jika sudah melapor terlebih dahulu di KPU tempat asal maupun KPU tempat tujuan memilih untuk mendapatkan formular A5 selambat-lambatnya 7 Hari sebelum hari pemilihan. Informasi ini disebarkan dalam Platform Twitter setidaknya oleh 19 akun pada saat dua hari sebelum hari pemilihan (Maharddhika & Nurul, 2022).

Berita bohong lainnya yang ditemukan terkait dengan informasi bahwa pemilih yang belum terdaftar dapat menggunakan hak pilihnya di TPS mana saja sepanjang memiliki KTP Elektronik. Faktanya, aturan yang ada hanya memperbolehkan pemilih terdaftar untuk memilih di TPS sesuai dengan alamat yang tertera di KTP Elektronik. Belum lagi beberapa informasi sesat lain yang tidak hanya menyerang warga negara, tetapi juga dapat mengecoh penyelenggara ditempat pemungutan suara tentunya dapat berpotensi merugikan hak warga negara sehingga tidak dapat menggunakan hak pilihnya.

Gangguan informasi seperti ini merupakan salah satu persoalan yang cukup berbahaya apabila tidak diatasi segera. Keterbatasan informasi yang dimiliki seseorang akan membuat mereka rentan terpapar informasi palsu yang dapat merusak keputusan warga negara menggunakan hak suaranya. Dengan demikian, menyebarkan informasi yang benar tentang pemilu penting untuk diketahui secara luas oleh masyarakat.

 

MELAWAN INFO SESAT PEMILU

Penyampaian informasi yang akurat secara rutin dan berkelanjutan merupakan cara yang wajib dilakukan sehingga pemilih dapat terlindungi dari paparan informasi yang salah. Penyelenggara pemilu, terutama KPU harus berusaha untuk membuat masyarakat percaya dan mengetahui bagaimana proses pemilu berlangsung. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memberikan informasi yang benar melalui media resmi yang dimiliki penyelenggara pemilu. Ini penting dilakukan sebelum dan saat serangan disinformasi terjadi.

Penyediaan informasi yang memadai seperti layanan pengaduan/call center, medsos, dan website mutlak dibutuhkan dan diketahui publik sehingga masyarakat dapat dengan mudah berkomunikasi, mengadukan, maupun menanyakan berbagai permasalahan teknis kepemiluan. Penyelenggara pemilu juga dapat melakukan koordinasi dengan pihak-pihak terkait dalam pengawasan media sosial untuk mengidentifikasi dan menindaklanjuti informasi palsu yang dapat merugikan hak pemilih.

Jika diperlukan, penyelenggara pemilu ditingkatan daerah juga dapat membentuk satu forum atau unit khusus dengan keterlibatan berbagai pihak dengan tugas melakukan pengumpulan berbagai disinformasi yang masuk melalui berbagai jalur. Sehingga, ketika terdapat disinformasi pemilu, forum ini dapat langsung menghapus konten, bahkan dapat menelusuri pembuat/penyebar hoax, sekaligus memproses sesuai dengan mekanisme hukum yang berlaku. 

Tidak berhenti disitu saja, penyebaran informasi yang benar dan jelas harus bisa menjangkau semua kelompok dan komunitas dengan tantangan khusus atau yang dapat dikateogrikan sebagai kelompok pemilih rentan. Salah-Satu kelompok rentan pemilih yang dimaksud yaitu kelompok masyarakat terpencil, ataupun masyarakat minoritas lainnya yang kerap terganggu hak pilihnya. Saat melakukan sosialisasi, pendidikan pemilih, dan kampanye, penyelenggara pemilu harus lebih peka lagi terhadap kelompok rentan sehingga informasi pemilu bisa sampai kepada kelompok ini.  

Terakhir, membangun relasi dengan berbagai komunitas-komunitas pemilih dan media lokal mesti terus dijalin untuk memudahkan komunikasi dalam situasi yang darurat. Komunitas dan media lokal yang melayani dan menyasar segmen masyarakat tertentu adalah mitra kunci dalam memperkuat informasi Pemilu. 

Oleh:

Syahril(

Ketua Komite Independen Pemantau Pemilu Buton Selatan)