Kejujuran, Masihkah Relevan dan Bermakna?

Banyak perilaku yang tidak mencerminkan kejujuran, bahkan seringkali mendapat dukungan. Apakah kejujuran sebagai nilai dan sikap moral – secara personal maupun institusional – masih (ber)laku pada zaman “now” ini?

“Kejujuran” menjadi ungkapan dan nilai kehidupan yang (kembali) mencuat dan populer – sekaligus banyak didiskusikan – dalam beberapa minggu terakhir. Ini terutama berkenaan dengan vonis Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 15 Februari 2023 dan keputusan Komisi Kode Etik Profesi Polri (KKEP) seminggu kemudian (22 Februari 2023).

Banyak pihak dan kalangan yang mengapresiasi, bahkan ikut dalam euforia; walaupun ada juga yang mempersoalkannya. Lebih dari sekadar setuju atau tidak, muncul pertanyaan mendasar: apakah kejujuran masih relevan dan bermakna di negeri kita ini, bahkan di seluruh dunia?

Kejujuran sebagai pertimbangan

Salah satu butir pertimbangan Majelis Hakim PN Jakarta Selatan untuk menjatuhkan vonis hukuman pidana 1 tahun 6 bulan penjara kepada Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumiu (RE) adalah karena kejujuran (dan keberanian) RE dalam mengungkapkan apa yang (sebenarnya) terjadi pada peristiwa pembunuhan Brigadir Joshua Novriansyah Hutabarat pada 8 Juli 2022. Begitu juga dengan pertimbangan KKEP dalam keputusannya untuk tidak memberhentikan, melainkan sebaliknya mempertahankan status RE sebagai anggota Polri. RE hanya dijatuhi sanksi demosi satu tahun dan kewajiban meminta maaf secara lisan di hadapan sidang KKEP, dan secara tertulis kepada pimpinan Polri (Kompas, 24/2/2023).

Pada acara “Satu Meja the Forum” di Kompas TV, 22 Februari 2023, banyak peserta yang memuji dan mendukung vonis PN Jakarta Selatan dan keputusan KKEP itu. Di antara mereka ada yang antara lain menilai bahwa nilai kejujuran RE tampak begitu mahal dan berharga, RE juga dipuji memberikan contoh bagi jajaran Polri bahwa kejujuran merupakan nilai yang penting dan mulia, dan kejujuran RE merupakan hal unik.

Tetapi ada juga yang berkeberatan atas putusan etik atas RE. Alasannya, keputusan mempertahankannya sebagai anggota Polri dapat menjadi preseden negatif dan memunculkan pandangan bahwa KKEP bersikap permisif bagi pelaku pelanggaran Etik Polri (Kompas, 24/2/2023).

Kejujuran masih berlaku?

Tulisan kecil ini tidak bermaksud untuk ikut mengkaji menilai vonis PN Jakarta Selatan dan keputusan KKEP itu. Yang hendak dikaji lebih lanjut adalah apakah kejujuran sebagai nilai dan sikap moral – secara personal maupun institusional – masih (ber)laku pada zaman now ini?

Khusus di lingkungan Polri, kita tentu masih sangat ingat kepada Jenderal Hoegeng Iman Santoso (1921-2004), Kepala Polri yang ke-5 (1968-1971). Beliau terkenal dan sangat dihormati karena keberanian dan kejujurannya. Wikipedia berbahasa Indonesia mencatat, “Hoegeng hidup pada era di mana banyak pejabat pemerintah yang korup. Gus Dur, mantan Presiden Indonesia, pernah memuji kejujuran Hoegeng; beliau mengatakan bahwa “hanya ada 3 polisi jujur di negara ini: polisi tidur, patung polisi, dan Hoegeng.”

Selain beberapa penghargaan dan peringatan atas jasa-jasa Hoegeng, sejak 2022 Polri menyelenggarakan kusala Hoegeng (Hoegeng Award) bagi anggota Polri yang dinilai meneladani Pak Hoegeng yang gemar bermusik bersama grup Hawaiian Seniors itu. Tetapi kita boleh bertanya, berapa banyak anggota Polri, mulai dari tamtama hingga perwira tinggi (pati, para jenderal) yang sungguh-sungguh dan berhasil meneladani beliau? Berbagai peristiwa dan kasus yang terjadi selama ini – khususnya dalam beberapa tahun belakangan ini – memperlihatkan betapa banyaknya anggota Polri yang melakukan atau terlibat dalam tindakan dan perilaku yang jauh dari jujur dan terpuji.

Ketika kita memasuki tahun politik 2023-2024, yang terutama ditandai oleh (persiapan) pemilu dan pilkada, kita diingatkan kepada berbagai kecurangan dan perilaku curang pada pemilu-pemilu dan pilkada-pilkada sebelumnya.

Kalau kita memperluasnya ke lingkungan yang lebih luas, ketidakjujuran itu juga terlihat dengan benderang dan menyilaukan di kalangan ASN/PNS dari berbagai instansi. Bahkan termasuk juga di kalangan dosen (terutama yang sedang mengejar kenaikan pangkat akademik hingga guru besar) dan mahasiswa S1 hingga S3, di perguruan tinggi negeri maupun swasta, yang menyuburkan dan didukung praktik perjokian (Investigasi Joki Karya Ilmiah, Kompas, 10-14 Februari 2023).

Ada banyak dalih dan alasan untuk coba memahami dan membenarkan berbagai tindakan dan perilaku curang itu. Apa pun itu, tidak akan meniadakan fakta bahwa di negeri dan bangsa yang konon sangat berbudaya dan religius ini banyak – bahkan kian banyak – orang dan lembaga yang tidak jujur (termasuk melakukan korupsi dan manipulasi), yang pada gilirannya merusak, memerosotkan, bahkan berpotensi merobohkan sendi-sendi kehidupan bangsa dan negara ini.

Ketika kita memasuki tahun politik 2023-2024, yang terutama ditandai oleh (persiapan) pemilu dan pilkada, kita diingatkan kepada berbagai kecurangan dan perilaku curang pada pemilu-pemilu dan pilkada-pilkada sebelumnya (terutama sejak 1971), berupa manipulasi/pemalsuan data calon dan pemilih, curi start kampanye, kampanye hitam (black campaign), penyebaran hoaks melalui media sosial, politik uang (money politics) dengan cara membeli suara (termasuk ‘serangan fajar’), dan sebagainya.

Apakah dapat dipastikan bahwa pada Pemilu dan Pilkada 2024 hal itu tidak akan terjadi lagi, atau justru kian marak? Komisi pemilihan umum dan (KPU) dan badan pengawas pemilu (bawaslu) tentu sudah, sedang, dan akan terus berupaya keras meniadakan atau meminimalkan berbagai praktik culas ini. Tetapi para kandidat dan pendukung mereka cukup piawai untuk menemukan celah dan menerobosnya. Keberhasilan dalam pemilu dan pilkada memang menjanjikan kekuasaan, dan kekuasaan umumnya bersanding dengan berbagai kenikmatan, keuntungan, dan kelimpahan harta, yang acap dengan vulgarnya dipertontonkan, termasuk oleh keluarga dan konco-konconya.

Sebenarnya cukup banyak contoh negara yang berani dan berhasil melakukan tindakan radikal untuk memberantas korupsi dan berbagai perilaku curang warga termasuk pejabatnya. Pemerintah China menjatuhkan hukuman mati terhadap pejabat negara yang terbukti koruptor. Singapura memiliki dan menerapkan cara dan langkah yang efektif untuk meminimalkan korupsi di kalangan pejabat negaranya (walaupun kemampuan dan kesungguhannya untuk tidak mengizinkan penyimpanan hasil korupsi masih perlu dipertanyakan). Sejumlah negara di Eropa Barat (terutama kawasan Skandinavia) dikenal sebagai yang menduduki peringkat tertinggi dalam indeks bebas korupsi.

Tetapi bangsa dan negara kita tampaknya belum sampai ke sana. Apalagi banyak koruptor yang justru dipuji, dielu-elukan, dan dibela oleh para pendukung mereka. Bahkan ada juga yang berhasil maju (dan terpilih) lagi dalam pemilu dan pilkada.

Kejujuran dan hati nurani

Oleh para pemerhati dan pengkaji, kejujuran dihubungkan dengan hati nurani, berbarengan dengan melihatnya sebagai salah satu nilai moral. Di KBBI jujur/kejujuran antara lain dijelaskan sebagai lurus hati, tidak berbohong (berkata apa adanya), tidak curang, tulus, dan ikhlas. Sedangkan hati nurani dijelaskan sebagai perasaan hati yang murni, yang sedalam-dalamnya, dan lubuk hati yang paling dalam.

Di Kamus Latin-Indonesia, honestas/-atis antara lain dijelaskan sebagai sopan-santun, bertindak pantas, kebajikan, keutamaan, dan kejujuran, Sedangkan conscientia antara lain dijelaskan sebagai kesadaran (akan kesalahan), hati nurani, batin, dan suara kalbu. Kembali sebentar kepada RE, bisa saja kita berkata (dan menilai): dia memiliki kejujuran sebagai nilai moral yang tertanam di dalam dirinya karena dia juga memiliki hati nurani yang sehat dan peka.

Jerry White, dalam tulisannya, Honesty, Morality, and Conscience (1979) (teremahan Indonesia: Kejujuran, Moral & Hati Nurani, 1987 dst), menghubungkan tiga hal ini. Kejujuran merupakan salah satu nilai moral yang luhur. Orang jujur dinilai sebagai orang yang bermoral luhur. Kejujuran juga dihasilkan dan didorong oleh hati nurani.

Hati nurani bisa menjadi kawan yang mengingatkan dan mendorong kita untuk berbuat baik; tetapi bisa juga menjadi lawan: menegur, mendakwa, dan menentang kita ketika berbuat jahat atau curang. Hati nurani juga menjadi sarana yang Tuhan karuniakan kepada manusia untuk bersaksi atau menyampaikan banyak hal yang baik: hukum, nasihat, kasih-sayang, dan juga pengampunan.

Tetapi menurut White ada beberapa macam hati nurani, ada hati nurani yang baik, ada juga hati nurani yang jahat, yang hangus, dan yang lemah. Tidak cukup ruang untuk menjelaskannya satu per satu di sini, yang penting bagi kita adalah memeriksa diri (berintrospeksi), hati nurani macam apa yang ada dalam diri kita.

Apakah kita memiliki hati nurani yang yang baik, sehat, kuat, dan peka; atau justru memiliki yang sebaliknya: yang jahat, yang hangus, dan yang lemah? Apa dorongan yang keluar dari hati nurani kita? Untuk berbuat baik dan jujur, atau justru sebaliknya? Jawaban atas perta­nyaan ini menentukan jawaban kita atas pertanyaan yang terdapat pada judul tulisan ini: apakah kejujuran masih relevan dan bermakna bagi bangsa dan negara kita? Semoga masih dan tetap.

(Penulis adalah, Guru Besar di Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta)