DIRTY VOTE telah mengingatkan, Masihkah Rakyat Diam Hadapi Kecurangan Yang terjadi Di Pemilu 2024

KabarDaerah.com – Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Dr. H. M Hidayat Nur Wahid, MA mengatakan bahwa wacana penggunaan hak angket dugaan kecurangan pemilihan umum (pemilu) yang ramai dibicarakan publik, seharusnya cukup ditanggapi secara proporsional berbasiskan konstitusi, karena hak angket merupakan salah satu hak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang dijamin dan diberikan oleh Konstitusi yang berlaku di NKRI yaitu Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI 1945).

HNW sapaan akrabnya menuturkan bahwa berdasarkan Pasal 20A ayat (2) UUD NRI 1945 disebutkan bahwa, DPR dalam melaksanakan fungsinya, memiliki hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Hak angket tersebut adalah hak DPR untuk menyelidiki terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai.

“Dalam hal ini, peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah UU Pemilu, dimana asas Pemilu yang bebas dan rahasia, jujur dan adil sesuai Pasal 22E ayat (1), serta prinsip kedaulatan untuk memilih ada di tangan Rakyat sesuai Pasal 22E ayat (2) dan Pasal 1 ayat (2) UUDNRI 1945, dinilai oleh banyak pihak telah dilanggar oleh penyelenggara Pemilu maupun ASN hingga Presiden dengan ketidaknetralan mereka. Jadi, apabila anggota Fraksi di DPR ada yang ingin menggunakan hak angket tersebut, baik secara inisiatif maupun karena memperjuangkan aspirasi Rakyat termasuk calon Presiden atau wakil Presiden, maka tidak ada alasan konstitusional untuk menolaknya. Maka silakan saja ajukan hak angket itu, karena memang dibolehkan oleh UUD NRI 1945,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Jumat (23/2).

HNW menyayangkan ada beberapa pihak yang merespons wacana hak angket itu secara berlebihan, seolah-olah itu hanya gertakan politik, atau dengan mengaitkan dengan hasil quick count atau real count pemilu yang belum final. “Ada yang mewacanakan bahwa hak angket itu hanya gertakan politik, dan diajukan oleh pihak yang kalah.

Hal itu jelas tidak proporsional, karena hak angket adalah hak politik yang konstitusional dimiliki oleh DPR. Apalagi sampai saat ini belum ada hasil final pemilu 2024, baik pilpres maupun pileg. Sehingga secara resmi/final belum ada yang kalah apalagi yang menang. Namun, seandainya pun didasarkan pada penghitungan sementara, hak angket ini tetap konsitusional dimiliki oleh DPR, sekalipun pengusul awalnya agar DPR membuat hak angket adalah capres yang diusung oleh parpol terbesar di DPR, pemenang pemilu legislatif, yakni PDIP. Toh nanti yang akan mengajukan tetap anggota Fraksi2 di DPR”ujarnya.

Lebih lanjut, HNW mengatakan bahwa hak angket itu sebaiknya tidak diargumentasikan kepada kalah-menang dalam pemilu 2024 yang memang hasilnya belum diumumkan oleh KPU. Namun, hak angket yang awalnya diwacanakan oleh Capres yang diusung oleh PDIP, tapi kemudian usulan itu didukung oleh PDIP, agar DPR mempergunakan hak angket, selain itu juga sebagai wujud dari pelaksanaan fungsi pengawasan DPR terhadap pemerintah, tapi respons positif anggota DPR terhadap wacana dipergunakannya hak angket, juga bagian dari fungsi anggota DPR melaksanakan sumpah jabatannya yaitu memperjuangkan aspirasi Rakyat yang diwakilinya,” tukasnya.

Apalagi, wacana itu juga disambut positif oleh masyarakat luas, termasuk partai2 politik yang mengusung pasangan Anies Baswedan – Muhaimin Iskandar, yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Nasional Demokrat (Nasdem) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). “Syarat hak angket itu adalah diusulkan hanya oleh minimal 25 anggota DPR dan berasal lebih dari satu fraksi. Selama syarat itu terpenuhi, tidak ada halangan hak angket itu digunakan, dan tidak ada hak konstitusional siapa pun, apalagi pihak di luar DPR, untuk membuat gaduh dengan mem-framing negatif dan menolak hak angket oleh DPR,” ujarnya.

HNW juga tidak sependapat dengan pandangan sebagian kalangan bahwa kecurangan pemilu hanya bisa diselesaikan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ia menegaskan bahwa hak angket kecurangan pemilu tentu berbeda dengan perselisihan hasil pemilu yang disidangkan di MK, meski ada presedennya bahwa MK bisa memutus membatalkan apabila ada kecurangan Pemilu/Pilkada yang terstruktur, sistematis dan masif.

“Biarkan dua proses itu berjalan sesuai dengan porsinya. Karena keduanya berbeda sekalipun sama2 konstitusional. Hak Angket didasarkan pada Pasal 20A ayat (2) UUD NRI 1945 dan perselisihan hasil pemilu di MK didasarkan pada Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945. Salah satunya tidak perlu digunakan untuk menafikan yang lain. Selama keduanya memenuhi syarat, seharusnya keduanya bisa dijalankan. Yang satu (hak angket) terkait dengan pengawasan, dan yang satu lagi (MK) berkaitan dengan mekanisme hukum (penyelesaian sengketa hasil di MK). Ke duanya konstitusional dan perlu ditempuh untuk menjauhkan dari potensi chaos, memberikan kepastian dan legitimasi Pemilu beserta hasil Pemilu, selain itu juga bentuk ketaatan pada Konstitusi untuk menyelamatkan demokrasi, prinsip negara hukum dan kemajuan NKRI,” pungkasnya.

Tim hukum dua pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 1 dan 3, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD sedang berupaya mengumpulkan bukti-bukti terjadinya kecurangan yang oleh keduanya disebut bersifat terstruktur, sistematis dan masif – atau dikenal dengan sebutan TSM – dalam pelaksanaan Pemilu Presiden 2024. Seluruh bukti ini akan menjadi bahan gugatan hukum ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Wakil Direktur Penegakan Hukum TPN Ganjar-Mahfud, Jou Hasyim Waimahing, menyebut sejumlah bukti yang telah diverifikasi timnya, antara lain dugaan kecurangan pencoblosan surat suara yang dilakukan sebelum pemungutan suara yang terjadi di sejumlah wilayah seperti Kabupaten Bangkalan, Pulau Madura, Jawa Timur dan Kabupaten Paniai, Papua Tengah. Selain itu, bukti-bukti dugaan pelanggaran administrasi dan etik juga akan dimasukan ke dalam konstruksi dalil permohonan yang akan diajukan ke MK.

Pengumpulan bukti-bukti untuk diajukan ke MK juga dilakukan oleh tim hukum Anies-Muhaimin. Ketua Bidang Hukum pasangan itu, Ari Yusuf Amir menyatakan pihaknya telah memverifikasi kurang lebih 100 bukti terkait kecurangan pemilu, seperti pencoblosan surat suara massal oleh pihak yang tidak bertanggung jawab dan mobilisasi kepala desa untuk memilih calon pasangan tertentu. Menurut Ari, pihaknya terus berkomunikasi dengan tim hukum paslon nomor urut 3

Pejabat Komisi Pemilihan Umum (KPU) melakukan rekapitulasi nasional hasil pemilu tingkat kecamatan di Surabaya pada 18 Februari 2024. (Foto: AFP)
Pejabat Komisi Pemilihan Umum (KPU) melakukan rekapitulasi nasional hasil pemilu tingkat kecamatan di Surabaya pada 18 Februari 2024. (Foto: AFP)

“Nanti kita buktikan di persidangan. Kami akan mengungkap fakta kecurangan ini dan niat yang sama adalah supaya Pemilu ini berintegritas dan menghasilkan Pemilu yang jujur,” ungkapnya.

Langkah Konstitusional

Pakar hukum tata negara di Universitas Andalas, Charles Simabura menilai langkah yang dilakukan kedua tim paslon itu merupakan langkah konstitusional yang harus dilakukan dan prosesnya harus dikawal bersama sehingga bisa membuka fakta-fakta sebenarnya termasuk fakta hukum.

Meskipun demikian ia meminta semua pihak menyadari risiko dan tantangannya karena MK telah memiliki “pakem” dalam menguji sengketa kecurangan pemilu seperti ini.

“Biasanya mahkamah akan selalu menguji berapa pergeseran suara secara kuantitatif akibat terjadinya pelanggaran TSM (terstruktur, sistematis dan masif) itu. Namun demikian saya masih menaruh harapan agar misalnya MK juga masuk ke tahap, mungkin yang bersifat kualitatif, tidak hanya secara kuantitatif artinya betul-betul bisa menilai sebagai suatu proses yang panjang. Segala dalil-dalil kecurangan itu harus dinilai sebagai suatu rangkaian peristiwa,” ujarnya kepada VOA, Jumat (23/2).

Pejabat Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan saksi partai melakukan rekapitulasi hasil tabulasi di tingkat kecamatan di Jakarta pada 16 Februari 2024. (Foto: AFP/Bay Ismoyo)
Pejabat Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan saksi partai melakukan rekapitulasi hasil tabulasi di tingkat kecamatan di Jakarta pada 16 Februari 2024. (Foto: AFP/Bay Ismoyo)

Berdampak pada Perolehan Suara?

Hal senada juga diungkapkan pakar hukum tata negara di Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah. Menurutnya, meski kedua kubu dapat membuktikan adanya kecurangan pemilu, pembuktian tersebut tidak akan berarti apa-apa jika tidak menimbulkan dampak terhadap hasil perolehan suara atau kemenangan Prabowo-Gibran.

Bukti gugatan harus mampu mempengaruhi perolehan suara kandidat lain dari 50 persen+1 menjadi lebih kecil. Menurutnya Undang Undang Pemilu menyatakan MK akan menerima gugatan sengketa hasil jika mempengaruhi hasil perolehan suara.

Bukan hanya 50 persen+1, lanjutnya, tetapi juga minimal suara 20 persen dengan sebaran lebih dari setengah provinsi.

“Kalau kita hitung jumlah provinsi Indonesia 38, artinya setengahnya kan adalah 19. Lebih dari setengah berarti 20 minimal jadi kemenangan Prabowo itu lebih dari minimal 20 provinsi. Nah kalau pihak 01 dan 03 bisa membuktikan, misalnya ada kecurangan sehingga hasil suara sah dari 02 hanya 19 provinsi, tidak lebih setengah, maka MK bisa menganggap bahwa bisa mempengaruhi perolehan suara sehingga bisa dimintakan petitum putaran kedua. Jadi dua itu yang bisa difokuskan oleh 01 dan 03,” tambahnya.

Komentar Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja mengatakan

“Pelanggaran apa yang terjadi? Ada pelanggaran-pelanggaran administrasi. Lalu pelanggaran tindak pidana terjadi,” kata Bagja dalam keterangan persnya, Minggu (25/2/2024).

Sejauh ini, Bagja mengaku, Bawaslu belum menemukan ada pelanggaran yang dapat membatalkan hasil Pemilu 2024. “Apakah kemudian bisa membatalkan hasil pemilu? pada titik ini tidak ada temuan Bawaslu yang menyatakan bisa,” ucap Bagja.

Kemudian, Bagja mengungkapkan, Bawaslu saat ini masih menunggu hasil dari Pemungutan Suara Ulang (PSU). Beserta, temuan-temuan dugaan pelanggaran pemilu yang ada di lapangan.

“Namun, pada titik ini apakah itu memengaruhi hasil? Kan ada namanya pelanggaran administrasi TSM di Bawaslu. Nah, ada beberapa kriteria yang kumulatif harus dipenuhi prasyaratnya dan satunya adalah memengaruhi hasil, misalnya,” ujar Bagja.

Film DIRTY VOTE membuka rencana rencana kecurangan.

“Dirty Vote” yang dirilis beberapa hari menjelang pelaksanaan Pemilu 2024 kini ramai diperbincangkan masyarakat. Film garapan jurnalis dan kritikus Dhandy Dwi Laksono ini mengungkap berbagai bentuk kecurangan sepanjang pemilu dengan menggandeng tiga ahli tata hukum negara. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) UGM mengundang langsung narasumber film, yakni Dr. Zainal Arifin Mochtar, S.H., LL.M. untuk membahas langsung pemaknaan film ini pada Selasa (13/2).

“Sedikit cerita tentang pembuatan film ini. Awalnya kami membuat riset tentang kecurangan pemilu. Kemudian Mas Dhandy datang dan tertarik untuk membuat film tentang ini. Kami berdiskusi panjang, mengkaji riset ini secara detail dan bagaimana penyajiannya,” terang Zainal. Proses pengkajian ulang riset memakan waktu lebih lama dibanding produksi film. Hal ini dilakukan bukan hanya sebagai bentuk kehati-hatian, namun juga memastikan bahwa informasi yang didapatkan penonton adalah valid.

Sejak dirilis pada 11 Februari 2024, film berdurasi 1 jam 57 menit ini menuai banyak respon dari masyarakat. Bukti-bukti nyata kecurangan pemilu, ketidaknetralan ASN dan pemerintah, serta penyelewengan konstitusi dijelaskan secara detail dan informatif. Sebagian mengatakan film ini memaparkan kritik dengan baik menjelang pemilu, namun tidak sedikit yang menghujat dan memberikan tuduhan. Zainal mengaku, ia yakin tim produser Dhandy sudah paham akan konsekuensi perilisan film ini. Bukan kali pertama sebuah film dokumenter rilis sebelum pelaksanaan pemilu. Sebelumnya, ada juga film “Sexy Killer” pada Pemilu 2019.

“Kita melihat sepanjang sejarah pemilu ini tidak ada yang baru. Kecurangan itu sistematis, terus berulang. Jadi kita hanya menjahitnya kembali. Dan ini murni merupakan inisiasi dari teman-teman produser tanpa ada dukungan dari pasangan calon manapun. Susah sekali menghadapi tuduhan ini, bahkan sekarang laporan keuangan masih belum lunas. kalau ada kepentingan kandidat tidak mungkin,” jelas Zainal ketika menanggapi beberapa tuduhan yang dilayangkan pada film ini.

Diskusi film “Dirty Vote” turut dihadiri oleh kelompok mahasiswa, salah satunya adalah Nugroho Prasetya Aditama, sebagai Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) KM UGM. “Film ini menurut saya sangat berani, sangat lugas. Film yang mencerdaskan dan menyentil, menyentil kami mahasiswa. Gerakan mahasiswa menjadi cukup tersentil ketika saya melihat, saya mencoba merefleksikan kembali. Sebetulnya seberapa jauh mahasiswa mengawal pelaksanaan pemilu ini,” ujar Nugroho.

Wawan Mas’udi, S.IP., MPA, Ph.D., Dekan Fisipol UGM mengungkapkan apresiasi terhadap film “Dirty Vote”. Menurutnya, kecurangan pemilu bukanlah hal baru dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Setiap lima tahun sekali, kajian mengenai pemilu terus menerus mengkritik akan adanya kecurangan dan kepentingan di luar rakyat. Tentunya, regulasi selalu berbenah untuk menyelenggarakan pemilu yang lebih baik. “Saya kira kecurangan pemilu itu bukan hal baru. Pasti ada saja setiap pemilu, dan harus menjadi evaluasi. Tapi sayangnya masyarakat kita ini mudah sekali melupakan sejarah. Jadi film-film seperti ini dibutuhkan untuk membuat kita ingat dan terus evaluasi untuk kedepannya,” ucapnya.

Wawan menambahkan, substansi film ini juga sangat kritis dan memiliki penggambaran yang baik tentang demokrasi Indonesia saat ini. Masyarakat mampu melihat lebih dalam dan mendapatkan sudut pandang yang lain di samping sekedar memberikan hak suara. “Korupsi yang paling berbahay itu bukan uang, tapi korupsi dalam sistem. Akan lebih sulit dibasmi, atau bahkan sekedar dideteksi. Untuk itu, saya harap kita semua juga ikut berkomitmen mewujudkan pemilu yang aman dan demokratif,” pesannya.

Pandangan ketua LSM KOAD tentang Demokrasi Indonesia.

Indonesia adalah makanan empuk bagi pemanfaat demokrasi, rakyat hanya dibuat sebagai objek. untuk mendapatkan kemenangan, tidak peduli cara halal atau haram, termasuk dengan berbohong. Karena jumlah rakyat Indonesia tergolong besar, sedangkan pendidikan dibuat mahal, sehingga sulit bagi masyarakat untuk mendapatkan pendidikan tinggi. Demokrasi dijadikan alat untuk meraih kekuasaan, apapun caranya tidak terkucuali menang dengan cara curang. bagi mereka yang utama adalah berkuasa. dengan berkuasa mereka akan mudah melakukan akses di pemerintahan. Indonesia dalam memilih sistem pemerintahan yang akan dipakai, tidak luput dari tujuan menguasai. Dengan demikian, pemerintahan akan dengan mudah melakukan segala sesuatu yang dapat menguntungkan pribadi atau kelompok. Nagara ini dibuat sentralistik, seluruh perizinan diputuskan dari pusat kekuasaan, dengan demikian menjadi lebih mudah untuk menguasai kekayaan alam yang dimiliki daerah daerah. Untuk itu seluruh undang undang dirubah, agar sinkron dengan tujuan mereka yang merasa berkuasa. coba kita saksikan dua periode kepemimpinan rezim ini. diperkirakan 60% APBN telah di korupsi oleh kelompok mereka. secara kasat mata kita bisa saksikan beberapa petinggi partai telah menjadi tahanan luar pimpinan rezim, mereka digunakan sebagai bemper kecurangan yang dijelaskan oleh Dirty Vote, itu terjadi sampai ke desa desa. bahkan seluruh perangkat pemerintahan seakan akan ditawan oleh pimpinan rezim.

Sekarang kita sebagai masyarakat yang akan mempertimbangkan untuk memakai Demokrasi atau tidak memakai Demokrasi. Jika Demokrasi yang akan dipakai negeri ini, sumatera yang telah memilih pemimpin baik katakanlah demikian, setelah keseluruhan perhitungan selesai Sumatera akan kalah telak karena jumlah masyarakat berdomisili Sumtera jauh lebih sedikit dibandingkan daerah Jawa dan negeri negeri lainnya.

Jika kita sebagai masyarakat yang telah menyadari kondisi tersebut, selayaknya, MPR kembali berfungsi, hanya saja anggota MPR adalah perwakilan raja-raja yang ada di Nusantara.

Kenapa demikian, karena NKRI berdiri setelah raja raja Nusantara menyerahkan wilayah mereka kepada pemerintah.

Pemerintahlah yang salah melakukan pengelolaan tehadap negeri ini. MPR dimandulkan, dibuat tidak berfungsi. sementara yang bisa mencabut mandat adalah MPR. (Red)