LSM KOAD : Minta PT.Semen Padang Selesaikan Hak Sisilia Weking Kaum Suku Tanjung yang Dijadikan Silo

TERBARU25 Dilihat

SUMBAR, KABARDAERAH.COM- Di ranah Minang, hukum terkait tanah ulayat, berlaku sistem hak atas tanah yang berlapis.

Tanah-tanah yang diolah menjadi tempat usaha berlaku ketentuan hukum dan itu adalah sebuah ketentuan yang mengikat, kami lembaga swadaya masyarakat, perusahaan jangan semena mena kepada masyarakat adat, berikut kami akan kembali menjelaskan agar PTSP mengerti, demikian dijelaskan ketua LSM KOAD tentang ketentuan adat diranah minang :

“Kabau tagak kubangan tingga”. Ungkapan ini dapat dilihat dari kenyataan, bahwa tidak seorang pun dapat memperoleh hak atas tanah untuk selamanya.

Sesudah meninggal jatuh kepada warisnya, apabila dalam nagari, merupakan pendatang, orang dagang, artinya tidak masuk kedalam nagari menurut aturan adat atau dalam arti “tabang menumpu inggok mancakam”.

Di ranah minang, hak ganggam bauntuak di letakan pada hak ulayat kaum, hak ulayat kaum di atas hak ulayat nagari.

Berikut pembangian dan jenis Tanah Ulayat.

  1. Tanah ulayat kaum dengan pemegang kuasa hak adalah penghulu kaum sebutan lain sesuai adat salingka nagari
  2. Tanah ulayat kaum/ paruik dengan pemegang kuasa hak mamak kepala waris atau mamak kapalo paruik atau sebutan lain sesuai dengan adat salingka nagari.
  3. Tanah ulayat nagari / ulayat pangulu di nagari dengan pemegang kuasa hak adalah hak pangulu dalam nagari atau sebutan lain sesuai adat salingka nagari
  4. Tanah ulayat rajo atau kawasan status guo dengan pemegang kuasa hak adalah rajo atau tak rajo kaganti rajo atau orang yang mula-mula mancancang latiah daerah yang bersangkutan untuk di pegang sementara menjelang jelas tapal batasnya selanjutnya di serahkan kepada penghulu di nagari sesuai dengan barih balabeh adat nan tapakai. Namun Raja/cancang latiah tetap mempunya bagian sapuluah tariak ciek sebagai hak pancuang aleh menurut adat.

Tujuh (7)Prinsip Pemanfaatan Tanah Ulayat

Pertama; “Tanah nan sabingkah alah bauntuak, rumpuik nan sahalai alah bapunyo, capo nan sabatang alah bauntuak, sampai kalauik nan sadidih, aia nan satitiak, kaateh taambun jantan, kabawah takasiak bulan adolah pangulu nan punyo ulayat”. Artinya, mulai dari tanah, rumput, dan kayu-kayuan, keatas dan kebawah, kelaut dan kualo adalah penghulu yang punya ulayat, dengan ketentuan adatnya, misalnya di luhak nan tigo ada penghulu di nagari, ada pangulu disuku, ada pangulu di paruik/kaum, ada sebutannya rajo di rantau atau cancang latiah nan mulo-mulo

Kedua; “Aianyo nan buliah di minum, buahnyo nan buliah dimakan, nan batang tatap tingga”. Artinya, hak ulayat itu yang boleh hanya hak manfaat, tetapi keutuhan keterkaitan antara sako jo pasako tetap di pertahankan

Ketiga; “Salamo gagak hitam, salamo aia hilia, yang di kunci dengan kata kato dahulu di tapati, kato kudian di cari”. Artinya dari selama gagak hitam adalah, selama pemilik tanah ulayat dan pemakai tanah ulayat saling merasakan manfaatnya atau saling menguntungkan kedua belah pihak adanya hitam di atas putih secara notariat, begitu juga selama “aia ilia” berarti antara pemilik tanah ulayat dan pemakai tanah ulayat taat asas dengan isi perjanjian yang sudah di sepakati secara notariat.

Arti dari kato dulu di tapati adalah semua isi perjanjian harus di patuhi oleh kedua belah pihak, sedangkan kato kudian kato di cari mempunyai arti bahwa tanah ulayat itu kalau sudah habis masa perjanjiannya, maka di buat perjanjian baru atas suka sama suka oleh kedua belah pihak. Tidak boleh Badan Pertahanan Nasional (BPN) sendiri yang memperpanjang HGU-nya tanpa sepengetahuan penghulu pemilik ulayat.

Ke-empat; “Kabau tagak kubangan tingga, luluak dibao sado nan lakek di badan, kubangan babaliak ka nan punyo”. Artinya, apabila perjanjian tadi batal atau perjanjian tadi habis masa berlakunya, maka pemakai tanah ulayat berangkat dari tanah ulayat tersebut dan membawa harta milik yang ada di atasnya. Sedangkan tanah ulayat tersebut kembali kepada pemilik tanah ulayat semula

Ke-lima; “Karimbo babungo kayu, kalauik babungo karang, kasawah babungo ampiang, ka sungai babungo pasie, ka tambang babungo ameh”. Artinya, setiap macam kandungan dan setiap macam lokasi tanah ulayat sudah di tetapkan pembagiannya menurut adat secara jelas untuk pemilik tanah ulayat, yaitu sapuluah tariak ciek atau istilah paduaan atau patigaan

Ke-enam; “Tanah ulayat di minang kabau di jua indak di makan bali, digadai indak dimakan sando. Artinya, tanah ulayat di minang kabau tidak boleh di perjualbelikan dan tidak boleh pula di gadai”. Arti kata tanah ulayat Minangkabau tidak boleh berubah status kepemilikannya. Tidak boleh Hak Guna Usaha (HGU), yang boleh menurut prinsip adat adalah bagi hasil, sewa menyewa, penyertaan modal, dan atau hak pakai. Bila sudah ada terjadi pemberian HGU, maka kejadian ini melanggar ketentuan adat Minangkabau atau mungkin termasuk melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) masyarakat adat Minangkabau.

Ke-tujuh; “Kabukik baguliang batu, kaluraah baguliang aia, jauh buliah di tunjuakkan, dakek dapek di kakokkan, satitiak bapantang ilang, sabarih bapantang lupo, kok ilang nan tatulih, nan dibatu tasurek juo”. Artinya bahwa setiap status dan jenis tanah ulayat itu di tanah di Minangkabau sudah jelas tapal batasnya menurut adat, namun di lapangan dirasakan banyak kendala yang di hadapi.

Terkait tanah Sisilia weking suku Tanjung yang dikuasai oleh PTSP, jika kita berdiri dengan aturan adat, maka PT.SP juga tidak boleh melanggara aturan adat diranah Minang jika dilakukan maka artinya PTSP tidak menghormati hukum adat ranah Minang, masyarakat dipastikan akan melakukan perlawanan terhadap kesewenangan-wenangan ini.

PTSP jangan mengira, bahwa ketika negara menerbitkan sebuah sertipikat serta merta tidak bisa dibantarkan, justru yang menebitkan sertipikat tersebut akan mengalami malapetaka jika ada yang mengerti hukum negara ini.

Negara Indonesia saja menghormati hukum Masyarakat adat, bagaimana mungkin perusahaan tidak menghargai hukum yang berlaku dimana mereka melakukan usaha.

Penjajah Belanda, dahulu menghormati hukum adat, sekarang katanya Indonesia telah merdeka, justru sekaranglah banyak terjadi berbagai pelanggaran dalam pelaksanaan hukum itu sendiri, dimana hukum adat sering diabaikan. hal ini tidak bisa dipungkiri.

Pasal 18B ayat 2

Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang

Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 sebagai salah satu landasan konstitusional masyarakat adat menyatakan pengakuan secara deklaratif bahwa negara mengakui dan menghormati keberadaan dan hak-hak masyarakat hukum adat. Namun pengakuan tersebut memberikan batasan-batasan atau persyaratan agar suatu komunitas dapat diakui keberadaan sebagai masyarakat hukum adat. Ada empat persyaratan keberadaan masyarakat adat menurut Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 antara lain: (a) Sepanjang masih hidup; (b) Sesuai dengan perkembangan masyarakat; (c) Prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan (d) Diatur dalam undang-undang. Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 merupakan bentuk dari pengakuan bersyarat terhadap keberadaan masyarakat hukum adat. Rikardo Simarmata menyebutkan model pengakuan bersyarat itu merupakan model yang diwariskan oleh pemerintahan kolonial (Simarmata, 2006). Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 mengamanatkan bahwa pengakuan dan penghormatan terhadap keberadaan dan hak-hak masyarakat adat diatur dalam undang-undang. Secara terminologis, frasa “diatur dalam undang-undang” memiliki makna bahwa penjabaran ketentuan tentang pengakuan dan penghormatan keberadaan dan hak-hak masyarakat hukum adat tidak harus dibuat dalam satu undang-undang tersendiri. Hal ini berbeda dengan frasa “diatur dengan undang-undang” yang mengharuskan penjabaran suatu ketentuan dengan undang-undang tersendiri. Jadi bila dilihat secara gramatikal, maka untuk menjalankan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 tidak harus dibentuk sebuah undang-undang khusus tentang masyarakat adat

Berikut mari kita lihat berbagai autan yang menjadi pedoman selama ini :

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG TANAH ULAYAT DAN PEMANFAATANNYA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA BARAT

Menurut Pergub Sumbar Pasal. 2 yang berisikan Azaz Manfaat dan Tujuan

  1. Azas utama tanah ulayat bersifat tetap berdasarkan filosofi adat Minangkabau ‘jua ndak makan bali, gadai ndak makan sando’;
  2. Azas pemanfaatan tanah ulayat adalah manfaat yang sebesar-besamya untuk kepentingan masyarakat adat, berkeadilan dan bertanggung jawab sesuai dengan falsafah Adat Basandi Syara’ Syara’ Basandi Kitabullah;
  3. Azas Unilateral yang merupakan hak pewarisan tanah ulayat yang berlaku dalam suatu kekerabatan menurut garis keturunan Ibu

Sasaran utama pemanfaatan tanah ulayat adalah untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat adat

  1. Pemanfaatan tanah ulayat oleh pihak lain yang bukan warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan dilakukan dengan prinsip saling menguntungkan dan berbagi resiko dengan kaedah ‘adat diisi limbago dituang’ melalui musyawarah mufakat
  2. Apabila tanah ulayat tidak lagi dimanfaatkan oleh pihak pengelola baik badan hukum dan atau perorangan lainnya, maka tanah tersebut kembali kepada penguasa atau pemilik tanah ulayat semula, dengan tetap memperhatikan hak keperdataan yang bersangkutan yang terkait dengan tanah ulayat tersebut.

Tujuan pengaturan tanah ulayat dan pemanfaatannya adalah untuk tetap melindungi keberadaan tanah ulayat menurut hukum adat Minangkabau serta mengambil manfaat dari tanah termasuk sumber daya alam, untuk kelangsungan hidup dan kehidupannya secara turun-temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat dengan wilayah yang bersangkutan.

Dasar konstitusional keberadaan dan hak masyarakat hukum adat

UUD 1945 mengatur keberadaan masyarakat hukum adat sebagai subyek hukum yang berbeda dengan subyek hukum lainnya.

Hal ini sudah tampak sejak UUD 1945 periode pertama di mana pada bagian penjelasan UUD 1945 terdapat penjelasan mengenai “persekutuan hukum rakyat” yaitu masyarakat hukum adat yang keberadaannya sudah ada jauh sebelum proklamasi Republik Indonesia.

Dalam penjelasan UUD 1945 dituliskan bahwa: “Dalam territoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landchappen dan volksgemenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, ranah Minang, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya.

Daerah-daerah itu mempunyai susunan masyarakat adat yang asli, oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa.

Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut.”

 

Berbagai Pendapat para ahli..

Indonesia adalah negara yang menganut pluralitas dalam bidang hukum, ada tiga hukum yang keberadaannya diakui dan berlaku yaitu hukum barat, hukum agama dan hukum adat.

Pada prakteknya masih banyak masyarakat yang menggunakan hukum adat dalam mengatur kegiatan sehari-harinya serta dalam menyelesaikan suatu permasalahan yang ada.

Setiap wilayah di Indonesia mempunyai hukum adatnya masing-masing yang dipakai untuk mengatur kehidupan bermasyarakat yang beraneka ragam, sebagian besar hukum adat tersebut tidak dalam bentuk aturan yang tertulis.

Hukum adat tersebut berkembang mengikuti perkembangan masyarakat dan tradisi rakyat yang ada.

Hukum adat merupakan endapan kesusilaan dalam masyarakat yang kebenarannya mendapatkan pengakuan dalam masyarakat tersebut. Dalam perkembangannya, praktek yang terjadi dalam masyarakat hukum adat, keberadaan hukum adat sering menimbulkan pertanyaan-pertanyaan apakah aturan hukum adat ini tetap dapat digunakan untuk mengatur kegiatan sehari-hari masyarakat dan menyelesaikan suatu permasalahan-permasalahan yang timbul di masyarakat hukum adat.

Sementara itu negara kita juga mempunyai aturan hukum yang dibuat oleh badan atau lembaga pembuat undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Antara hukum adat dengan hukum negara mempunyai daya pengikat yang berbeda secara konstitusional bersifat sama tetapi terdapat perbedaan pada bentuk dan aspeknya.

Menurut Van Vollenhoven, hukum adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku masyarakat yang berlaku dan mempunyai sanksi dan belum dikodifikasikan.

Menurut Terhaar, hukum adat adalah keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan adat dan berlaku secara spontan. Dapat disimpulkan hukum adat adalah suatu norma atau peraturan tidak tertulis yang dibuat untuk mengatur tingkah laku masyarakat  dan memiliki sanksi.

Keberadaan hukum adat ini secara resmi telah diakui oleh negara keberadaannya tetapi penggunaannyapun terbatas.

Merujuk pada pasal 18B ayat (2) UUD 1945 dimana menyebutkan

”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”

Berarti bahwa negara mengakui keberadaan hukum adat serta konstitusional haknya dalam system hukum Indonesia.

Disamping itu juga diatur dalam Pasal 3 UUPA

“Pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi”.

Polemik yang sering timbul adalah dalam hal pengakuan hak ulayat atau kepemilikan hak atas tanah.

Hak ulayat yaitu hak penguasaan atas tanah masyarakat hukum adat yang dalam ketentuan peraturan perundang-undangan diakui oleh negara dimana dalam teori, hak ulayat dapat mengembang (menguat) dan mengempis (melemah) sama halnya dengan hak-hak perorangan.

Hal ini merupakan sifat istimewa hak-hak atas tanah yang tunduk pada hukum adat,

“Semakin kuat kedudukan hak ulayat maka hak milik atas tanah itu semakin mengempis, kebalikannya, semakin kuat hak milik maka keberadaan hak ulayat itu akan hilang”.

Dengan telah diakuinya hak-hak kesatuan masyarakat hukum adat tetapi mengapa masih banyak permasalahan itu terjadi di daerah-daerah Indonesia. Banyak penggunaan tanah ulayat yang berakhir sengketa karena tidak sesuai dengan seharusnya. Hal itu timbul karena para investor seharusnya berurusan langsung dengan masyarakat adat sebagai pemilik hak ulayat untuk melaksanakan suatu perjanjian.

Kenyataannya malah investor tersebut mendapatkan tanahnya melalui pemerintah yang mengakibatkan masyarakat adat selaku pemilik protes karena mengapa melakukan kegiatan investor ditanah mereka.

Timbul juga sebuah kerugian sebagai efek samping dari terjadinya sengketa karena tanah tersebut dalam status quo sehingga tidak dapat digunakan secara optimal dan terjadilah penurunan kualitas sda yang bisa merugikan banyak pihak.

Negara dimana sebagai pemberi sebuah jaminan kepastian hukum adat terhadap masyarakat hukum adat dengan di berlakukannya UU No.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria (UUPA) diharapkan dapat mengurangi terjadinya sengketa dan memberikan keadilan untuk masyarakat adat.

Karena dalam pasal 3 UUPA menyebutkan bahwa hukum tanah nasional bersumber pada hukum adat seharusnya secara otomatis hak-hak ulayat tersebut diakui tetapi dalam prakteknya tidak berbeda.

Jangan sampai terjadinya tumpang tindih aturan yang berakibat kaburnya kepemilikan serta penguasaan dan pengelolaan oleh masyarakat adat dalam tatanan hukum Indonesia karena tidak adanya kepastian kedudukan tersebut.

Kedepannya diharapkan, adanya jaminan kepastian hukum tentang pengelolaan hak ulayat masyarakat hukum adat.

Haruslah dibuat secara lebih rinci peraturan perundang-undangannya baik itu bisa dalam Peraturan Presiden atau Peraturan Pemerintah, yang jelas dibawah undang-undang. dibuat dalam bentuk tertulis, dalam hal hak atas tanah serta pedoman pelaksanaannya.

Supaya ada kejelasan tentang hak milik masyarakat hukum adat kedepannya, selama ini hukum adat memang dikenal dalam UUPA dan juga diatur dalam UUD 1945 tapi sejauh ini keberadaan hukum adat, selalu diakali dengan menggunakan hukum positif.

Oleh: Dr. Hj. Muskibah, S.H., M.Hum

Berbicara bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia tentu kita tidak dapat melepaskan keberadaan nilai, norma, kaedah, maupun pedoman berprilaku yang hidup di tengah masyarakat.

Hal-hal tersebut merupakan bentuk kekayaan bangsa Indonesia yang sudah sedari dahulu hidup dan berkembang di dalam kehidupan masyarakat di Nusantara.

Sehingga bisa dikatakan bahwa nilai, norma, kaedah serta pedoman berprilaku harus terakomodir dalam suatu hukum tidak tertulis, dimana dikenal secara luas dengan istilah hukum adat, Dalam pelaksanaanya, hukum adat memiliki pengaturan yang berbeda namun pada dasarnya memiliki akar yang sama.

Berbicara Indonesia sebagai Negara hukum, maka keberadaan hukum adat ini juga diatur, dilindungi, dan diakomodir pula oleh konstitusi. Merujuk kepada ketentuan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 mengatur :

”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.

Merujuk kepada ketentuan tersebut ada beberapa hal penting yang bisa kita pahami sehubungan dengan kedudukan hukum adat dalam sistem hukum Indonesia.

Bahwa Negara mengakui keberadaan kesatuan masyarakat hukum adat di Indonesia secara konstitusional. dalam hal ini, termasuk hukum yang hidup di dalamnya, yakni hukum adat itu sendiri.

Pengakuan hak tersebut dapat dimakanakan sebagai pengakuan hak bagi masyarakat hukum adat terkait mengenai eksistensinya.

Artinya, masyarakat hukum adat dilindungi konstitusi eksistensi masyarakat dan segala hal yang hidup di dalam kehidupan masyarakat itu sendiri, termasuk di dalam hal ini adalah hukum adat itu sendiri yang menjadi bagian dari masyarakat.

Di samping itu, pengakuan dan penghormatan hukum Negara itu berlaku sepanjang hukum adat dan masyarakatnya sendiri masih hidup hingga saat ini.

Dalam arti bahwa pengakuan Negara tersebut patut menjadi catatan bagi bangsa Indonesia untuk senantiasa menjaga kelestarian masyarakat adat dan instrumennya sebagai warisan luhur bangsa Indonesia di tengah terjangan dan terpaan globalisasi.

Catatan penting,

Sehubungan dengan landasan konstitusi tersebut, adalah sebuah pengakuan yang berlaku sepanjang hal-hal tersebut sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI itu sendiri.

Seharusnya NKRI lah yang harus mengacu kepada hukum masyarakat adat, sehingga jika berhadapan dengan hukum positif yang berlaku. Masyarakat adat tidak boleh selalu dikalahkan.

karena NKRI baru ada tahun 1945, dan hukum adat jauh sebelumnya sudah berkembang dimasyarakat.

Maka dalam hal ini agaknya tidak berlebihan jika disebutkan pengakuan Negara terhadap masyarakat hukum adat dan hukum adatnya sendiri adalah pengakuan bersyarat (sekalipun dalam konsep Negara hukum syarat-syarat tersebut merupakan bentuk control bingkai Negara hukum).

Jika ditelisik lebih jauh, sebagaimana diatur pada Pasal 4 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 52 Tahun 2014 tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat yang dalam hal ini mengatur sehubungan tentang tahapan dan syarat yang harus dipenuhi oleh Masyarakat Hukum Adat untuk memperoleh kepastian hukum atas hak-hak tradisionalnya.

Di dalam ketentuannya tersebut masysarakat adat harus melalui tahapan-tahapan yang dilakukan secara berjenjang untuk mendapatkan legalisasi pengakuan atas masyarakat hukum adat itu sendiri dimana dalam hal ini tahapan-tahapan tersebut meliputi tahapan identifikasi masyarakat hukum adat, verifikasi dan validasi masyarakat hukum adat serta kemudian setelah 3 (tiga) tahapan tersebut dilalui maka dalam hal ini dilakukan penetapan masyarakat hukum adat sebagai output dari tahapan-tahapan tersebut.

Lebih lanjut diatur bahwa dalam tahapan identifikasi masyarakat hukum adat, hal-hal yang menjadi objek adalah sejarah masyarakat hukum adat, hukum adat, wilayah adat, harta kekayaan dan/atau benda-benda adat, kelembagaan/sistem pemerintahan adat. Lebih lanjut dengan wilayah adat dan kelembagaan/sistem pemerintahan adat secara substansial pada ketentuan hukum ini belum diatur secara jelas teknis penentuan cara menentukan wilayah adat yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat dan atau pun kelembagaan / sistem pemerintahan adat apakah diatur secara stuktural.

Dalam fokus kedudukan hukum adat dalam sistem hukum Indonesia, kembali konstitusi dimana Pengakuan terhadap hukum tidak tertulis dahulu hanya dijelaskan atau dicantumkan dalam Penjelasan Umum UUD 1945 yang dalam hal ini mengatur ”…

Undang-Undang Dasar ialah hukum dasar yang tertulis, sedang di samping Undang-Undang Dasar itu berlakunya juga hukum dasar yang tidak tertulis, ialah aturan-atauran dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan negara meskipun tidak tertulis”.

Dalam artian hukum adat yang pada umumya tidak tertulis memiliki kedudukan yang sama dengan hukum lainnya yang berlaku di Indonesia mengingat pengakuan terhadap hukum tidak tertulis di samping Undang-Undang Dasar itu sendiri.

Maka dalam hal ini dapat dipahami bahwa kedudukan hukum adat di dalam sistem hukum di Indonesia memiliki kedudukan secara konstitusiona bersifat sama dengan kedudukan hukum pada umumnya berlaku dalam kehidupan bernegara di Indonesia, namun yang patut digaris bawahi, terdapat perbedaan antara hukum adat dengan hukum yang berlaku pada umumnya yakni dari aspek keberlakuan dan bentuknya. Dimana dalam hal ini keberlakuan hukum adat hanya berlaku untuk orang Indonesia dan dari aspek bentuknya hukum adat pada umumnya tidak tertulis.

Oleh karena itu, tentu sebagaimana syarat pengakuan tersebut adalah kewajiban bersama untuk senantiasa melestarikan hukum adat dan masyarakat hukum adat itu sendiri, sehingga nilai-nilai luhur bangsa tersebut dapat selamat dari terjangan degradasi akibat globalisasi.

Demikian dijelaskan oleh ketua LSM KOAD sebagai kuasa dari Sisilia Weking kaum suku Tanjung. (TIM LSM)

Bersambung……..tulisan ke tiga