Polemik Tanah Kaum Ma’Boet, Siapa Sebenarnya yang Mafia?

Oleh: Irjen Pol (Purn) Fakhrizal

KabarDaerah.com – Polemik tanah Kaum Ma’Boet hingga kini belum menemukan titik terang. Bahkan, saat ini Kaum Ma’Boet yang diwakili Mamak Kepala Waris (MKW) M. Yusuf sudah melayangkan surat ke Presiden Joko Widodo dan Kapolri untuk meminta keadilan.

Terlepas semua itu, saat menjadi Kapolda Sumbar dalam rentang waktu 2016-2019, pernah menangani kasus yang dilaporkan almarhum Lehar sebagai MKW yang mewakili Kaum Ma’Boet.

Namun, setelah saya tidak menjabat Kapolda Sumbar, ceritanya menjadi berbeda, bahkan diputar balik 360 derajat.

Saya mensinyalir adanya penggiringan opini, untuk menghilangkan hak kepemilikan tanah adat Kaum Ma’boet yang sedang diproses oleh Polda Sumbar, saat Kapolda Sumbar dijabat Irjen Pol Toni Hermanto, dengan mentersangkakan Lehar, bahkan sampai meninggal dunia dalam masa penahanan.

Menurut hemat saya, hal itu diduga terjadi karena adanya kepentingan, diantaranya, adanya pihak-pihak yang ingin menguasai lahan karena nilai ekonomisnya tinggi, adanya kepentingan oknum pengusaha yang akan dirugikan jika kaum ma’boet menguasai tanah tersebut.

Tak hanya itu, jika kita telusuri lebih jauh, juga untuk menutupi penyimpangan yang dilakukan oleh oknum pemerintah daerah, baik Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumbar, Pemko Padang dan BPN Padang. kesimpulannya masalah tanah kaum ma’boet sarat kepentingan politik.

Kenapa saya katakan demikian? Karena sudah bertahun-tahun masalah ini tidak pernah terselesaikan, Faktor utama adalah tidak ada niat baik dari berbagai pihak untuk menyelesaikan sehingga tidak ingin menelusuri sampai ke akar permasalahannya.

Saya masih ingat, begitu saya menjabat Kapolda Sumbar, saya didatangi pihak kaum Ma’Boed, kemudian MKW Lehar melaporkan permasalahan yang dihadapi kaumnya selama bertahun-tahun, dan selalu tidak ada respons dari pemerintah. Padahal, sudah berkali-kali rapat di kantor Pemko Padang dan Pemprov Sumbar, tetapi tetap saja tidak ada jalan keluar.

Selaku aparat penegak hukum, kemudian saya minta agar mereka membuat Laporan Polisi. agar Polda Sumbar punya dasar untuk menangani perkara tersebut sesuai prosedur.

Setelah membuat laporan itu, Poda Sumbar proses satu persatu.

Begitu kita sudah mulai ada pemanggilan saksi. Mulai ada yang menemui saya.

Pihak-pihak yang datang menemui saya saat itu, seperti Gubernur Sumbar saat itu Irwan Prayitno, Mahyeldi Wali Kota Padang waktu itu, Tifatul Sembiring, Nasir Djamil Anggota DPR RI, dan dari BPN Musriadi. Kemudian juga ada Eviandri dan Eri Santoso dari Forum Tigo Sandiang dan pengurus Yayasan Bung Hatta Prof. Ganefri dengan beberapa pengurus, Yayasan Baiturrahmah oleh Prof Musliar Kasim dan Bu Je, dan juga Dirjen Sengketa kementrian Agraria.

Semua yang mendatangi saya mengklarifikasi tentang laporan MKW Lehar. Di sini mulai terlihat kepentingannya, kenapa mereka yang proaktif, ada apa ?

Tapi, walaupun demikian, saya tetap luruskan sesuai dengan fakta dan bukti-bukti yang penyidik dapatkan.

Akhirnya perkara berproses untuk mencari kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.

 

INTI MASALAH

Setelah proses hukum berjalan, barulah ditemukan inti permasalahannya, yaitu adanya ” dugaan penyimpangan yang dilakukan oknum, dimana dugaan tersebut adalah “saat tanah dalam sita tahan pengadilan diperjualbelikan atas dasar ALAS HAK TANAH NEGARA, padahal keputusan pengadilan memutuskan bahwa TANAH tersebut adalah tanah KAUM MA’BOET. Jadi tanah itu bukan bukan tanahlah negara. Hal yang telah dilakukan jelas salah! 

Akhirnya 5 orang oknum pegawai BPN Padang ditahan.

Mereka diduga memalsukan bukti pengadilan dengan cara memanipulasi data tanah Ma’boed dari 765 hektar menjadi 2 hektare.

Selanjutnya, masyarakat yang berada dilokasi tanah tersebut banyak yang belum bersertifikat dan juga ditemukan adanya sertifikat ganda atau tumpah tindih.

Tak hanya itu, penyidik juga menemukan sertifikat tanah masyarakat yang ada di tanah ini dalam keadaan diblokir oleh BPN karena dianggap masih dalam sengketa .

Saya berusaha carikan solusinya agar stabilitas keamanan tetap terjaga, yaitu pihak MKW Lehar tidak akan menguasai lahan yang sudah dikuasai oleh masyarakat, baik itu rumah penduduk, perkantoran, kampus, tempat usaha, dan lain-lain.

Pihak MKW Lehar hanya ingin mengambil tanah-tanah yang masih kosong.

Hal ini sudah disosialisasikan kepada tokoh-tokoh dan masyarakat yang menempati tanah tersebut agar menyampaikan kepada warga di 4 kelurahan yang masuk dalam lahan sengketa, demikian juga dengan pengurus yayasan dan kampus-kampus, perkantoran dan pengusaha yang ada di tanah sengketa.

Sehingga, masyarakat tenang dan keadaan menjadi kondusif. Namun, kebijakan ini rupanya tidak dikehendaki oleh pihak-pihak yang punya kepentingan tersebut.

Setelah saya bertugas di Mabes Polri, pada tahun 2019, terjadilah permasalahan seperti yang sekarang terjadi, fakta lapangan diputar balik.

Pemilik tanah MKW Lehar ditangkap dan ditahan, bahkan meninggal dunia dalam masa penahanan.

Ini yang sangat saya sayangkan, bahkan ironisnya, saya pun dianggap memihak kepada pihak MKW Lehar waktu menangani kasus ini, bahkan dicurigai menerima sesuatu dengan bermacam macam fitnah.

Hal ini terbukti, dari penekanan penyidik kepada tersangka menanyakan; pak Fakhrizal kamu kasih apa dan dapat tanah berapa hektare?

Ini kan tidak benar, jelas fitnah yang sangat keji. Saya prihatin melihat institusi saya mau dikendalikan oleh kepentingan-kepentingan yang saya sebutkan tadi.

Saya yakin penyidik melakukan, karena tertekan, saya yakin ini bertentangan dengan batin mereka, karena mereka juga menangani kasus laporan MKW Lehar saat saya Kapolda Sumbar.

Ini pengakuan sebagian penyidik yang masih punya hati nurani kepada saya. Ini kan konyol.

Kebijakan ini diambil oleh Kapolda pengganti saya.

Pak Toni Hermanto tidak mempelajari secara utuh permasalahan yang ada di tanah tersebut. Kemudian juga tidak mau koordinasi dengan saya sebagai pejabat terdahulu.

Hal itu terjadi, diduga karena kepentingan lain, sehingga gelap mata, akhirnya yang menanggung adalah institusi Polri.

Polda Sumbar dianggap tidak profesional, sehingga menjadi sorotan, apalagi sekarang Polri sedang menjadi sorotan masyarakat.

Banyak pertanyaan masyarakat ke pada saya, ” kenapa pak, Polda Sumbar melakukan tindakan seperti ini? Menzalimi dan mengkriminalisasi MKW Lehar Cs?

Saya jawab, kalau ada penyimpangan oleh aparat, Mabes Polri kan ada Irwasum, ada Propam yang akan turun. Saya bilang bahwa saya juga lama di Propam, nanti pasti ditindak kalau ditemukan penyimpangan.

Kemudian, agar lebih meyakinkan kita, bahwa masalah tanah kaum ma’boet sarat dengan kepentingan, hal itu terlihat dari adanya Video Conference (Vicon) Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Sofyan Djalil dengan Gubernur Sumbar saat itu Irwan Prayitno, Kapolda Sumbar saat itu Irjen Toni Harmanto, Wali Kota  Padang saat itu Mahyeldi, Kanwil BPN Sumbar Saiful.

Karena begitu Vicon selesai, Dirreskrimum Polda Sumbar (Kombes Pol Imam Kabut) langsung bergerak dengan mengadakan gelar Internal.

Hasil dari gelar, semua perkara yang dilaporkan oleh MKW Lehar, ada 6 laporan polisi, langsung di-SP3, termasuk perkara yang tersangkanya 5 oknum BPN yang diduga memalsukan bukti pengadilan dengan memanipulasi data tanah Kaum Ma’boet dari 765 hektare menjadi 2 hektare.

Padahal,  sebelumnya 5 tersangka ini mempraperadilankan Polda Sumbar, pada saat saya Kapolda Sumbar dan hasil putusan Pengadilan, Polda dimenangkan, berarti penetapan tersangkanya sah secara hukum.

Namun mirisnya, setelah saya diganti penyidikannya dihentikan (SP3) oleh Kapolda pengganti saya.

Saat itu saya masih bertanya-tanya, kok begitu cepatnya SP3, kasus MKW Lehar saja yang jelas jelas tidak cukup bukti, bolak-balik dikembalikan Kejaksaan, sampai sekarang sudah hampir dua tahun belum juga di-SP3-kan, dan penghentian penyidikan yang dilakukan Polda Sumbar, sama saja menganulir keputusan pejabat yang lama dengan tidak dikoordinasikan terlebih dahulu, mestinya kapolda Sumbar, kan bisa tanya kepada saya selaku pejabat lama.

Kemudian, setelah itu Polda Sumbar menangkap 4 orang tersangka, atas nama  MKW Lehar , M. Yusuf ,Yasri dan Eko.

Sebagai dasar penangkapannya adalah laporan polisi yang dibuat oleh Budiman, dengan tuduhan penipuan dan pemalsuan.

Kronologi yang saya tahu, berawal dari, Budiman datang ke BPN Padang untuk meminta membuka blokir empat bidang tanah di atas tanah 765 hektar, terjadi tahun tahun 2016, sebelum saya jadi Kapolda.

Kemudian, BPN minta supaya Budiman meminta persetujuan MKW Lehar yang berhak atas tanah tersebut, nah… Logikanya, secara tidak langsung BPN telah mengakui tanah tersebut adalah milik kaumnya MKW Lehar.

Kemudian, Budiman datang menemui Lehar, kemudian, terjadi kesepakatan di depan Notaris dan pengacara, kemudian atas persetujuan Lehar, maka dibukalah blokir oleh BPN.

Berarti BPN mengakui yang berhak atas tanah itu adalah MKW Lehar, sekarang tanah sudah dikuasai oleh yang punya sertifikat. Kok, tiba-tiba Budiman malah membuat Laporan Polisi yang kejadiannya sudah lama, yaitu tahun 2016.

Setelah dikonfirmasi, Budiman mengatakan bahwa dia didatangi penyidik untuk membuat laporan, kalau tidak mau melapor, maka dianggap kerja sama dengan Lehar, oleh sebab itulah Budiman membuat laporan, jadi, bukan Budiman yang datang untuk melapor.

Dari kronologi diatas, jelas keadaan ini dirancang untuk mempidanakan MKW Lehar Cs.

Setelah Lehar ditahan, kemudian diekspos besar-besaran dengan mengundang berbagai media yang ada di Sumbar, baik cetak maupun elektronik.

Hal ini dilakukan oleh Dirkrimum Kombes Pol Imam Kabut dan Kabid humas Polda Sumbar tentang pengungkapan kasus mafia tanah.

Hampir semua media memuat masalah tanah Lehar ini menjadi berita utama , maka kesan di masyarakat bahwa MKW Lehar Cs ini benar-benar mafia tanah.

Hal ini saya nilai sebagai bentuk pembohongan kepada masyarakat.

Kemudian, bersamaan dengan itu, semua penyidik dari mulai Imam Kabut (Dirkrimum)dan seluruh penyidik kasus Lehar diberikan penghargaan oleh Menteri dan Gubernur Sumbar saat itu dan bahkan ada yang disekolahkan oleh Kapolda atas prestasi berhasil mengungkap mafia tanah.

Ini kan aneh, MKW Lehar Cs dibilang mafia tanah, padahal mereka sudah lama memperjuangkan haknya sebagai pemilik tanah yang sah(keputusan pengadilan).

Saat itu, saya sempat menanyakan kepada Gubernur Sumbar (Irwan Prayitno) tentang penghargaan ini.

Beliau menjawab; saya ditelepon oleh Menteri dan Kapolda Toni Hermanto.

Kemudian Dirkrimum datang menghadap untuk minta tandatangan ke ruangan saya dengan piagam penghargaan sudah disiapkan, lalu saya tandatangani.

Jawaban pak Irwan tersebut  jelas adanya dugaan rekayasa untuk menggiring opini.

Padahal Irwan Prayitno sebelumnya kan sudah tahu posisi kasus tersebut dan sudah saya jelaskan saat saya Kapolda Sumbar.

Bersamaan dengan itu, Wali Kota Padang Mahyeldi yang sekarang jadi Gubernur Sumbar juga mengucapkan terima kasih kepada Kapolda Toni Hermanto. Karena baru dua bulan menjabat Kapolda Sumbar sudah bisa menyelamatkan puluhan ribu masyarakat dari mafia tanah dan dimuat di berbagai media online dan cetak.

Saya mau tanya, masyarakat mana yang diselamatkan? Selama ini, tiga tahun saya jadi Kapolda masyarakat tidak pernah diusik, bahkan saya carikan solusi terbaik yang tidak merugikan semua pihak.

Sepertinya, skenario ini dibuat untuk menggiring opini bahwa Lehar bersalah, sehingga tidak ada hak Lehar atas tanah ini.

Namun, faktanya, sampai sekarang, hampir dua tahun, kasus Lehar Cs (M. Yusuf, Yasri, Eko) belum cukup bukti.  apakah ini bukan konspirasi untuk menghilangkan kepemilikan hak kaum MKW Lehar di atas tanah adatnya?

Inilah yang saya luruskan, waktu saya menjadi Kapolda Sumbar. Saya tidak mau ada masyarakat yang terzalimi dan dikriminalisasi. Bahkan ada pihak yang menuding adanya penggiringan opini, seolah-olah Kapolda Sumbar tidak benar dalam menangani kasus ini.

Yang saya herankan, kenapa mereka mengorbankan orang miskin yang tidak berdaya karena untuk kepentingan sesaat .

Mungkin waktu saya menjabat Kapolda, tidak bisa dikondisikan. Karena saya orang Minang, dan mengetahui seluk beluk tanah ulayat.

Makanya setelah saya diganti, baru dibalik semua. Akhirnya jadi heboh seperti sekarang. Yang paling saya herankan lagi mereka yang ikut Vicon semua sepakat mengatakan putusan pengadilan “error object.” Ini kan luar biasa putusan pengadilan bisa dibilang “error objek,” kan tidak benar.

Belajar dari polemik tersebut.

Saya yakin Allah SWT tidak tidur. Masih ada pihak lain yang akn meluruskan kasus ini, sehingga mudah-mudahan akan terang benderang, dan yang terpenting ditemukan solusinya. itu yang kita harapkan.

Kita berharap cepat atau lambat bisa diungkap, siapa mafia yang sebenarnya dalam kasus tanah ini, termasuk dugaan korupsinya. karena perkara ini telah merugikan negara.

Saya juga mendapat kabar, adanya kredit-kredit macet yang sudah lama di bank dengan jaminan sertifikat yang ada di atas tanah ini, pembangunan kantor kantor pemerintah, pembangunan jalan By Pass yang memakai uang negara, baik APBN maupun APBD. Ini harus dipertanggungjawabkan.

Saya berharap KPK turun untuk menindaklanjuti kasus ini, karena banyak kasus korupsi di Sumbar berhenti sampai SP3, seperti kasus dana Covid-19, dan kasus minta sumbangan yang menjadi pertanyaan masyarakat Sumbar sampai saat ini.

Inilah sebetulnya yang ditakuti oleh oknum yang terlibat dalam pemanfaatan tanah ini. Maka dibuatlah skenario seperti saya sampaikan di atas. Semoga kebenaran dan keadilan dapat terwujud di negara kita ini.

Sebelumnya, Saya mohon maaf kepada semua yang terkait dalam masalah ini. Tidak ada maksud apa-apa, saya hanya ingin meluruskan opini yang selama ini berkembang di masyarakat Sumbar, khususnya masyarakat Kota Padang. Dengan penjelasan ini, tentunya masyarakat bisa mengetahui permasalahan yang sebenarnya. Seandainya penjelasan saya tidak benar, saya akan pertanggungjawabkan.

(sumber Covesia.com)