Polemik Tanah Kaum Ma’Boet Makin Hari Semakin Hangat Untuk Dibicarakan

Sumbar.KabarDaerah,com-Potensi ekonomi yang tersimpan di atas tanah seluas 765 Ha pada empat kelurahan di Kecamatan Koto Tangah, sampai hari ini tak dapat dimanfaatkan secara maksimal.

Status tanah sampai saat ini masih membingungkan, antara Tanah Negara atau Tanah Adat milik ulayat Kaum Ma’Boet.

Persoalan ini telah berlarut-larut, dan menimbulkan kesimpangsiuran informasi di kalangan masyarakat umum. Oleh karena itu, Tokoh Masyarakat Sumatra Barat (Sumbar) yang juga Mantan Kapolda Sumbar, Irjen Pol (Purn) Fakhrizal, menilai “benang kusut ini perlu diurai” oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN), dengan mempertegas status dari ratusan hektare tanah tersebut.

“Di satu sisi, BPN menyebut status tanah ini adalah Tanah Negara, sudah banyak sertifikat yang diterbitkan dengan Dasar Hak adalah tanah negara.

Namun, “disisi lain BPN juga mengeluarkan surat-surat yang menyebutkan status tanah ini adalah Tanah Adat milik Kaum Maboet,” kata Fakhrizal kepada Haluan, saat dimintai keterangan terkait opini berjudul “Membahas Polemik Tanah Ma’Boet, Siapa yang sebenarnya yang Mafia” yang ia tulis sendiri dan telah menyebar lewat berbagai media.

Dalam kesempatan itu, Irjend (Purn)Fakhrizal juga menunjukkan sejumlah dokumen elektronik surat-surat BPN Padang, yang menjelaskan bahwa tanah 765 hektare itu merupakan Tanah Adat yang dikuasai Kaum Ma’Boet, di antaranya surat nomor MP.01/707/13.71/VII/2019.

Adapun Irjend Fakhrizal sendiri, saat masih menjabat sebagai kapolda Sumbar tahun 2016-2019, telah turut serta mencarikan jalan keluar untuk menyelesaikan persoalan tersebut.

“Jadi, sumber masalah tanah 765 hektare di empat kelurahan di Kecamatan Koto Tangah ini adalah ketidaktegasan BPN terkait status tanah.

Sehingga, masyarakat yang bermukim di atas tanah-tanah itu juga menanggungkan akibat. Banyak dari masyarakat yang tidak bisa memiliki sertifikat karena masalah alas hak,” ucap Fakhrizal lagi.

Oleh karena itu, Irjend Fakhrizal berharap agar Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) BPN Sumbar dan Kepala Kantor BPN Kota Padang, mempertegas status tanah tersebut.

Sehingga, jika memang ditetapkan sebagai Tanah Negara 1794, maka BPN harus menganulir surat yang dikeluarkan oleh Kepala kantor BPN Kota Padang Elfidian pada tanggal 24 Juli 2019, yang menyatakan bahwa objek tanah tersebut merupakan hak milik kaum Maboet, Lehar sebagai Mamak Kepala Waris.

Terlebih, sambung Fakhrizal, surat-surat itu sudah dikirim kepada Menteri ATR/BPN RI, Ketua KPK RI, Gubernur Sumbar, Kapolda Sumbar, Kajati Sumbar, Kakanwil BPN Sumbar, Wali Kota Padang, Kapolresta Padang, Kajari Padang, Camat Koto Tangah, dan empat kelurahan, KAN Koto Tangah, KAN Nanggalo, LKAAM Sumbar, ahli waris Kaum Ma’Boet dengan MKW Lehar.

“Saya yakin, sebelum mengeluarkan surat itu, BPN Padang sudah melalui pertimbangan yang matang dan memiliki dasar yang kuat. menurut Fahrizal, kalau berani mengeluarkan surat, tentu juga harus berani pula menganulirnya, serta berani mempertanggungjawabkan akibat hukum yang datang sesudahnya.

Saya rasa ini hal baik karena akan membuktikan dimana letak salahnya dan siapa yang harus bertanggungjawab,” ujarnya lagi.

Ada pun jika status tanah sudah dipertegas, sehingga konsekuensi hukum yang mengiringinya juga ditempuh, Irjend (Purn)Fakhrizal menilai pihak-pihak yang terkait berada di BPN, suatu saat harus mempertanggung jawabkan atas terjadinya penyimpangan di atas tanah seluas 765 Ha itu.

Beliau juga menilai, proses hukum yang tegas dan berkeadilan sangat penting diambil demi menjaga hak-hak masyarakat yang bermukim di atas tanah tersebut.

Sebab jika tidak, masalah ini tidak akan pernah tuntas, akibatnya pengembangan nilai ekonomis dari tanah-tanah tersebut akan terhambat, siapa yang berani membangun jika tanah masih bermasalah.

Menurut saya, ada tiga hal yang harus dipertimbangkan dalam penyelesaian masalah ini. Pertama, terkait kepastian hukum hak tanah bagi Kaum Maboet yang memang telah lama mereka perjuangkan. Kedua, nasib ribuan warga yang tinggal di atas tanah itu. Ketiga, penyelamatan uang negara dari potensi korupsi yang bisa terjadi di atas tanah seluas 765 Ha itu,” ucap Fakhrizal lagi.

BPN dan pihak-pihak lainnya, sambungnya, juga tidak berhak mengatakan bahwa putusan pengadilan terkait objek tanah 765 Ha tersebut, sebagai Error In Objekto dalam proses keperdataannya. Selain itu, katanya lagi, surat yang di keluarkan BPN Kota Padang yang merupakan dokumen negara tentunya berkekuatan hukum.

Akan tetapi, berdasarkan keterangan Irjend Fahrizal kepada wartawan yang dikutip KabarDaerah.com, Antoni sebagai kepala kantor BPN kota Padang menegaskan, bahwa terkait persoalan tanah seluas 765 Ha tersebut, pihaknya tetap akan berpedoman pada ketentuan terhadap penguasaan fisik atas tanah negara bekas recht van eigendom No.1974. Di luar bidang tanah sebagaimana dimaksud, sebelum diterbitkan sertifikatnya, dapat diproses permohonan haknya. Sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Ini yang menjadi pedoman bagi kami,” ucapnya singkat.

Terkait tanah Adat atau tanah Ulayat, menurut Dt Majo Indo Nan Itam salah seorang pemangku adat Luak Limo Puluah :

Padang termasuk wilayah ranah Minang yang disebut RANTAU Luak Nan Tuo atau Tanah Datar, Padang merupakan hak ulayat mencakup batas wilayah yang sangat luas. Dari dulu wilayah tersebut tunduk dengan hukum adat ranah Minang. sehhingga tanah Ma’Boet tersebut adalah tanah ulayat adat.

Menurut Tambo Batas Wilayah ranah Minang mencakup sebagai Berikut :

Nan salilik Gunuang Marapi Daerah Luhak Nan Tigo
Saedaran Gunuang Pasaman Daerah di sekeliling Gunung Pasaman
Sajajaran Sago jo Singgalang Daerah sekitar Gunung Sago dan Singgalang
Saputaran Talang jo Kurinci Daerah sekitar Gunung Talang dan Kerinci
Dari Sirangkak nan Badangkang Daerah Pariangan Padang Panjang dan sekitarnya
Hinggo Buayo Putiah Daguak Daerah di Pesisir Selatan hingga Muko-Muko
Sampai ka Pintu Rajo Hilia Daerah Jambi sebelah barat
Hinggo Durian Ditakuak Rajo Daerah yang berbatasan dengan Jambi
Sipisau-pisau Hanyuik Daerah sekitar Indragiri Hulu hingga Gunung Sahilan, Kampar
Sialang Balantak Basi Daerah sekitar Gunung Sailan dan Singingi
Hinggo Aia Babaliak Mudiak Daerah hingga ke rantau pesisir sebelah timur /Kabupaten Pelalawan
Sailiran Batang Bangkaweh Daerah sekitar Danau Singkarak dan Batang Ombilin
Sampai ka ombak nan badabua Daerah hingga Samudra Indonesia
Sailiran Batang Sikilang Daerah sepanjang pinggiran Batang Sikilang, Pasaman Barat
Hinggo lauik nan sadidieh Daerah yang berbatasan dengan Samudra Indonesia
Ka timua Ranah Aia Bangih Daerah sebelah timur Air Bangis
Rao jo Mapek Tunggua Daerah di kawasan Rao dan Mapek Tunggua
Gunuang Mahalintang Daerah perbatasan dengan Tapanuli selatan
Pasisia Banda Sapuluah Daerah sepanjang pantai barat Sumatra
Taratak Aia Hitam Daerah sekitar Silauik dan Lunang
Sampai ka Tanjuang Simalidu Daerah hingga Tanjung Simalidu
Pucuak Jambi Sambilan Lurah Daerah sehiliran Batang Hari


Batas wilayah yang tersebut diatas adalah wilayah Ranah Minang, sehingga Padang termasuk kedalam batas tersebut, sehingga dapat kita simpulkan bahwa tanah kaum ma’Boet tentunya adalah hak ulayat adat ranah Minang.

Pasal 18B ayat 2, Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang

Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 sebagai salah satu landasan konstitusional masyarakat adat menyatakan pengakuan secara deklaratif bahwa negara mengakui dan menghormati keberadaan dan hak-hak masyarakat hukum adat. Namun pengakuan tersebut memberikan batasan-batasan atau persyaratan agar suatu komunitas dapat diakui keberadaan sebagai masyarakat hukum adat.

Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 meng-amanat-kan bahwa pengakuan dan penghormatan terhadap keberadaan dan hak-hak masyarakat adat diatur dalam undang-undang.

Berikut mari kita lihat berbagai tautan yang menjadi pedoman selama ini :

Menurut Pergub Sumbar Pasal. 2 yang berisikan Azaz Manfaat dan Tujuan

  1. Azas utama tanah ulayat bersifat tetap berdasarkan filosofi adat Minangkabau ‘jua ndak makan bali, gadai ndak makan sando’;
  2. Azas pemanfaatan tanah ulayat adalah manfaat yang sebesar-besamya untuk kepentingan masyarakat adat, berkeadilan dan bertanggung jawab sesuai dengan falsafah Adat Basandi Syara’ Syara’ Basandi Kitabullah;
  3. Azas Unilateral yang merupakan hak pewarisan tanah ulayat yang berlaku dalam suatu kekerabatan menurut garis keturunan Ibu

Sasaran utama pemanfaatan tanah ulayat adalah untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat adat.

  1. Pemanfaatan tanah ulayat oleh pihak lain yang bukan warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan dilakukan dengan prinsip saling menguntungkan dan berbagi resiko dengan kaedah ‘adat diisi limbago dituang’ melalui musyawarah mufakat
  2. Apabila tanah ulayat tidak lagi dimanfaatkan oleh pihak pengelola baik badan hukum dan atau perorangan lainnya, maka tanah tersebut kembali kepada penguasa atau pemilik tanah ulayat semula, dengan tetap memperhatikan hak keperdataan yang bersangkutan yang terkait dengan tanah ulayat tersebut.

Tujuan pengaturan tanah ulayat dan pemanfaatannya adalah untuk tetap melindungi keberadaan tanah ulayat menurut hukum adat Minang serta mengambil manfaat dari tanah termasuk sumber daya alam, untuk kelangsungan hidup dan kehidupannya secara turun-temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat dengan wilayah yang bersangkutan.

Dasar konstitusional keberadaan dan hak masyarakat hukum adat

UUD 1945 mengatur keberadaan masyarakat hukum adat sebagai subyek hukum yang berbeda dengan subyek hukum lainnya.

Hal ini sudah tampak sejak UUD 1945 periode pertama di mana pada bagian penjelasan UUD 1945 terdapat penjelasan mengenai “persekutuan hukum rakyat” yaitu masyarakat hukum adat yang keberadaannya sudah ada jauh sebelum proklamasi Republik Indonesia.

Dalam penjelasan UUD 1945 dituliskan bahwa: “Dalam territoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landchappen dan volksgemenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, ranah Minang, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya.

Daerah-daerah itu mempunyai susunan masyarakat adat yang asli, oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa.

Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut.”

Berbagai Pendapat para ahli..

Indonesia adalah negara yang menganut pluralitas dalam bidang hukum, ada tiga hukum yang keberadaannya diakui dan berlaku yaitu hukum barat, hukum agama dan hukum adat.

Pada prakteknya masih banyak masyarakat yang menggunakan hukum adat dalam mengatur kegiatan sehari-harinya serta dalam menyelesaikan suatu permasalahan yang ada.

Setiap wilayah di Indonesia mempunyai hukum adatnya masing-masing yang dipakai untuk mengatur kehidupan bermasyarakat yang beraneka ragam, sebagian besar hukum adat tersebut tidak dalam bentuk aturan yang tertulis.

Hukum adat tersebut berkembang mengikuti perkembangan masyarakat dan tradisi rakyat yang ada.

Hukum adat merupakan endapan kesusilaan dalam masyarakat yang kebenarannya mendapatkan pengakuan dalam masyarakat tersebut. Dalam perkembangannya, praktek yang terjadi dalam masyarakat hukum adat, keberadaan hukum adat sering menimbulkan pertanyaan-pertanyaan apakah aturan hukum adat ini tetap dapat digunakan untuk mengatur kegiatan sehari-hari masyarakat dan menyelesaikan suatu permasalahan-permasalahan yang timbul di masyarakat hukum adat.

Sementara itu negara kita juga mempunyai aturan hukum yang dibuat oleh badan atau lembaga pembuat undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Antara hukum adat dengan hukum negara mempunyai daya pengikat yang berbeda secara konstitusional bersifat sama tetapi terdapat perbedaan pada bentuk dan aspeknya.

Menurut Van Vollenhoven, hukum adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku masyarakat yang berlaku dan mempunyai sanksi dan belum dikodifikasikan.

Menurut Terhaar, hukum adat adalah keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan adat dan berlaku secara spontan. Dapat disimpulkan hukum adat adalah suatu norma atau peraturan tidak tertulis yang dibuat untuk mengatur tingkah laku masyarakat  dan memiliki sanksi.

Keberadaan hukum adat ini secara resmi telah diakui oleh negara keberadaannya tetapi penggunaannyapun terbatas.

Merujuk pada pasal 18B ayat (2) UUD 1945 dimana menyebutkan

”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”

Berarti, negara mengakui keberadaan hukum adat serta konstitusional haknya dalam system hukum Indonesia.

Disamping itu juga diatur dalam Pasal 3 UUPA, “Pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi”.

Polemik yang sering timbul adalah dalam hal pengakuan hak ulayat atau kepemilikan hak atas tanah.

Hak ulayat yaitu hak penguasaan atas tanah masyarakat hukum adat yang dalam ketentuan peraturan perundang-undangan diakui oleh negara dimana dalam teori, hak ulayat dapat mengembang (menguat) dan mengempis (melemah) sama halnya dengan hak-hak perorangan.

Hal ini merupakan sifat istimewa hak-hak atas tanah yang tunduk pada hukum adat,

“Semakin kuat kedudukan hak ulayat maka hak milik atas tanah itu semakin mengempis, kebalikannya, semakin kuat hak milik maka keberadaan hak ulayat itu akan hilang”.

Dengan telah diakuinya hak-hak kesatuan masyarakat hukum adat tetapi mengapa masih banyak permasalahan itu terjadi di daerah-daerah Indonesia. Banyak penggunaan tanah ulayat yang berakhir sengketa karena tidak sesuai dengan seharusnya. Hal itu timbul karena para investor seharusnya berurusan langsung dengan masyarakat adat sebagai pemilik hak ulayat untuk melaksanakan suatu perjanjian.

Kenyataannya malah investor tersebut mendapatkan tanahnya melalui pemerintah yang mengakibatkan masyarakat adat selaku pemilik protes karena mengapa melakukan kegiatan investor ditanah mereka.

Timbul juga sebuah kerugian sebagai efek samping dari terjadinya sengketa karena tanah tersebut dalam status quo sehingga tidak dapat digunakan secara optimal dan terjadilah penurunan kualitas sda yang bisa merugikan banyak pihak.

Negara dimana sebagai pemberi sebuah jaminan kepastian hukum adat terhadap masyarakat hukum adat dengan di berlakukannya UU No.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria (UUPA) diharapkan dapat mengurangi terjadinya sengketa dan memberikan keadilan untuk masyarakat adat.

Karena dalam pasal 3 UUPA menyebutkan bahwa hukum tanah nasional bersumber pada hukum adat, seharusnya secara otomatis hak-hak ulayat diakui tetapi dalam prakteknya tidak berbeda.

Jangan sampai terjadi tumpang tindih aturan yang berakibat kaburnya kepemilikan serta penguasaan dan pengelolaan oleh masyarakat adat dalam tatanan hukum Indonesia karena tidak adanya kepastian kedudukan tersebut.

Kedepannya diharapkan, adanya jaminan kepastian hukum tentang pengelolaan hak ulayat masyarakat hukum adat. untuk itulah diadakan hak atas tanah secara kolektif yang disebut SERTIPIKAT HAK KOMUNAL.

Lebih rinci peraturan perundang-undangannya baik dalam Peraturan Presiden atau Peraturan Pemerintah, yang jelas dibawah undang-undang. dibuat dalam bentuk tertulis, dalam hal hak atas tanah serta lengkap dengan pedoman pelaksanaannya. Supaya ada kejelasan tentang hak milik masyarakat hukum adat kedepannya.

Selama ini hukum adat memang dikenal dalam UUPA dan juga diatur dalam UUD 1945 tapi sejauh ini keberadaan hukum adat, selalu diakali dengan menggunakan hukum positif.

Hal senada juga diulas oleh ketua LSM KOAD, “Kita bisa lihat siapa yang diuntungkan dalam hal polemik tanah Ma’Boet. Jika kita jujur dan mau mengakui bahwa, banyak tanah tersebut yang dikuasai oleh oknum-oknum bekas pejabat, sebagai contoh seperti Universitas Bung Hatta dan lain lainnya tentunya tidak perlu disebutkan karena sebenarnya masayarakat sudah mengetahui hal tersebut. ungkap ketua LSM KOAD kepada media KabarDaerah.com.

Berikut dijelaskan Oleh Dr. Hj. Muskibah, S.H., M.Hum

Berbicara bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia, tentu kita tidak dapat melepaskan keberadaan nilai, norma, kaedah, maupun pedoman berprilaku, kebiasaan yang masih hidup di tengah masyarakat adat.

Hal tersebut merupakan bentuk kekayaan bangsa Indonesia, yang sudah ada dari dahulu, yang terus hidup dan berkembang dalam kehidupan masyarakat Nusantara.

Sehingga bisa dikatakan bahwa nilai, norma, kaedah serta pedoman berprilaku harus terakomodir dalam suatu hukum tidak tertulis, dimana dikenal secara luas dengan istilah hukum adat, Dalam pelaksanaanya, hukum adat memiliki pengaturan yang berbeda namun pada dasarnya memiliki akar yang sama.

Berbicara tentang Indonesia sebagai Negara hukum, maka keberadaan hukum adat diatur, dilindungi, dan diakomodir pula oleh konstitusi. Merujuk kepada ketentuan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 mengatur :

”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.

Merujuk kepada ketentuan tersebut ada beberapa hal penting yang bisa kita pahami sehubungan dengan kedudukan hukum adat dalam sistem hukum Indonesia.

Bahwa Negara mengakui keberadaan kesatuan masyarakat hukum adat di Indonesia secara konstitusional. dalam hal ini, termasuk hukum yang hidup di dalamnya, yakni hukum adat itu sendiri.

Pengakuan hak tersebut dapat dimaknai sebagai pengakuan hak bagi masyarakat hukum adat terkait mengenai eksistensinya.

Artinya, masyarakat hukum adat dilindungi konstitusi, eksistensi masyarakat dan segala hal yang hidup di dalam kehidupan masyarakat itu sendiri, termasuk dalam hal ini adalah hukum adat itu sendiri yang menjadi bagian dari masyarakat.

Di samping itu, pengakuan dan penghormatan hukum Negara berlaku sepanjang hukum adat dan masyarakat adat itu sendiri masih hidup dalam kehidupan bermasyarakat.

Dalam arti bahwa pengakuan Negara tersebut patut menjadi catatan bagi bangsa Indonesia, untuk senantiasa menjaga kelestarian masyarakat adat dan instrumennya sebagai warisan luhur Nusantara di tengah terjangan dan terpaan globalisasi.

Sehubungan dengan landasan konstitusi tersebut, adalah sebuah pengakuan yang berlaku sepanjang hal-hal tersebut sesuai dengan perkembangan masyarakat adat itu sendiri.

Seharusnya NKRI lah yang harus mengacu kepada hukum masyarakat adat, sehingga jika berhadapan dengan hukum positif yang berlaku. Masyarakat adat tidak boleh selalu dikalahkan.

karena NKRI baru ada tahun 1945, dan hukum adat jauh sebelumnya sudah berkembang dimasyarakat.

Maka dalam hal ini agaknya tidak berlebihan jika disebutkan pengakuan Negara terhadap masyarakat hukum adat dan hukum adatnya sendiri adalah pengakuan bersyarat (sekalipun dalam konsep Negara hukum syarat-syarat tersebut merupakan bentuk control bingkai Negara hukum).

Jika ditelisik lebih jauh, sebagaimana diatur pada Pasal 4 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 52 Tahun 2014 tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat yang dalam hal ini mengatur sehubungan tentang tahapan dan syarat yang harus dipenuhi oleh Masyarakat Hukum Adat untuk memperoleh kepastian hukum atas hak-hak tradisionalnya.

Di dalam ketentuannya tersebut masysarakat adat harus melalui tahapan-tahapan yang dilakukan secara berjenjang untuk mendapatkan legalisasi pengakuan atas masyarakat hukum adat itu sendiri dimana dalam hal ini tahapan-tahapan tersebut meliputi tahapan identifikasi masyarakat hukum adat, verifikasi dan validasi masyarakat hukum adat serta kemudian setelah 3 (tiga) tahapan tersebut dilalui maka dalam hal ini dilakukan penetapan masyarakat hukum adat sebagai output dari tahapan-tahapan tersebut.

Lebih lanjut diatur bahwa dalam tahapan identifikasi masyarakat hukum adat, hal-hal yang menjadi objek adalah sejarah masyarakat hukum adat, hukum adat, wilayah adat, harta kekayaan dan/atau benda-benda adat, kelembagaan/sistem pemerintahan adat. Lebih lanjut dengan wilayah adat dan kelembagaan/sistem pemerintahan adat secara substansial pada ketentuan hukum ini belum diatur secara jelas teknis penentuan cara menentukan wilayah adat yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat dan atau pun kelembagaan / sistem pemerintahan adat apakah diatur secara stuktural.

Dalam fokus kedudukan hukum adat dalam sistem hukum Indonesia, kembali konstitusi dimana Pengakuan terhadap hukum tidak tertulis dahulu hanya dijelaskan atau dicantumkan dalam Penjelasan Umum UUD 1945 yang dalam hal ini mengatur ”…

Undang-Undang Dasar ialah hukum dasar yang tertulis, sedang di samping Undang-Undang Dasar itu berlakunya juga hukum dasar yang tidak tertulis, ialah aturan-atauran dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan negara meskipun tidak tertulis”.

Dalam artian hukum adat yang pada umumya tidak tertulis memiliki kedudukan yang sama dengan hukum lainnya yang berlaku di Indonesia mengingat pengakuan terhadap hukum tidak tertulis di samping Undang-Undang Dasar itu sendiri.

Maka dalam hal ini, dapat dipahami bahwa kedudukan hukum adat di dalam sistem hukum di Indonesia memiliki kedudukan secara konstitusional bersifat sama dengan kedudukan hukum pada umumnya berlaku dalam kehidupan bernegara di Indonesia, namun yang patut digaris bawahi, terdapat perbedaan antara hukum adat dengan hukum yang berlaku pada umumnya yakni dari aspek keberlakuan dan bentuknya. Dimana dalam hal ini keberlakuan hukum adat hanya berlaku untuk orang Indonesia dan dari aspek bentuknya hukum adat pada umumnya tidak tertulis.

Oleh karena itu, tentu sebagaimana syarat pengakuan tersebut adalah kewajiban bersama untuk senantiasa melestarikan hukum adat dan masyarakat hukum adat itu sendiri, sehingga nilai-nilai luhur bangsa dapat selamat dari terjangan degradasi akibat globalisasi.(TIM LSM KOAD)

(sebagaian dikutip dari  Benua News.com, HarianHaluan.com)