Ganti Nama Jalan dan Segala Konsekuensinya, Apakah Sudah Dipikirkan??

Ditulis Oleh  :  Andre Vincent Wenas, MM, MBA

Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis PERSPEKTIF (LKSP) Jakarta

 

Ini gara-gara Giring Ganesha, lagi-lagi bikin cuitan di Media Sosial (Medsos) nya tentang penggantian nama jalan oleh Gubernur DKI Jakarta., Anies Baswedan. Usulnya, supaya pakai nama Jalan Nenek Hindun saja.

Giring mengangkat satire yang sekaligus mengingatkan publik Jakarta akan betapa berbahaya dan sangat jahatnya Politik Identitas serta Politisasi Agama. Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah.

Meninggalkan sejarah atau melupakan sejarah? Itu lho, pidato Bung Karno bertajuk “Jasmerah” yang dibawakannya pada 17 Agustus 1966. Menurut keterangan yang disampaikan sejarahwan Rushdy Hoesein yang betul adalah ‘Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah’.

Menurutnya ada pemaknaan yang beda antara kata ‘melupakan’ dengan kata ‘meninggalkan’. Begitu info dari forum bedah pidato Bung Karno yang diadakan di Perpustakaan Nasional, Jakarta, Rabu 15 Mei 2019 yang lalu.

Ambil contoh soal kunci rumah. Setiap pergi meninggalkan rumah kita biasanya tak pernah meninggalkan kunci rumah, meskipun kadangkala kita kelupaan juga untuk membawanya. Konteks pidato itu disampaikan Bung Karno antara lain saat Indonesia menghadapi tahun yang gawat, konflik sesama anak bangsa, dan seterusnya.

Tapi mengapa sekarang kita omong soal Pidato Jasmerah itu dalam konteks penggantian nama jalan? Sekali lagi, pesannya adalah jangan sekali-kali meninggalkan sejarah.

Ini mengenang tragedi Nenek Hindun, yang lantaran memilih atau mendukung Ahok-Djarot dalam pilkada Jakarta 2017, maka ia diancam tidak disholatkan oleh kelompok intoleran pendukung Anies Baswedan waktu itu. Maka cuitan satire yang disampaikan Giring kita pahami sebagai upaya merawat memori publik tentang kebengisan politik identitas dan politisasi agama itu.

Ini penting disampaikan, tentu disamping soal administratif dan cara pengelolaan perubahan (change management) bahwa apa yang dilakukan Gubernur Anies ini memang layak untuk dikritisi.

Tapi jangan salah sangka dulu, kita menganggap bahwa ide penggantian nama jalan dengan nama-nama tokoh Betawi itu pada dasarnya tidak jelek juga. Sebagai gagasan tentu hal itu baik-baik saja. Kita percaya juga tentu keluarga para tokoh itu pun bakal senang dan kita pun ikut berbangga hati.

Namun ada hal esensial yang dilupakan dan tidak dikerjakan dalam penerapan menajemen perubahan. Yaitu sosialisasi dan pelibatan masyarakat terdampak dalam proses perubahan itu. Partisipasi masyarakat terdampak sama sekali diabaikan. Jadi yang salah adalah implementasi ide itu. Prosedur penerapannya yang ngawur. Implikasinya pun tidak dipikirkan matang-matang.

Memang Gubernur Anies akhirnya bilang tidak ada konsekuensi biaya (cost). Tentu yang dimaksud adalah biaya uang. Tapi apakah juga diperhitungkan soal kerepotan warga untuk wira-wiri urus tetek-bengek terkait perubahan itu? Selain cost-of-money, ada juga cost-of-time, dan cost-of-energy.

Sehingga beberapa kalangan bilang ya begitulah kalau kerjanya cuma kosmetik, poles sana poles sini cari sensasi. Lantaran kerja keras sesungguhnya ada dalam rincian implementasi yang pelik dan butuh ketelitian serta komitmen. Ingat, the devil is in the detail! Jangan main terabas hanya demi pencitraan.

Manage the process, kelola baik-baik prosesnya secara menyeluruh kata ahli manajemen kualitas (total quality management/TQM). Ada disiplin eksekusi yang mesti ditaati.

Janganlah berasumsi sepihak bahwa masyarakat terdampak itu pasti memahaminya dan bakalan paham dengan sendirinya.