Yohanes Eka Prayuda : Grand Wisata Harus Jadi Model Kerukunan Umat Beragama

BERITA UTAMA56 Dilihat

KABARDAERAH.COM (Bekasi)– Grab car berwarna silver yang kami tumpangi berhenti persis di depan area Club House Water spring Grand Wisata. Lokasi ini berada di wilayah Kecamatan Tambun Selatan,Kabupaten Bekasi, provinsi Jawa Barat.

Kamipun bergegas menuju lokasi yang tercatat dalam undangan acara Silaturrahmi Anak Bangsa, dihelat FPKUB-GW (Forum Persaudaraan Kerukunan Umat Beragama Grand Wisata) dan sekitarnya, pada pukul 20.00 WIB.

Tampak sebuah meja panjang dilingakari kursi plastik berwarna hijau yang ditempati puluhan orang. Di antaranya Ketua Umum FPKUB-GW, H. Sandi Siswantoro, Sekretaris Jenderal H.Jusman Sikki, Bendahara Bapak H.Jaka, Bapak H.M.Shalahudin,SH.,MH, Ketua Yaysan Baiturrahman Grand Wisata, Bekasi, Sisco da Cruz,sesepu dari tokoh umat Katolik Grand Wisata,Bekasi, para perwakilan dari enam (6) agama di Grand Wisata, yakni Islam, Katolik, Protestan, Budha, Hindu, Kong Hu Chu, tokoh Banser NU Grand Wisata Gus Unggul Irianto, dan undangan lainnya.

Acara silaturahmi malam itu dipandu langsung oleh Sekjen FPKUB-GW, H.Jusman Sikki. Satu persatu ia memperkenalkan para pengurus dan sejumlah tokoh masyarakat Grand Wisata yang ikut hadir malam itu.

Dikatakan, salah satu tujuan dibentuknya FPKUB-GW adalah membantu memfasilitasi atau mengkomunikasikan masalah-masalah yang dihadapi oleh warga setempat khususnya dalam memperjuangkan fasilitas peribadatan. Mengingat pihak pengembang perumahan setempat, hingga sekarang ini, belum/tidak mengalokasikan lahan untuk pembangunan tempat peribadatan semua agama secara berdampingan: Masjid, Gereja untuk umat Katolik dan Protestan, Pura untuk umat beragama Hindu, Vihara untuk umat Budha, dan Kelenteng bagi umat Konghucu.

Yohanes Eka Prayuda saat berbagi shari dalam acara Silaturahmi Anak Bangsa, Forum Persaudaraan Umat Beragama Grand Wisata dan Sekitarnya, Kecamatan Tambun Selatan,Bekasi,Jawa Barat (Kredit Foto: Dominikus Dese Lewuk)

“Saat ini Masjid sudah dibangun, tapi gereja, vihara, pura, dan klenteng belum ada. Maka diharapkan lewat Forum ini dapat bersama-sama membantu perjuangkan proses pengalokasian lahan untuk pendirian fasilitas peribadatan tersebut. Selain itu, juga untuk menjaga situasi kerukunan grand wisata dan sekitarnya untuk tetap kondusif, menolak sikap intoleran,” kata H.Jusman Sikki.

Selanjutnya, moderator memberi kesempatan kepada perwakilan dari enam (6) agama yang hadir untuk menyampaikan usulan dan sarannya terkait persoalan pembangunan sarana peribadatan sebagaimana lahannya disediakan oleh pihak pengembang grand wisata.
Setelah enam perwakilan agama-agama yakni Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha dan Kong Hu Chu menyampaikan uneg-unegnya, moderator kembali memberi kesempatan peserta lainnya.

Yohanes Eka Prayuda, salah satu warga Katolik Grand Wisata yang telah menetap 10 tahunan lebih itu pun menceriterakan pengalaman seputar informasi yang pernah diterima dari pihak marketing pengembang itu.

Menurut salah satu pengurus Wilayah Bunda Hati Kudus (BHK) – komunitas umat Katolik – Grand Wisata itu, bahwa pada saat awal dirinya bermukim, sempat mendengar informasi bahwa “di tempat ini akan dibangun kawasan tempat ibadah bagi semua agama” yang tinggal di komplek perumahan (Grand Wisata), kawasan Tambun Selatan itu.

“Saya sendiri masuk dan tinggal disini akhir tahun 2012. Nah, informasi itu yang menjadi salah satu daya tarik, karena kami akan tinggal dekat dengan gereja. Dan yg lebih penting, merawat keberagaman dalam sebuah komunitas seperti di Grand Wisata, kalau difasilitasi maka akan sangat bermanfaat bagi seluruh warga. Kalau itu terjadi, maka akan menjadi sebuah model yg bagus”, katanya.

“Royal Residence Wiyung, Surabaya bisa menjadi contoh toleransi antar umat beragama. Toleransi itu diwujudkan dengan 6 tempat ibadah berbeda yang berdiri saling berdampingan. Keenam rumah ibadat tersebut sesuai dengan agama-agama yang diakui di Indonesia, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Kong Hu Chu. Ada Masjid Muhajirin, Vihara Budhayana, Kapel Santo Yustinus untuk umat Katolik, Klenteng Ba De Miao, Pura Sakti Raden Wijaya, dan GKI Wiyung Royal Residence untuk umat Kristen Protestan,” ujar Eka, demikian ucal pria kelahiran Yogyakarta itu disapa.

Suasana Silaturahmi Anak Bangsa Forum Persaudaraan Kerukunan Umat Beragama Grand Wisata (FPKUB-GW). Dari Kanan-Kiri : Ketua Umum FPKUB-GW, H. Sandi Siswantoro, Sekretaris Jenderal H.Jusman Sikki,  H.M.Shalahudin,SH.,MH, Ketua Yaysan Baiturrahman Grand Wisata, Bekasi (baju merah) . Kredit Foto: Dominikus Dese Lewuk/Kabardaerah.com), Sabtu (25/2/2023).

Hal serupa sudah dirintis jauh sebelumnya oleh kawasan Puja Mandala di daerah Nusa Dua, Bali yg telah lebih dulu membangun tempat ibadah untuk 5 agama berbeda secara berdampingan pada thn 1994-1997. Selain kedua tempat tsb yaitu Puja Mandala Nusa Dua & Royal Residence di Surabaya, sebelumnya praktek toleransi kerukunan umat beragama di Indonesia juga telah diwujudkan oleh alm. Kyai Ali Mursyid di Desa Bulakrejo, Kecamatan Balerejo, Kabupaten Madiun, Jawa Timur yang membangun kelima rumah ibadat tersebut di tanah miliknya: Mushala, Gereja, Vihara, Pura, dan Klenteng. Dibangun pada tahun 1986.

Lalu, kenapa tidak di sini? Grand Wisata, lebih daripada mampu. Tapi terlepas dari itu semua, yang lebih mendasar adalah beribadah merupakan hak dasar manusia, dan bagi rakyat Indonesia, hak tsb sudah tercantum dalam 5 butir Pancasila. Sila pertama yakni Ketuahan Yang Maha Esa. Demikian juga pada Pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 ditulis “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya,” ujarnya mengutip bunyi pasal 29 UUD 1945.

Potret 5 Rumah Ibadat yang dibangun oleh Kiyai Ali Mursyid di Desa Bulakrejo, Kecamatan Balerejo, Kabupaten Madiun, Jawa Timur. (Foto: Dok/Istimewa)

Lanjut Eka, “perwujudan itulah yang kami harapkan akan terjadi di kawasan perumahan Grand Wisata”. Ini bukan hanya suara hati umat Katolik saja, tapi juga umat beragama yang lain, khususnya non-muslim.

Ia menjelaskan, secara jumlah umat Katolik yang menghuni di Grand Wisata ini cukup banyak, hampir 1000-an jiwa dari 250 Kepala Keluarga. Itu hanya di Grand Wisata, belum di sekitarnya yang terdapat 4-5 Wilayah dg beberapa Lingkungan (keduanya merupakan istilah internal gereja Katolik untuk mengelompokkan tempat tinggal umat Katolik-red) yang kalau digabung sudah mencapai 5000 jiwa, dimana dari segi ukuran normal sudah memadai untuk berdirinya satu Paroki (di bawah Keuskupan).

“Tapi kita tidak bermimpi berlebihan seperti itu, apa lagi pada saat sekarang. Karena Paroki Santo Arnoldus Janssen (Gereja Induk) di kota Bekasi, di bawah Keuskupan Agung Jakarta, saat ini jumlah umatnya mencapai 26 ribu jiwa. Masih memiliki dua stasi (sub-Paroki yang membawahi beberapa Wilayah) yang telah terlebi dahulu ada yakni di Stasi Yohanes Paulus-II (YP-2) Rawa Lumbu, dan Stasi Santo Petrus Rasul (SanPeRa) Cibitung, Tambun yang mana mereka harus (dan sedang) lebih dulu dikembangkan untuk menjadi Paroki yg mandiri. Jadi, ibaratnya Wilayah Bunda Hati Kudus (BHK) ini, beserta 4-5 Wilayah yg mengelilinginya, berpotensi – dan sewajarnya secara alamiah – menjadi Stasi baru, bakal Paroki bungsu yg dibesarkan dari Paroki Arnoldus Janssen, Bekasi.

Potret Kerukunan Umat Beragama di Surabaya,Jawa Timur berdampingan dalam satu komplek . Sumber foto : Dok/Istimewa)

“Jadi, yang kami inginkan & butuhkan adalah kepastian ketersediaan lahan dalam waktu dekat. Karena kalau kita tunggu atau tunda nanti, maka akan semakin sulit realisasinya, bahkan akan menjadi jauh lebih mahal. Sehingga kita harus lebih dulu mendapatkan alokasi lahan bersama bagi umat agama-agama lain itu tentu akan lebih baik. Persoalan siapa yang akan bisa lebih dahulu membangun, tidaklah menjadi masalah. Yang terpenting, kita sudah akan bisa membangun tempat ibadah sederhana dulu untuk sementara, yang juga bisa digunakan sebagai tempat pertemuan, fungsi kebersamaan komunitas, dan lain sebagainya,” imbuhnya.

“Kita memang tidak sedarah. Dan kita boleh tidak seiman. Tapi kita harus lebih dari saudara.” Spirit itulah yang harus kita wujudkan sebagai sikap bersama melalui Forum Persaudaraan Kerukunan Umat Beragama di Grand Wisata (FPKUB-GW), Bekasi ini.

Pope Francis and Sheik Ahmad el-Tayeb, grand imam of Egypt’s al-Azhar mosque and university, sign documents during an interreligious meeting at the Founder’s Memorial in Abu Dhabi, United Arab Emirates, Feb. 4, 2019. The pope and Sheik el-Tayeb stepped into a theological debate on the will of God toward religions when they signed a document on “human fraternity” and improving Christian-Muslim relations. (CNS photo/Paul Haring) See VATICAN-LETTER-DIALOGUE Feb. 7, 2019.

Tentang Dokumen Abu Dhabi

Eka menggarisbawahi, pertemuan antar iman, seperti Katolik dan Muslim bukan baru sekarang ini di Abu Dhabi, tapi jauh sebelumnya sudah terjadi di Timur Tengah yang mayoritas adalah Muslim. Hal itu makin diperkuat dengan fakta dimana belum lama ini, Uni Emirat Arab sudah memprakarsai pendirian komplek tempat ibadah 3 agama Ibrahimi (Yahudi, Kristen & Islam). UEA pun juga sdh membuka hubungan diplomatik dg Israel. Dan kita saksikan bersama dalam kurun waktu 5-10 tahun terakhir, eskalasi kekerasan-permusuhan antar pengikut agama di Timur Tengah, sudah jauh mereda. Artinya, kesadaran tentang persaudaraan & kerukunan sebagaimana tertuang dalam Dokumen Abu Dhabi tentang Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Bersama-The Document on Human Fraternity for Peace and Living Together, itu sudah dimulai jauh sebelumnya; dan sekarang kembali mengemuka untuk segera menemukan wujud konkritnya.

Adapun, kesepakatan Dokumen Abu Dhabi itu telah ditandatangani oleh Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Azhar, Dr.Ahmed Al-Tayyeb di Masjid Founder’s Memorial pada tanggal 4 Frebuari 2019.

“Mereka telah memulai rekonsiliasi kesadaran akan nilai-nilai persaudaraan, perdamaian & kerukunan antara umat manusia. Nah, sikap ini harus pula mewujud nyata di Indonesia. Dan, Indonesia sangat relevan untuk melakukan hal tersebut.”

“Jangan sampai paham-paham yang kurang tepat, kekerasan beralasan agama terhadap bangsa lain, yang sudah ditinggalkan disana, berhembus kemari; itulah yang harus kita hindari. Mereka sudah mulai mewujudkan dengan perdamaian. Jangan sampai hal-hal terkait intoleran dan kekerasan itu berpindah ke sini (Indonesia). Maka itulah yang harus kita jaga, kita bendung. Dengan tujuan kita semua umat manusia sesama ciptaan Allah, ingin hidup damai, rukun,satu sama yang lain,” imbuhnya.

Paus Fransiskus dan Muhamed Al-Tayyeb ,Imam Besar Al-Azhar (Sumber Foto: Vatican News)

Selanjutnya, biarlah masing2 umat beragama mengatur tatacara ibadahnya sendiri dg aman & nyaman, jangan saling mencampuri, apalagi mengganggu dan menghambat, seperti beberapa kali kita saksikan di beberapa tempat di tanah air kita ini dalam pemberitaan. Jika ada masalah yang membuat merasa terganggu, pastilah bisa diselesaikan secara musyawarah, dengan bicara-diskusi baik-baik & tetap santun, serta saling menghargai. Itulah salah satu misi utama yang diemban dg terbentuknya FPKUB-GW yang baru saja kita saksikan momentumnya.

“Sebagai pribadi dan sebagai umat Katolik di Paroki BHK Grand Wisata Bekasi, mengajak teman-teman, mari bersama-sama mensukseskan semangat “Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Bersama. Kita mulai dari diri kita sendiri, di sini di tempat tinggal kita, dan sekarang juga. Mau tunggu apa lagi? Segera!”, tutup Yohanes Eka Prayuda. ** Domi Dese Lewuk.