Konflik Papua Barat Diduga Rekayasa, Freeport Adalah Akar Masalahnya

BERITA UTAMA, TERBARU314 Dilihat

PAPUABARAT.KABARDAERAH.COM- Front Rakyat Indonesia Untuk West Papua (FRI-WP) dan Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) angkat bicara dan menyatakan sikap sekaitan meningkatnya eskalasi konflik di Timika, West Papua, baru-baru ini. Mereka menilai hal ini tidak lepas dari masalah keberadaan Freeport dan NKRI.

Mengabaikan dan mengaburkan akar masalah tersebut, merupakan bentuk penyangkalan dan pembodohan publik atas fakta sejarah dan kondisi obyektif yang ada. Freeport yang telah beroperasi tiga tahun sebelum West Papua resmi menjadi bagian dari NKRI dalam Pepera  (Penentuan Pendapat Rakyat) pada Agustus 1969 yang penuh tipu daya, kepalsuan dan ancaman.

Humas Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) Surya Anta kepada Kabardaerah, Rabu (15/11) membenarkan, jika Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) dan Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) telah menyatakan sikap dan pendapat sekaitan kondisi di Timika.

Dikatakannya, Freeport  telah mengeruk kekayaan alam yang begitu besar dengan meninggalkan kemiskinan maupun kerusakan alam di Tanah Papua selama 50 tahun ini. Grafik konflik di Timika meningkat baik itu konflik hubungan industrial (perburuhan) yang berakhir ricuh dua bulan lalu dimana lima di antaranya masih ditahan.

Kemudian konflik agraria antara Freeport dengan pemilik tanah adat atas kerusakan lingkungan yang terjadi, konflik isu SARA yang “terpola” setiap kali ada mobilisasi massa menuntut Freeport, hingga yang terakhir adalah Perintah Operasi Militer Kodap III TPN-PB Timika-Tembagapura yang bertujuan untuk menunjukan kepada publik Indonesia dan dunia internasional bahwa perjuangan mereka adalah perjuangan merebut kedaulatan rakyat dan Bangsa West Papua dari tangan kolonialisme Indonesia.

Dikatakannya, secara negatif pemerintah beserta aparat Kepolisian dan Tentara merespon peningkatan eskalasi konflik ini dengan penggunaan istilah KKB (Kelompok Kriminal Bersenjata) terhadap para pejuang Pembebasan Papua Barat yang tergabung dalam TPN-PB. Penggunaan kata “kriminal” bermakna merendahkan tujuan perjuangan mereka dan mengaburkan akar masalah di West Papua yang menjadi dasar perjuangan mereka.

Penggunaan KKB bahkan lebih rendah dari penggunaan GPK (Gerakan Pengacau Keamanan) yang sebelumnya disematkan kepada GAM dan OPM. Tidak berhenti di situ, aparat militer dan kepolisian NKRI jelas menyebarkan hoax terhadap musuh politiknya, TPN-PB, dengan menyebarkan berita bahwa TPN melakukan pemerkosaan, pembunuhan terhadap warga, perampokan dan penyanderaan.

” Kaminsudah buat pernyataan sikap kemarin. Apabila kita membaca beberapa media yang melakukan interview terhadap juru bicara TPN-PB  Kodap III Timika dan video klarifikasi dari pihak TPN-PB maupun interview terhadap warga Banti dan Buruh Freeport jelas dinyatakan tidak ada penyanderaan dan pembunuhan terhadap warga dan buruh Freeport,” katanya.

Meski secara fair TPN dalam pernyataan sikap tertulisnya menegaskan agar perang tersebut tidak melibatkan sipil. Namun, intimidasi dan pengawasan intensif terhadap kehidupan sipil oleh militer dan polisi terjadi tidak hanya di tanah West Papua, bahkan terhadap mahasiswa-mahasiswi Papua di Jawa dan Sulawesi. Semisalnya pertemuan Ipmapa di Malang didatangi Tentara, Asrama Papua di Bandung di datangi Polisi dan Tentara, Asrama Mahasiswa Papua di Manado didatangi tentara dan Polisi.

Apa yang terjadi terhadap West Papua dengan tak surutnya perjuangan untuk menentukan nasib sendiri baik yang dilakukan kelompok sipil dengan mobilisasi massa, kampanye dan diplomasi internasional maupun kelompok bersenjata (TPN-PB) bermakna bahwa masalah rakyat West Papua yang paling mendasar bukanlah persoalan Kesejahteraan, melainkan persoalan kedaulatan politik sebagai sebuah bangsa yang mandiri dan merdeka.

Sementara itu Perwakilan Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Frans Nawipa mengatakan, proses integrasi West Papua ke Indonesia sudah salah sedari awal, bahkan sejak di deklarasikannya Operasi Militer Trikora (19 Desember 1961) yang berujung pada New York Agreement (1962), kemudian Pepera (1969) yang tidak sah, jujur, bebas dan adil itu.

Apalagi paska diintegrasikan secara paksa dan berdarah-darah itu rakyat West Papua terus menerus menjadi korban diskriminasi rasisme, eksploitasi alam yang massif, penghancuran kebudayaan, hingga Genosida perlahan (slow genoside)—yang mengakibatkan jumlah orang asli Papua semakin sedikit, dimana diperkirakan dalam kurun 50an tahun lebih dari 500.000 orang West Papua terbunuh.

Dikatakannya, kesalahan proses integrasi tersebut yang berujung pada ilegalitas NKRI atas wilayah West Papua di ikuti pula oleh ilegalitas keberadaan Freeport yang mengeksploitasi potensi Tambang di Gunung Nemangkawi, Timika. Atas persoalan tersebut semakin tak ada syarat pembangunan kebangsaan bangsa Indonesia atas rakyat West Papua. Sebaliknya, semakin menguat pembangunan karakter kebangsaan Bangsa West Papua itu sendiri.

“Menuntaskan persoalan konflik di West Papua secara damai sesungguhnya ada di tangan Pemerintah Indonesia dan PBB. PBB turut bertanggung jawab terhadap hasil dari New York Agreement dan integrasi West Papua melalui PEPERA yang penuh kecurangan dan ancaman. Sementara Pemerintah Indonesia yang menjalankan politik kolonial hingga hari ini,” ungkap Frans.

Menurutnya, Indonesia sebaiknya kembali kepada semangat dan nilai-nilai pendirian negara bangsa (nation state) Indonesia itu sendiri, yakni anti kolonialisme dan anti Imperialisme sebagaimana yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 serta nilai kemanusiaan yang adil dan beradab.  Sebagai bangsa yang besar (tak hanya secara kuantitas) kita harus mengakui kekeliruan masa lampau dan kejahatan-kejahatan para petinggi-petinggi negara atas rakyat West Papua.

Pengakuan West Papua sebagai sebuah bangsa yang berbeda dari bangsa Indonesia serta kejahatan kemanusiaan terhadap rakyatnya selanjutnya harus di ikuti dengan memberikan ruang Hak Menentukan Nasib Sendiri bagi rakyat dan bangsa West Papua, menarik TNI/Polri, Menutup Freeport dan perusahaan-perusahaan internasional lainnya.

Pembebasan para Tapol/Napol, membuka ruang demokrasi dan akses bagi jurnalis dan media Internasional sebagai bagian tak terpisahkan dari proses penentuan nasib sendiri.  Sudah saatnya Indonesia berlaku secara dewasa dan legawa mengikuti cara-cara demokratis. **

(Tim KD)

Tinggalkan Balasan