SMI: Lawan Kebijakan Liberalisasi Ekonomi Dan Pembungkaman Demokrasi

TERBARU197 Dilihat

DKI.KABARDAERAH.COM–  Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI) menilai Indonesia sekarang berada di ambang krisis pendidikan yang serius. Semangat liberalisasi sektor pendidikan dipayungi oleh paket regulasi seperti UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU no 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi, Permenristek no. 39/2017 tentang UKT dan BKT, SE Dikti no 26/2002 tentang larangan aktifitas politik di lingkungan kampus, dan serangkaian regulasi lainnya.

Paket regulasi itu semakin memantapkan arah pendidikan Indonesia ke jurang liberalisasi. Tidak adanya batasan untuk individu atau kelompok dalam mendirikan lembaga pendidikan, berperan besar dalam mengubah orientasi pendidikan.

” Kondisi ini membuat siapapun itu, secara individu ataupun kelompok yang memiliki modal dapat mendirikan lembaga pendidikan dalam bentuk yayasan, sehingga orientasi pendidikan telah berubah menjadi ajang bisnis,” ungkap Ketua Umum SMI, Nuy Lestari, dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jum’at (17/10).

Menurut Nuy, data UNICEF melansir, tahun 2016 terdapat sebanyak 2,5 juta anak Indonesia tidak dapat mengenyam pendidikan lanjutan alias putus sekolah, yakni 600 ribu anak usia SD dan 1,9 juta anak usia SMP. Mayoritas yang menjadi penghambat adalah factor kemiskinan.

Sedangkan dari jumlah 4,8 juta mahasiswa Indonesia saat ini, bila dihitung terhadap populasi penduduk berusia 19-24 tahun, maka angka partisipasi kasarnya baru mencapai 18,4 persen. Dari jumlah 4,8 juta ini sekitar 6,5 persennya adalah mahasiswa kurang mampu yang terancam putus kuliah.

Dikatakannya, rendahnya angka partisipasi pendidikan ini menjadi bukti kegagalan sistem pendidikan Indonesia, akibat lepas tanggung jawab negara dalam membiayai penyelenggaraan pendidikan. Memang, sekilas dari nominal anggaran pendidikan 2017 sebesar Rp416,1 T cukup besar, namun alokasi untuk memajukan kualitas dan sarana-prasarana sangat kecil.

“Beban anggaran masih lebih besar untuk membiayai gaji tenaga pendidik dan pendidikan militer. Sisanya, yang harus menanggung kekurangan biaya operasional adalah mahasiswa dan orang tua,” jelasnya.

Tidak heran, ia melanjutkan, mahalnya biaya pendidikan di tingkat sekolah hingga perguruan tinggi menyumbang angka inflasi tertinggi sebesar 0,22 persen. Otonomisasi yang terus dibudayakan dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi, semakin membuat biaya pendidikan tak terjangkau oleh anak-anak buruh dan tani yang semakin dihimpit upah murah dan penggusuran lahan.

“Salah satu tolak ukur krisis pendidikan tak hanya dari segi mahalnya biaya pendidikan, namun juga dari aspek demokrasinya. Hari ini, institusi-institusi pendidikan dijadikan lahan untuk bertarung kepentingan politik para elit borjuasi dan wahana untuk memberantas “radikalisasi” anak-anak muda. Sungguh ironis, lembaga-lembaga pendidikan tinggi yang semestinya menjadi institusi sarat dengan aktifitas-aktifitas ilmiah, justru menjadi arena doktrinasi dan institusi pelanggar nilai-nilai demokrasi paling parah,” tegas Nuy.

Menurutnya, tercatat sepanjang tahun 2014 hingga saat ini, tren kekerasan di dalam institusi pendidikan semakin parah. Kasus-kasus seperti Drop Out massal dan skorsing sepihak, pemberedelan organisasi mahasiswa, serta kasus kekerasan fisik dan kriminalisasi mahasiswa-pemuda-pelajar seperti yang terjadi di Universitas Proklamasi 45 Yogya, Universitas Pekalongan dan daerah lainnya meningkat dengan signifikan.

“Beberapa pekan lalu terjadi kasus penganiayaan mahasiswa oleh oknum birokrasi kampus di Medan. Mahasiswa dan pelajar bukan lagi di posisikan sebagai manusia yang punya harkat dan martabat serta hak demokrasi, namun sebagai ancaman,” terangnya.

Oleh karena itu, Serikat Mahasiswa Indonesia dan jaringan gerakan rakyat secara nasional melakukan aksi serentak di Jakarta, Mataram, Yogyakarta, Medan, Maluku dan beberapa kota besar lainnya, menuntut tanggung jawa.

(M. Akbar Rosbian)

Tinggalkan Balasan