Anti China Terus Merebak Diberbagai Belahan Dunia

KabarDaerah.com– (ditulis oleh Sumanto Al Qurtuby) Kerusuhan anti Cina sering terjadi di Indonesia terutama di Jawa, kebencian terhadap warga China sudah dimulai sejak masa kolonial. sepertinya disebabkan oleh  ketidakadilan dalam penerapan hukum.

Tindak kekerasan terhadap China memiliki beragam latar belakang, tetapi pada dasarnya hal itu terjadi sebagai akibat kebijakan yang diberlakukan oleh penjajah dalam mengelola tanah jajahannya.

Seperti kerusuhan anti China di Tangerang periode 1913-1946 tidak terlepas dari kebijakan tersebut, disamping terjadinya perkembangan sosial, ekonomi, dan politik di Indonesia sendiri.

Arti penting dari kerusuhan anti Cina di Tangerang tidak hanya bahwa kerusuhan-kerusuhan itu sering terjadi di daerah itu, tetapi juga karena karakter masyarakat dan keberadaan Tangerang sendiri bagi pemerintah penjajah. Fenomena demikian belum banyak dikaji, apalagi terekam dalam sejarah yang bersifat nasional.

Studi yang dilakukan mencoba berusaha mencari jawaban atas masalah mengapa muncul peristiwa Tangerang, mengapa Tangerang menjadi daerah yang memunculkan konflik rasial dan bagaimana jalannya kerusuhan Tangerang?

Kerusuhan anti China dapat dikategorikan sebagai bentuk aksi kolektif. Aksi kolektif ialah tindakan bersama
secara spontan, relatif tidak terorganisasi dan hampir tidak dapat diduga sebelumnya.

Kerusuhan anti China yang terjadi di Tangerang memiliki pemicu yang berlainan sesuai dengan keadaan ketika kerusuhan itu muncul. Pada dasarnya faktor dendam pribadi pelaku turut mendorong aksi kekerasan rasial itu.

Yang jelas kondisi sosial masyarakat menciptakan keadaan yang kondusif untuk munculnya tindak kekerasan rasial tersebut.

Keberadaan Tangerang sebagai wilayah tanah partikelir berdampak pada timbulnya pengaruh dan kekuasaan
tuan tanah yang besar terhadap penduduk di wilayah tersebut.

Sebaliknya penduduk pribumi selalu dalam kondisi subsisten akibat kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi sebagai realisasi kebijakan pemerintah penjajahan.

Pergantian penguasa dari Belanda ke Jepang tidak membawa perubahan ekonomi yang berarti bagi masyarakat pribumi. Justru tekanan dan penderitaan semakin memperparah kehidupan masyarakat pribumi.

Di pihak lain orang-orang China tetap memegang kendali ekonomi dan berpenghidupan lebih baik, meskipun Jepang tidak sepenuhnya mempercayai kelompok ini. Keberhasilan orang-orang Cina menghindari eksploitasi Jepang menumbuhkan perasaan tidak suka dan kecurigaan pribumi bahwa kelompok etnis ini memihak penguasa penjajah.

Hubungan yang tidak harmonis antara etnis China dan pribumi sebagai akibat politik rasialis penjajah menumbuhkan prasangka-prasangka terhadap etnis China.

Perbedaan kultural etnis hCina pribumi yang disertai kurang intensnya interaksi diantara kedua etnis itu turut memperlebar jarak diantara keduanya.

Kedekatan etnis China dengan penjajah menumbuhkan pendapat bahwa mereka juga penjajah, Hal ini dikuatkan dengan kondisi sosial masyarakat yang terjadi selama itu yaitu bahwa etnis China memiliki kekuasaan dan Pengaruh yang besar khususnya dalam kehidupan ekonomi masyarakat pedesaan.

Perkembangan politik yang terjadi turut mempengaruhi hubungan tersebut. Kedekatan dengan penjajah,
kesejahteraan yang lebih baik dan sikap pasif etnis China atas perjuangan kaum pribumi menjadikan pihak
pribumi menganggap bahwa etnis China adalah bagian dari penjajah. Sehingga ketika terjadi kegoncangan
politik maka etnis China menjadi sasaran tindak kekerasan kolektif.

Komunitas China atau Tionghoa sudah mendarat di kepulauan yang kini bernama Indonesia sejak berabad-abad silam, jauh sebelum kedatangan para kolonialis Eropa maupun para pengelana dari kawasan Arab, khususnya Yaman. Banyak dari mereka yang kemudian kawin dengan penduduk setempat. Mereka juga ikut berkontribusi membentuk atau menciptakan tradisi dan kebudayaan lokal di Nusantara sehingga terbentuk semacam Sino-Indonesian culture.

Di Pulau Jawa khususnya, seperti pernah saya tulis dalam buku Arus China-Islam-Jawa (2003), juga terbentuk Sino-Javanese Muslim culture yang membentang dari Banten sampai Surabaya lantaran kontribusi masyarakat Muslim China dalam penyebaran Islam atau sebagai dampak dari perjumpaan dinamis dan saling memperkaya antara komunitas China dan masyarakat Jawa.

Dengan kata lain, komunitas China turut berperan sebagai “co-creator” aneka tradisi dan kebudayaan di Indonesia seperti makanan, minuman, pakaian, kesenian, obat-obatanan dan mekanisme pengobatan, sistem pelayaran, dsb.

Menariknya, atau ironisnya, meskipun komunitas China sudah lama “bersimbiosis” dan menjadi bagian integral dari kebudayaan Nusantara, tetapi kehadiran mereka belum sepenuhnya diterima oleh sebagian masyarakat di negeri ini.

Sentimen anti-China masih cukup kuat dimana-mana. Ada yang mengekspresikan sentimen itu dengan terbuka di publik (baik publik “dunia nyata” maupun “dunia maya” seperti medsos). Ada pula yang melampiaskannya secara diam-diam dan sembunyi-sembunyi, misalnya dengan menggunakan bahasa-bahasa simbol tertentu atau menggunjing mereka di “belakang panggung”. Kata “aseng” yang merupakan sebutan peyoratif-sarkastik untuk China yang kini sedang ramai adalah bagian dari “bahasa simbol” sekaligus ekspresi dari sentimen anti-Cina tadi.

Bukti belum punahnya sentimen anti-China ini adalah mudahnya masyarakat bawah untuk diprovokasi, digiring, dan disulut oleh sejumlah kelompok dan “oknum” yang memiliki kepentingan politik-ekonomi untuk melakukan tindakan pelecehan dan kekerasan terhadap warga China.

Kesenjangan sosial-ekonomi, persaingan politik, atau kompetisi dagang sering menjadi akar di balik kasus-kasus rasisme dan kekerasan anti-China seperti terjadi di Medan, Solo dan kota-kota lain. Meski begitu, perlu dicatat, bukan berarti dimana-mana selalu terjadi perseteruan antara penduduk lokal dan komunitas China.

Di Maluku, terlihat hubungan warga China dengan warga setempat terjalin cukup baik dan harmonis dalam bingkai simbiosis mutualisme. Demikian pula di Cirebon (Jawa Barat), Semarang (Jawa Tengah), dan sejumlah kota di Kalimantan Barat.

BUAH DISKRIMINASI

Meskipun hubungan China-warga lokal tidak selalu buruk, bukan berarti tidak ada konflik dan ketegangan. Jika konflik dan ketegangan ini tidak disikapi dengan bijak dan tidak dikelola dengan baik dan benar, maka berpotensi menjadi kekerasan komunal seperti terjadi di Medan dan lainnya.

Kita juga masih ingat tragedi Mei 1998 yang memilukan itu. Kala itu, banyak warga China dan propertinya yang menjadi korban: dijarah, dibakar, dibunuh, diperkosa. Akibat kerusuhan ini, banyak warga China yang kabur ke luar negeri atau daerah lain di Indonesia yang cukup aman.

Sepanjang tatanan sosial-politik dan hukum masih rapuh dan ekonomi masih lemah, maka ancaman terhadap warga China masih terus berlanjut di negeri ini. Sepanjang ideologi-ideologi keagamaan intoleran masih berkembang, praktik Anti China tidak akan pernah berhenti.

Sepanjang Pancasila yang menjunjung tinggi pluralitas dan kebangsaan itu belum dihayati dan diamalkan secara tulus oleh masyarakat, maka komunitas China akan tetap menjadi “target operasi” para elit yang korup, serakah dan arogan serta massa yang kalap, kerdil dan intoleran.

DIUTIP DARI KOMPAS.TV.COM

Kerusuhan Mei 1998 tentunya menjadi sejarah kelam dalam rangkaian peristiwa bersejarah di Indonesia.  Bermula dari ditembaknya 4 mahasiswa universitas Trisakti hingga mereka meninggal dunia, berakhir pada mundurnya Presiden Soeharto dari masa jabatannya yang sudah berjalan selama 32 tahun, dan era reformasi pun, dimulai.

Dilansir dari kompas.com, menurut laporan dari Tim Gabungan Pencari Fakta atau TGPF, ada sekitar 1.000 orang tewas saat kerusuhan terjadi. Massa memulai dengan melakukan penjarahan toko. Mayoritas toko yang menjadi penjarahan atau korban berada di Jakarta Kota dan Jakarta Barat, dengan pemilik toko berlatar belakang etnis Tionghoa.

Tidak hanya itu, tim TGPF juga menyebutkan bahwa terdapat 52 wanita menjadi korban pemerkosaan dan mayoritas mereka adalah etnis  Tionghoa.

Karena massa semakin liar hingga membakar kendaraan bermotor di jalan, aparat yang seharusnya mengamankan keadaan, justru menembaki massa. Mereka berasal dari berbagai penjuru hingga helikopter. Ribuan orang tewas dan hilang, hingga kini.

KEBANGKITAN MAHASISWA

Mai 1998 menandai perputaran sejarah Indonesia. Berawal dari ketidakpuasan rakyat atas kenaikan harga kebutuhan pokok, mahasiswa mulai bergerak memprotes pemerintahan. Saat itu presiden kedua Indonesia itu baru saja terpilih secara aklamasi oleh parlemen untuk ketujuh kalinya. MPR berdalih, kepemimpinan Suharto dibutuhkan di tengah krisis moneter yang melanda.

Penting untuk diingat bahwa tragedi Medan atau Jakarta bukanlah awal dari kekerasan anti-Cina di Indonesia. Sudah puluhan kali sentimen anti-China meletus dalam bentuk kekerasan di negeri ini. Misalnya, pada saat Perang Jawa (1825–1830), kemudian pada waktu kerusuhan di Solo pada awal abad ke-20, yang kemudian terulang kembali pada 1998.

Pada 1916. Kerusuhan anti-Cina juga meledak di Kudus seperti ditulis Tan Boen Kim dalam buku klasiknya, Peroesoehan di Koedoes (1918).

Setelah bangsa ini sampai dipintu gerbang kemerdekaannya, tepatnya pada masa Orde Lama (Orla), juga terjadi lagi kekerasan terhadap warga China, yaitu pada tahun 1946–1948  dan 1963. Pada masa Orba, warga Cina mengalami puncak penderitaan.

Sejak mereka dituding berada di balik layar PKI (Partai Komunis Indonesia), kampanye dan pengganyangan anti-China terus diterjadi.

Hingga kini, sejumlah kelompok masih mengaitkan antara China dan komunisme, meskipun banyak di antara mereka yang anti-komunis.

Kampanye anti-China ini tidak hanya dalam pengertian fisik saja tetapi juga dalam bentuk pemusnahan segala hal yang berbau China termasuk kebudayaan dan tradisi agamanya. Ini adalah bagian dari ironi dan sejarah gelap bangsa Indonesia.

Menurut Victor Purcell yang membagi masuknya imigran Tionghoa ke Nusantara, dalam tiga tahap. Tahap pertama, terjadi pada masa kerajaan. Dimasa itu terjadi hubungan dagang antara daratan Cina dengan kerajaan-kerajaan yang ada di Nusantara terutama daerah Sumatera.

Hal itu mendorong adanya relasi perdagangan yang sangat erat dan cukup baik antara pedagang China dan pedagang yang ada di Nusantara.

Tahap kedua yaitu pada masa kedatangan Eropa sekitar abad ke-16, yang didorong oleh ramainya perdagangan di selat malaka dan wilayah Nusantara.

Pada tahap kedua ini imigran Tionghoa yang datang ke Nusantara umumnya hanya lakilaki saja, sehingga banyak diantara mereka menikah dengan wanita setempat atau pribumi, sedangakan pada tahap ketiga terjadi pada masa penjajahan kolonial Belanda.

Dalam sistem kelautan, Pantai Sumatera merupakan satuan wilayah peraiaran yang meliputi Laut Cina Selatan dan Selat Malaka, khususnya yang dibatasi oleh pantai timur Sumatera. Awalnya hubungan perdagangan yag terjadi antara Tionghoa dengan Sumatera Barat berjalan melalui aliran sungai yang dimiliki oleh daerah
Sumatera Barat yang berhulu dari pedalaman Sumatera Barat dan bermuara di pantai timur Sumatera.

Mulai abad ke-13 dibukalah pelabuhan dibagian barat Sumatera yaitu daerah Pariaman. Pelabuhan Pariaman ini dikenal dengan pusat perdagangan emas dan lada, banyak dari pedagang dari Gujarat, Cina dan pedagang-padagang dari daerah Nusantara lainnya datang untuk berdagang ke daerah Pariaman.

Menurut sumber, kehadiran keturunan Tionghoa di pelabuhan Pariaman terjadi pada abad ke16 juga dikatakan bahwa mereka mulai bermukim sejak penghujung tahun 1660.

Pemukiman pertama itu merupakan bagian dari saudagar Tionghoa yang berasal dari Banten, mereka datang ke Pariaman mencari lada dan bekerja sebagai agen Pialang Tionghoa di Banten.

Komunitas Tionghoa di Pariaman Secara historis, aktivitas ekonomi orang Tionghoa dalam bidang perdagangan dipantai Pariaman sudah cukup lama.

Hal ini merupakan kontinuitas dari peranan mereka sejak berberapa abad tahun yang lalu ketika orang Tionghoa melakukan perdagangan Internasional dengan Raja-raja di wilayah Nusantara.

Jumlah orang Tionghoa yang datang ke Pariaman semakin meningkat, ketika jalur perdagangan lada dibuka di pantai Barat Sumatera yang dilakukan melalui jalur sungai dan jalan setapak dari daerah pedalaman di Sumatera Barat ke Pariaman, Tiku, Ulakan, Koto Tangah. Pekerjaan utama etnis Tionghoa di Pariaman adalah sebagai pedagang dan pialang pantai.

Pialang Tionghoa berkembang dengan pesat setelah mereka menjadi agen bagi perusahaan dagang Belanda, mereka bertujuan untuk memperluas jaringan perdagangan Belanda terutama dalam perdagangan pantai dan penjual eceran.

Di Sumatera Barat khususnya Pariaman, etnis Tionghoa mulai berkembang sejak 1660 dimana Belanda menjadikan Padang sebagai pusat kedudukannya dan menjadikan Pariaman sebagai tempat untuk mengumpulkan dan penimbunan komoditi ekspor yang dibawa dari daerah pedalaman. Daerah-daerah pedalaman seperti Padang Panjang, Bukittinggi merupakan daerah pemasok hasil pertanian.

Hasil bumi itu dikumpulkan di Pariaman untuk kemudian dibawa melalui pelayaran pantai ke Padang dan pulau Jawa dan daerah lainnya. Pelayaran pantai ini pada masa itu sepenuhnya dikelola oleh Etnis Tionghoa yang bermitra dengan Belanda.

Dalam ha1 ini orang-orang Tinghoa berfungsi sebagai penghubung antara pedagang Eropa dan Timur asing dengan pedagang Minangkabau.

HUBUNNGAN ETNIS MINANG DENGAN ETNIS CHINA
Bagi etnis China, Pariaman dan daerah lainnya pada masa itu merupakan “lumbung emas” untuk mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda, Hal itu disebabkan kemampuan etnis ini dalam berbisnis dan juga akibat dari kedekatan mereka dengan pihak Belanda.

Adapun berbagai fasilitas yang diberikan Belanda pada etnis Tionghoa antara lain sebagai pemungut pajak dan kedudukan khusus sebagai kelompok timur asing di atas pribumi.

Selain kedekatan Tionghoa dengan Belanda, etnis ini juga memiliki kedekatan dengan Pribumi, dapat dilihat dari bagaimana perlakuan etnis Tionghoa terhadap situasi sosial masyarakat Pariaman, mereka sering ikut berpartisipasi dalam kegiatan sosial seperti melayat jika ada petinggi agama yang sudah meninggal.

Kondisi seperti ini menyebkan timbulnya rasa percaya dari masyarakat Pariaman terhadap etnis Tionghoa yang menyebabkan lancarnya tugas etnis Tionghoa sebagai pialang di Pariaman.

Semua itu dikarenakan orang Minang terutama orang Pariaman sangat toleran terhadap para pendatang.

Hubungan antara pribumi dengan etnis Tionghoa awalnya sangatlah baik, banyak dari Etnis ini membantu perekonomian pribumi dengan cara membuka lowongan pekerjaan.

Masyarakat setempat sangat terbantu dengan lapangan pekerjaan yang disediakan oleh orang Tionghoa, masyarakat yang bekerja dengan etnis Tionghoa diberikan upah cukup yang mampu membuat mereka memenuhi kebutuhan kesehariannya.

INSIDEN KANSO
Peristiwa yang dikenal dengan istilah Insiden kanso merupakan peistiwa pembunuhan yang dilakukan menggunakan alat yang diberi nama kanso, kanso sendiri berbetuk seperti seng yang ada di tutup kaleng susu atau kue.

Insiden kanso sendiri memakan korban sebanyak lima orang, yang dikenal dengan Si Gohan Bersaudara yang terdiri dari tiga laki-laki dan dua perempuan.

Pembunuhan ini terjadi karena adanya penghianatan yang dilakukan oleh etnis Tionghoa, dimana orang Tionghoa ini memberikan seluruh informasi yang mereka ketahui mengenai pergerakan pejuang pribumi kepada Jepang.

Selain memberikan informasi kepada Jepang para pemuda juga melihat etnis Tionghoa yang telah dicurigai tersebut mendatangi kantor tentara Jepang dengan membawa anak gadis mereka sebagai alat pemuas hasrat biologis tentara Jepang.

Hal tersebutlah yang membuktikan adanya penghianatan yang dilakukan etnis Tionghoa kepada pemuda pejuang Pariaman dan membuat insiden kanso ini terjadi.

Dampak Insiden Kanso Terhadap Komunitas China di Pariaman

Tindakan kekerasan dan kekejaman yang dirasakan oleh orang Tionghoa sangatlah tragis. Perilaku etnis Tionghoa yang banyak membuat orang Pariaman marah, dimulai dari etnis Tionghoa yang melanggar norma dan asusila beserta mereka yang membocorkan segala pergerakan yang akan dilakukan pejuang Pariaman dan menyebabkan banyak dari orang Pariaman membenci etnis Tionghoa.

Tionghoa yang mulai tidak nyaman akan suasana dan keadaan yang terjadi memilih untuk meninggalkan Pariaman secapat mungkin dan pindah kedaerah-daerah seperti Padang, Bukittinggi, Payakumbuh dan daerah lainnya.

Perasaan takut, trauma, dan rasa terisolasi dari lingkungan membuat etnis Tionghoa mulai tidak betah berada di daerah Pariaman. Etnis Tionghoa sendiri mulai merasa harus pergi dari Pariaman dan tidak ingin lagi untuk datang kembali ke Pariaman. Dikarenakan Pariaman hanyalah wilayah yang memiliki kenangan luka yang mendalam dan rasa takut yang datang terasa begitu kuat bagi etnis Tionghoa sendiri.

Selain itu kepergian Tionghoa dari Pariaman juga menyebabkan kehancuran tersendiri bagi Pariaman dimana Perekonomian daerah menjadi menurun.

Dikarenakan kebanyak kegiatan perekonomian dilakukan oleh Tionghoa. Apalagi kemampuan perekonomian Pribumi berbeda dengan Tionghoa.

Pariaman yang menjadi basis perdagangan kini hanya menjadi daerah administratif, Pariaman yang dulunya merupakan surga yang memberikan kenyamanan bagi etnis Tionghoa kini hanyalah tempat yang membuat luka dan trauma bagi etnis Tionghoa.

Faktor lain yang menyebabkan Tionghoa pergi salah satunya adalah daerah Pariaman tidak lagi daerah utama berlabuhnya kapal-kapal dagang, dan saat ini pun Pariaman lebih menjadi daerah administratif.

Rusaknya hubungan antara etnis Tionghoa dengan orang Pariaman bertambah buruk sejak Pariaman diuasai oleh Jepang tanggal 17 Maret 1942..

Etnis Tionghoa yang mulai memihak kepada Jepang dan mulai memusuhi orang Pariaman, beserta kelakukan dari etnis ini yang melanggar norma dan adat istiadat yang berlaku di Pariaman, membuat banyak orang Pariaman marah ke pada etnis Tionghoa.

Kemarahan ini semakin memuncak dengan kelakuan etnis ini yang tidak segan-segan melakukan maksiat di dekat tempat-tempat ibadah. Sehingga membuat orang Pariaman mulai melakukan tindak kekerasan bila melihat kejadian tersebut.

Puncaknya kemarahan yang mebuat orang Pariaman tidak segan-segan membunuh ialah ketika kedapatannya orang Tionghoa telah membocorkan segala aksi perlawan pejuang Pariaman melawan Jepang beserta dengan diketahuinya tempat persembunyain Pejuang Pariaman oleh Jepang.

Kejadian pembunuhan ini dikenal dengan Insiden Kanso dikarenakan pembunuhan tersebut dilakukan menggunakan alat Kanso atau seng.

KEKERASAN ANTI CHINA DI BATAVIA

Kekerasan anti-Cina terbesar terjadi pada tahun 1740 yang dikenal dengan Chineezenmoord (“Pembantaian orang-orang Cina”) di Batavia (kini Jakarta). Pada saat itu, lebih dari 10.000 nyawa orang Cina melayang.

Banyak sejarawan menduga otak dari genosida ini adalah VOC karena Cina dianggap sebagai pesaing strategis dalam bidang perekonomian. Cina waktu itu memang menguasai hampir semua sektor perdagangan. Para syahbandar (penguasa pelabuhan) banyak dikontrol dan dikuasai Cina.

Mereka juga banyak yang menduduki jabatan sebagai adipati dan elit kerajaan di Jawa. Jan Risconi telah menguraikan cukup baik peristiwa 1740 ini dalam disertasinya Sja’ir Kompeni Welanda Berperang dengan Tjina (1935).

Setelah peristiwa 1740 itu, VOC mengeluarkan sebuah keputusan yang disebut passenstelsel, yaitu keharusan bagi setiap warga Cina untuk mempunyai surat jalan khusus (semacam paspor) apabila hendak bepergian ke luar distrik tempat mereka tinggal.

Dengan adanya surat jalan ini, VOC dapat mengawasi aktivitas sosial warga Cina, mencegah percampuran budaya (untuk memelihara perbedaan ala rasisme), dan mencegah interaksi sosial-politik-ekonomi komunitas Cina dengan penduduk lain.

Selain passenstelsel, VOC juga mengeluarkan peraturan yang disebut wijkenstelsel. Peraturan ini melarang orang Cina untuk tinggal di tengah kota dan mengharuskan mereka untuk membangun suatu ghetto khusus sebagai tempat tinggal, yang kelak dikenal dengan nama “Pecinan”. Tujuan peraturan ini jelas untuk mengisolasi dan memutus kontak Cina dengan penduduk lain.

DIKUTIP DARI DW.COM

Berbagai macam peraturan diskriminatif, baik dalam bentuk Peraturan Pemerintah maupun Surat Keputusan Kabinet, dibuat agar jurang perbedaan antara Cina dan etnis lain tetap terpelihara dengan baik.

Setidaknya ada sekitar 21 peraturan perundang-undangan yang rasis-diskriminatif diterapkan oleh Orba terhadap etnis Cina.

Bahkan dulu dibuat satu badan intelijen khusus yang bertugas untuk mengawasi “masalah Cina” yang bernama Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC).

Anehnya, perlakuan diskriminatif ini tidak berlaku bagi “etnis asing” lain. Lebih ironis lagi, berbagai keputusan diskriminatif itu diambil bersamaan ketika rezim Orba memakai banyak pengusaha CHina dalam program pembangunan ekonominya. sepertinya sentimen Anti China dipelihara untuk mengontrol kepatuhan Cina terhadapnya.

Meskipun kini Orba sudah berakhir, tetapi bukan berarti warga CHina bisa hidup bebas dan dijamin hak-hak politik mereka sebagai warga negara. Memang ada yang menggembirakan di “era reformasi” ini. Beberapa peraturan diskriminatif seperti Inpres No. 14 tahun 1967 yang pada masa Orba dijadikan tameng pembersihan segala hal yang berbau CHina sudah dicabut pada masa pemerintahan Gus Dur, kemudian diganti dengan Keputusan Presiden No. 6/2000 yang lebih manusiawi. Setigma “pribumi” dan “non-pribumi” yang menyesatkan itu juga sudah dihapus seiring dengan terbitnya Inpres No. 26 Tahun 1998.

Dalam Inpres tersebut juga diinstruksikan agar semua pejabat pemerintah memberikan layanan yang sama kepada setiap warga negara serta menginstruksikan dilakukan peninjauan kembali dan penyelesaian seluruh produk hukum perundang-undangan, kebijakan, program dan kegiatan yang telah ditetapkan dan dilaksanakan. Kebijakan tersebut termasuk dalam bidang pemberian layanan dalam perizinan usaha, keuangan/perbankan, kependudukan, pendidikan, kesehatan dan kesempatan kerja lainnya. Selain itu, Presiden Habibie dulu juga mengeluarkan Inpres No. 4 tahun 1999 yang menghapuskan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) dan izin pelajaran bahasa Mandarin.

Walaupun di tingkat yuridis-formal, politik segregasi-diskriminatif semacam ini tidak lagi mendapat tempat, akan tetapi di tingkat praktis, kultur, dan mental masyarakat (termasuk kelompok elit), hal ini tidak sepenuhnya pupus. Di sana-sini kita masih menyaksikan sejumlah perlakuan diskriminatif terhadap warga Cina, baik dilakukan secara terbuka maupun terselubung, menyangkut hak-hak sipil dan hak-hak sosial budaya dan politik mereka. Inpres yang mencabut SBKRI juga diabaikan.

Sebaliknya, sebagian “oknum” pejabat masih memberlakukan UU Kewarganegaraan No. 62/1958 (Lembaran Negara No. 113 tahun 1958) yang sangat terbuka untuk menjadi ladang pemerasan terhadap warga Cina. Watak atau mentalitas seperti inilah yang perlu “diruwat” dan “direformasi” atau “direvolusi” guna menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.

DIKUTIP DARI TIRTO.ID

CHINA DIMATA DUNIA, Satu tahun pandemi berlalu, warga keturunan Asia di Amerika semakin waspada akan berbagai serangan yang ditujukan kepada mereka. Penembakan di Atlanta, Georgia pada Rabu (17/3) menjadi tragedi terbaru yang merenggut delapan korban jiwa enam di antaranya berdarah Asia.

Beberapa hari sebelumnya, di Oakland, California pria asal Hong Kong berusia 75 tahun meninggal dunia setelah diserang dan dibegal saat jalan-jalan pagi, sementara di kota San Francisco, imigran Thailand berusia 84 tahun didorong sampai tersungkur dan akhirnya menghembuskan napas terakhir pada Februari silam.

Wajah-wajah berkarakter Asia Timur dijadikan sasaran amukan warga yang berasumsi liar bahwa mereka pantas disalahkan atas penyebaran Covid-19.

Anak sekolah, jurnalis sampai dokter mengalami beragam bentuk persekusi: dilecehkan, dimaki-maki, dipukul, ditendang, diludahi.

Perlakuan rasis ini juga berdampak pada keberlangsungan bisnis kuliner sampai salon kuku di kawasan pecinan dan kompleks pasar Asia, yang harus bertahan dari pengucilan oleh klien, di samping menanggung kerugian ekonomi karena pemasukan merosot drastis. Sejak awal pandemi hingga sekarang, kelompok advokasi Stop AAPI (Asian American Pacific Islander) Hate (PDF) sudah menerima sekiranya 3.800 aduan insiden kebencian terhadap warga Amerika keturunan Asia.

Hampir 70 persennya adalah pelecehan verbal, sedangkan serangan fisik mencakup 11 persen. Pihak advokasi memperingatkan, statistik tersebut hanyalah sepotong kecil penindasan yang dialami warga Amerika keturunan Asia, tetapi sudah cukup membuktikan betapa rentannya keseharian etnis minoritas tersebut selama pandemi. Retorika Anti-Cina di Balik Perang Dagang Situasi pandemi yang mencekam dan penuh ketidakpastian.

Hal ini tidak bisa dipisahkan dari retorika politis oleh pucuk kepemimpinan AS kala itu, Donald Trump, yang gemar menyudutkan otoritas Cina atas penyebaran virus ke penjuru dunia. Sejak Maret 2020, Trump sudah mulai mempopulerkan Covid-19 sebagai “virus Cina”, istilah yang dianggapnya “sama sekali tak rasis” karena “asalnya memang dari Cina”. Di lain kesempatan, Trump mengejeknya dengan nama “kung flu”.

Sampai menjelang akhir jabatan, Trump masih menyerukan, “Ini salah Cina”. Politisi konservatif di sekeliling Trump, seperti Menlu Mike Pompeo dan sejumlah figur Republikan, ikut-ikutan bikin gerah suasana dengan pemakaian istilah “virus Wuhan”.

Padahal, sudah diperingatkan oleh Cecillia Wang dari American Civil Liberties Union, labelisasi demikian bisa berdampak pada aksi mengambinghitamkan yang berbahaya dan meluasnya kebebalan.

“Dengan menyebarkan berita ini, para pejabat telah mengobarkan rasisme serta tindakan pelecehan dan kekerasan secara terbuka terhadap masyarakat Amerika keturunan Chna,” tulis Wang.

Merujuk panduan WHO 2015 untuk penamaan penyakit menular baru, lokasi geografis merupakan kategori yang perlu dihindari agar tidak menyinggung etnis atau komunitas regional tertentu.

Russell Jeung, dosen Kajian Asia-Amerika di San Francisco State University dan salah satu pendiri Stop AAPI Hate, mengiyakan korelasi antara komentar-komentar Trump terkait virus Cina, ujaran kebencian di linimasa media sosial, dan kekerasan terhadap komunitas keturunan Asia. “Retorika ini memberikan izin pada orang-orang untuk menyerang kami. Serangan beruntun yang sekarang dilancarkan kepada para lansia adalah bagian dari dampak retorika tersebut di masyarakat luas,” ujar Jeung kepada majalah Time Februari kemarin.

Setelah insiden penembakan di Atlanta, sekretaris pers Jen Psaki di Gedung Putih menegaskan bahwa “retorika merusak yang dikumandangkan pemerintah sebelumnya ”seperti sebutan virus Wuhan dan lainnya.

Persepsi yang tidak akurat dan tidak adil pada warga Amerika keturunan China, sekaligus telah meningkatkan berbagai ancaman terhadap mereka.

Tudingan dari administrasi Trump terhadap otoritas Cina atas penyebaran Covid-19, berikut usaha mereka untuk mereproduksi mitos “virus Cina” dan istilah merendahkan lainnya, tidak muncul secara tiba-tiba.

Apabila dilihat dari konteks perang dagang AS-Cina, ekspresi-ekspresi rasis tersebut tak lain merupakan cerminan atau ekstensi dari langkah agresif Washington untuk menekan Cina dan memudarkan citranya di panggung dunia. Melansir pandangan profesor antropologi di University of British Columbia, Hugh Gusterson, labelisasi “virus Cina” dari Trump sejalan dengan kebijakannya memusuhi Cina selama ini. Kegusaran Trump terkait relasi dagang dengan Cina sudah terlacak sejak kampanye pilpres 2016.

Trump berkoar-koar betapa praktik dagang Cina merugikan pekerja Amerika. Dalam salah satu orasi, ia pernah mengecam kebijakan dagang Cina, “Tak bisa kita biarkan Cina memperkosa negara kita dan itulah yang sekarang mereka lakukan.

Ini adalah pencurian terbesar dalam sejarah dunia.” Dalam kampanye pilpres 2016, Trump berjanji akan memberlakukan tarif buat produk-produk Cina, agar defisit perdagangan AS-Cina bisa diperkecil.

Dilansir dari dokumen (PDF) rencana kerjasama dagang dengan Cina, terungkap bahwa strategi yang ditawarkan Trump cenderung konfrontatif dan bersifat menghukum: mulai dari menyatakan Cina sebagai tukang manipulasi mata uang sampai mengecam Cina atas pencurian hak intelektual dan praktik-praktik dagang tidak adil.

Perang dagang resmi dimulai pada Juli 2018, ketika Amerika memberlakukan tarif 25 persen pada produk Cina, yang dibalas dengan langkah serupa oleh Beijing. Sampai akhir 2019, Amerika sudah menetapkan tarif kepada produk-produk Cina dengan total nilai USD 360 miliar.

Di pihak Cina, tarif diterapkan pada komoditas Amerika yang nilainya mencapai USD 110 miliar. Meskipun kesepakatan dagang tahap pertama terwujud pada awal 2020, konflik ini masih berkecamuk sampai sekarang dan menyisakan masalah: Cina kesulitan membeli komoditas Amerika sesuai janjinya karena terkendala pandemi, sementara Amerika masih membebani tarif untuk produk Cina.

Belum lagi, perang dagang ini dinilai menimbulkan kerugian bagi ekonomi domestik, mengingat tarif sebenarnya dibebankan kepada pihak importir dari masing-masing negara. Dalam hubungan yang serba tidak mengenakkan.

Selama pandemi Covid-19 berlangsung sentimen anti-Cina digaungkan oleh administrasi Trump, yang kini berujung pada meningkatnya kejahatan kebencian terhadap etnis Cina di Amerika.

Pemerintah Cina Evakuasi lebih dari 3.000 warga negaranya dari Vietnam.

Kantor berita Xinhua mengatakan, Beijing telah menyewa pesawat komersial dan kapal laut untuk membantu membawa lebih banyak warganya.

Setidaknya dua warga Cina tewas dan 100 lainnya terluka selama serangkaian serangan terhadap pabrik-pabrik asing pekan lalu.

Aksi kekerasan ini diawali unjuk rasa warga Vietnam memprotes pembangunan anjungan pengeboran minyak oleh Cina di wilayah perairan yang diperebutkan.

Pada Sabtu (17/05), pemerintah Vietnam melalui Perdana Menteri Tan Dung telah menyerukan agar protes itu diakhiri.

Para pejabat mengatakan “tindakan melawan hukum itu” harus dihentikan karena dapat merusak stabilitas nasional.

Tetapi, kelompok pembangkang tetatp mengancam akan menggelar aksi demonstrasi di kota-kota besar pada Minggu (18/05).

Dalam beberapa hari terakhir, aksi anti-Cina itu telah berubah menjadi aksi pembakaran setidaknya 15 pabrik milik negara asing -termasuk Cina, Taiwan dan Korea Selatan- di beberapa kawasan industri Vietnam.

Sentimen anti-Cina Di Vietnam

Para wartawan mengatakan, aksi anti-Cina tampaknya membuat otoritas Vietnam sangat khawatir, karena negara itu sangat bergantung investasi asing untuk pertumbuhan ekonominya.

Namun, Cina telah mendesak pemerintah Vietnam untuk mengambil tindakan lebih keras untuk menghukum para perusuh.

Protes dipicu oleh keputusan Cina untuk memindahkan anjungan pengeboran minyak di Haiyang Shiyou ke kawasan perairan yang dipersengketakan oleh kedua negara di Laut Cina Selatan.

Aksi kerusuhan diawali unjuk rasa menolak pengeboran minyak oleh Cina di perairan yang menjadi sengketa.

SUMBER GAMBAR,REUTERS

Keterangan gambar,
Aksi kerusuhan diawali unjuk rasa menolak pengeboran minyak oleh Cina di perairan yang menjadi sengketa.

Hal ini setidaknya telah menyebabkan konfrontasi langsung antara kapal-kapal Vietnam dan Cina awal bulan ini.

Cina menegaskan akan melanjutkan pengeboran minyak di wilayah perairan itu, walaupun Vietnam dan Taiwan mengklaim itu adalah wilayahnya.

Sentimen anti-Cina saat ini sangat tinggi di masyarakat Vietnam terkait soal sengketa perbatasan laut tersebut, kata para wartawan. (IDR)