Menakar Ketercapaian Target RUU Prolegnas Prioritas Tahun 2023

POLITIK202 Dilihat

JAKARTA,KABARDAERAH.COM-KWP (Koordinatoriat Wartawan Parlemen) bekerjasama dengan Biro Pemberitaan DPR RI menggelar diskusi Forum Legislasi bertema dengan tema “Menakar Ketercapaian Target RUU Prolegnas Prioritas Tahun 2023” di Media Center Senayan, Jakarta pada Selasa (7/2/2023).

Adapun, dalam diskusi Forum Legislasi ini membahas berbagai persoalan yang dikerjakan oleh Anggota Dewan di Gedung Rakyat Senayan yang menghadirkan dua pembicara yakni Pimpinan Baleg DPR RI Firman Soebagyo dan Peneliti Formappi (Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia) Lucius Karus.

Menurut , Firman yang juga legislator Fraksi Golkar mengungkapkan, adalah hal mendasar bahwa baik buruknya tata kelola negara tak lepas dari kualitas Undang-Undang. Karenanya, kata Firman, Baleg saat ini lebih mengedepankan kualitas Undang-Undang yang dihasilkan ketimbang kuantitas atau jumlah Undang-Undang yang dihasilkan.

Mengedepankan kualitas dari kuantitas juga refleksi dari banyaknya Undang-Undang yang digugat ke MK (Mahkamah Konstitusi). Kata Firman, “Ini yang tentunya menjadi dorongan, menjadi salah satu motivasi kami, kenapa kami tidak sepakat bahwa untuk pembahasan Undang-Undang itu jangan ditargetkan bobot prosentasenya atau jumlahnya, tapi justru kualitas undang-undang itu sendiri.”

Tak hanya itu, kualitas Baleg juga memperhatikan efektivitas waktu dalam pembuatan Undang-Undang. Berdasarkan pengalaman, ada Undang-Undang yang pembahasannya sangat menyita waktu yakni hingga lebih dari 3 kali masa sidang. Kendalanya, adalah persinggungan kepentingan politik fraksi-fraksi yang ada di Senayan.

“Oleh karena itu kami menegaskan bahwa ketika Undang-Undang sudah dibahas dengan pemerintah maka harus siap bahwa sikap DPR itu satu, bukan ada lagi sikap fraksi. Sikapnya adalah sikap DPR dengan sikap pemerintah. Nah, ini yang masih tidak dipahami oleh para anggota dewan terutama yang baru-baru,” kata Firman.

Terkait kepentingan tidak berhenti di banyaknya fraksi politik di Senayan, tapi juga masih ditambah dengan kepentingan DPD RI yang mewakili kedaerahan. Sehingga, kata Firman, penting bagi setiap anggota dewan untuk menyadari bahwa Undang-Undang bukan dibuat untuk sebatas kepentingan Dapil dan fraksi melainkan untuk kepentingan nasional.

Dijelaskan, bahwa legislasi nasional juga berkaitan dengan sistem politik yang berlaku. Agar tujuan dibuatnya Undang-Undang itu tercapai, target produk Undang-Undang lebih proporsional, Bappenas sebagai perencana pembangunan nasional bisa menjadi titik awal penetapan target kuantitas dan substansi produk UU yang dibutuhkan.

“Kalau presidennya A, visi-misinya ini, Undang-Undang yang dibutuhkan apa untuk 5 tahun ini, nah itulah yang jadi prioritas sehingga nanti ukurannya jelas,” ujarnya.

Selain itu, kualitas dan kuantitas produk legislasi nasional juga terkait dengan kapabilitas anggota dewan di Senayan. Hal ini, termasuk dengan peran para tenaga ahli. Idealnya, staf ahli harus bisa memastikan kinerja anggota dewan menjadi lebih optimal, sehingga seorang tenaga ahli haruslah orang yang betul-betul ahli.

“Ini kritik juga kepada DPR, mudah-mudahan didengar oleh para pemimpin. Terutama Tenaga Ahli AKD itu track record-nya harus jelas. Saya agak menyesalkan, dulu ada tenaga ahli yang boleh diisi oleh pegawai negeri dimana dosen-dosen itu boleh mengabdi sebagai tenaga ahli, itu lebih bagus dibandingkan sekarang yang lebih like and dislike,” bebernya.

Sementara itu, Lucius Karus mengatakan, pada Prolegnas (Program Legislasi Nasional) tahun 2023 ini, setidaknya ada 32 RUU (Rancangan Undang-Undang) yang diprioritaskan untuk dibahas.

“PR (Pekerjaan Rumah) pembahasan 32 Undang-Undang adalah hal realistis.hampir pasti para dewan akan disibukkan oleh urusan politik karena pencalonan legislatif itu akan sudah mulai heboh di bulan Mei 2023. Tapi setidaknya. Kalau di bulan Februari saja sudah 10 RUU dalam tahap pembahasan maka 10 RUU ini maksimal mungkin sampai bulan Juni-Juli itu bisa disahkan, minimal separuh dari 10 RUU itu,”kata dia.

Disinggung soal partisipasi publik, dijelaskan, bahwa putusan MK terkait UU Ciptaker menjadi potret dari minimnya partisipasi publik, meskipun DPR dan pemerintah meyakini bahwa publik sudah cukup dilibatkan.

Firman menjelaskan, bahwa dirinya menjadi saksi fakta di MK yang menunjukkan bukti bahwa publik sudah cukup dilibatkan. Tapi kata Firman, “Pada waktu (MK, red) mengambil keputusan, saksi fakta diabaikan. Ini kan ada kepentingan, Ada apa?”

Jadi bagaimana sebenarnya yang dimaksud dengan partisipasi publik? Sepertiga dari penduduk, separuh atau 3/4 penduduk Indonesia. Hal ini belakangan menjadi diskusi antara dewan dengan Menkopolhukam RI untuk mendapat rumusan baru yang jelas.

“Ke depan, harapan kami, MK tidak boleh menggunakan dalil itu lagi,” ujarnya.
Terkait hal ini, Formappi berpandangan bahwa situs resmi bisa menjadi solusi. Upaya ini telah nampak di situs DPR, namun dinilai belum cukup konsisten.

“Dunia semakin modern, kok DPR enggak bisa ikut modern gitu loh!” ujar Lucius.
“Jangan cuma puas dengan menghadirkan video live streaming karena kuota internet publik juga terbatas,” imbuhnya.

** Domi Lewuk.