Imajinasi dan Berpikir dalam Teori Bendi

OPINI & ARTIKEL128 Dilihat

Beberapa bulan yang lalu mahasiswa saya yang mengambil mata kuliah Creative Writing membahas sebuah novel dari Eoin Colfer yang berjudul Artemis Fowl : The Eternity Code. Novel ini sangat imajinatif. Ia mengajak pembaca bertualang ke dunia khayal yang tak jelas batas-batasnya.

Saya sampaikan, mahasiswa mustinya dapat menikmati novel imajinatif seperti ini. Mengapa?

Imajinasi itu trigger untuk berpikir. Saya menawarkan sebuah teori yang saya namakan TEORI BENDI.

Imajinasi itu ibarat kuda. Roda bendi ibarat pikiran. Kalau kuda berlari, roda akan berputar kencang. Artinya, pikiran pun akan berputar kencang mengikuti kecepatan kuda.

Imajinasi mempunyai energi yang mampu merangsang orang berpikir. Mereka yang tidak mampu berpikir umumnya orang yang tidak mempunyai imajinasi.

Banyak di dunia ini orang yang sukses dalam profesinya karena kemampuan berimajinasi yang hebat. Saya punya catatan tentang pengusaha-pengusaha lokal yang sukses yang ternyata sangat suka berimajinasi.

Di negara-negara Barat (Eropa dan AS) termasuk Jepang imajinasi itu dipelihara dalam berbagai cara. Mereka membaca novel, menonton film, opera, tari, musik dll. Jadi jangan heran kalau di negara-negara Barat angka penjualan novel dan tiket bioskop sangat tinggi. Ketika novel Harry Potter diluncurkan antrian calon pembeli sangat panjang.

Saya sangat mengapresiasi karya-karya fiksi sekalipun dianggap sepele di dunia akademis. Fiksi, seperti novel dan cerita pendek, sangat penting bagi kemajuan bangsa. Sayangnya tidak banyak orang yang melihat hubungan novel dengan kemajuan iptek dan teknologi.

Masyarakat Barat yang sudah sedemikian maju iptek-nya hingga kini tetap menjadi konsumen novel yang sangat besar. Beberapa situs internet menjelaskan enam novel serial karya JK Rowlings – Harry Potter – yang terbit antara 1998 – 2007 terjual masing-masing antara 50 sampai 100 juta copy. Nilai jualnya lebih USD 400 juta.

Novel Dan Brown, The Davinci Code, menghasilkan USD 80 juta. Novel Dan Brown ini termasuk novel yang terjual antara 50 – 100 juta copy.

Novel-novel best seller yang terbit antara 1980 – 1988 seperti Il Nome della Rosa (The Name of the Rose) karya Umberto Eco, You Can Heal Your Life karya Louise Hay dan The Alchemist karya Paulo Coelho masing-masing menghasilkan uang USD 50 juta.

Data ini menunjukan bahwa orang di Barat tidak hanya hidup dengan logika tapi juga dengan imajinasi. Tanpa imajinasi tentu akan sulit berinovasi.

Saking gemarnya mereka membaca novel jutaan copy novel-novel bermutu terjual setiap tahun. Kalau kita naik kereta api di Eropa kita akan melihat orang-orang menghabiskan waktu perjalanan mereka dengan membaca novel.

Saya ingat pelajaran waktu SD, kapal selam dibuat orang berdasarkan novel Journey to the Center of the Earth karya pengarang Perancis Jules Verne. Fiksi-fiksi ilmiah tentang perjalanan ke luar angkasa seperti karya John Scalzi (The Collapsing Empire), C.A. Higgins (Radiate), dan Kameron Hurley (The Stars Are Legion) menyebabkan khayalan manusia tentang ruang angkasa tidak pernah selesai.

Fiksi mendorong orang untuk merasakan sesuatu yang berbeda. ‘Kuda’ imajinasi memacu semangat mereka meneliti, mempelajari sains dan teknologi.

Sebaliknya, fiksi yang semula jauh dari sains, sekarang sudah memasuki era baru. Banyak novel yang dibuat berbasis riset berbagai disiplin ilmu.

Mengapa sains dan teknologi kita begitu-begitu saja, perkiraan saya karena ilmuwan kita masih jauh dari karya-karya fiksi. Membicarakan fiksi dengan kawan-kawan saintis biasanya dapat respon minor. Mungkin mereka meneliti tanpa ilusi, tanpa imajinasi dan angan-angan untuk menemukan sesuatu yang mencengangkan.

( Penulis adalah akademisi dan pakar komunikasi Indonesia)