Komunikasi Ada Dalam Kuasa Kegagalan, Konflik dan Krisis

OPINI & ARTIKEL42 Dilihat

Oleh: Prof Emeraldy Chatra

Beberapa kali saya menolak topik penelitian skripsi dan tesis yang diajukan kepada saya karena saya anggap tidak cocok dengan ilmu komunikasi. Biasanya saya menolak membimbing kalau penelitian itu akan menggunakan teori semiotika atau analisis wacana karena dalam pandangan saya topik-topik seperti itu lebih pas untuk mahasiswa linguistik daripada mahasiswa ilmu komunikasi. Tiap kali saya menolak saya melihat raut wajah kebingungan dari mahasiswa yang usulannya saya pinggirkan.

Tidak sedikit mahasiswa ilmu komunikasi, baik S1 maupun S2 yang kebingungan mencari topik penelitian. Mungkin juga karena tidak benar-benar memahami ilmu komunikasi mereka lalu melangkah ke kajian-kajian yang sebenarnya tidak berada di main area ilmu komunikasi. Sementara yang saya inginkan adalah kajian-kajian yang berada di _main area_ .

Mana yang kajian main area ? Untuk menjawab pertanyaan ini seorang mahasiswa musti mengenali sejarah lahir dan perkembangan ilmu komunikasi sejak tahun 1920an sampai sekarang. Dari sejarah itu mereka akan paham bagaimana kedudukan teori-teori yang berasal dari linguistik dan marketing yang belakangan cenderung ‘mengotori’ ilmu komunikasi.

Dalam tulisan saya sebelumnya sudah saya jelaskan bahwa ilmu komunikasi dibangun oleh empat unsur: sosiologi, psikologi, ilmu politik dan praksis media. Ahli dari keempat ilmu inilah yang menegakkan fondasi ilmu komunikasi. Mereka adalah Paul F. Lazarsfeld (sosiologi), Charles Horton Cooley dan John Dewey (psikologi), Harold Lasswell dan Wilbur Schramm (ilmu politik) dan Walter Lippmann (praktisi media).

Bagaimana dengan ahli-ahli bahasa dan marketing? Mereka tidak termasuk pendiri ilmu komunikasi dan baru mengintegrasikan ilmu mereka sekitar tahun 1980an. Linguis yang mengalami metamorfosis menjadi ahli komunikasi membawa kajian semiotika yang usianya justru lebih tua setengah abad dari ilmu komunikasi. Marketer masuk melalui kajian iklan dan public relations , kemudian melahirkan konsep PR-Marketing dan teori branding .

Sangat disayangkan, ilmu-ilmu yang masuk belakangan ke dalam ilmu komunikasi mendapat apresiasi tanpa sikap kritis dari ilmuwan komunikasi. Akibatnya, terjadi pembiasan yang menguatirkan terhadap konsep dasar ilmu komunikasi.

Tidak sedikit penelitian ilmu komunikasi yang menggunakan analisis semiotika, analisis wacana atau marketing. Tidak salah bila kemudian orang menyangka ilmu komunikasi itu bagian dari linguistik atau marketing. Linguis sendiri mulai berani mengatakan ilmu komunikasi adalah bagian dari applied linguistic.

Pembiasan arah ilmu komunikasi oleh linguistik dan marketing menyebabkan domain dasar dari ilmu komunikasi tidak banyak lagi mendapat perhatian. Apakah perkembangan seperti ini yang kita harapkan? Saya tidak mungkin sependapat bila memang demikian.

Sebab, bila diterima ia akan menyebabkan ilmu komunikasi yang sudah susah payah dibangun akan luber menjadi sekedar kajian, bukan sebuah disiplin ilmu yang independen, dari linguistik dan marketing.

Domain utama dari ilmu komunikasi yang dibangun oleh para founding father ilmu komunikasi adalah kuasa ( power ), konflik, krisis dan kegagalan. Oleh sebab itu yang menjadi objek kajiannya adalah propaganda (Leonard Doob, Daniel Lerner, Ernst Kris, Harold Lasswell, dll.), kampanye dan persuasi (Joseph T. Klapper, Carl I Hovland, , dll.), efek media (Hadley Cantril, Robert K. Merton, dll.), dan opini publik (Bernard Berelson, Arthur L. Lumdaine, dll.). Dalam kajian-kajian tersebut telah tercakup kajian komunikasi massa, komunikasi kelompok dan komunikasi antar pribadi.

Dengan demikian kuasa (lebih tepatnya aplikasi komunikasi untuk kekuasaan), konflik, krisis dan kegagalan adalah bentangan ‘rawa-rawa’ yang paling tepat untuk mendapatkan masalah penelitian ilmu komunikasi. Di sana bersarang ribuan masalah komunikasi yang tidak akan habis-habisnya untuk dieksplorasi.

Penyalahgunaan kekuasaan atau keruntuhan seseorang dari panggung kekuasaan, misalnya, tidak dapat dilepaskan dari aktivitas komunikasi. Demikian juga kegagalan pemerintah membangun sektor pariwisata, pendidikan akhlak, pembangunan sumber daya manusia, atau kegagalan kontraktor menuntaskan proyek pada waktunya, serta aneka konflik yang terjadi di tengah masyarakat. Oleh sebab itu kasus-kasus demikian seharusnya jadi prioritas bagi peneliti komunikasi, sehingga hasil kajian mereka dapat berguna untuk langkah-langkah perbaikan.

Jadi bukan hanya mengelus-elus simbol seperti dalam kajian semiotika yang kegunaannya sangat terbatas. Kajian komunikasi sangat luas, karena itu pembatasan ruang kajian berdasarkan objek seperti simbol, logo, jargon, atau brand cenderung merugikan. Bukan tidak boleh dilakukan, tapi sebaiknya tidak menjadi pilihan utama karena bukan berada di main areakajian ilmu komunikasi. **

( Penulis Adalah Akademisi Universitas Andalas)