Bahasa dan Instrumen Imperialisme

OPINI & ARTIKEL72 Dilihat

Oleh: Prof Emeraldy Chatra

Komunikasi terkait sangat erat dengan upaya membangun dominasi dan relasi kuasa (power relations) yang timpang antara bangsa-bangsa cerdas di dunia Barat dan Utara dengan bangsa yang baru belajar cerdas di belahan Selatan dan Timur. Bahasa adalah perangkat utama komunikasi, sehingga penggunaan bahasa untuk membangun dominasi bukan gejala yang baru muncul dalam peradaban manusia. Bagi kajian kritis perhatian terhadap bahasa sudah menjadi sebuah tradisi (lihat Tsuda, 1986:11).

Sejak mengenal bahasa manusia telah menggunakannya untuk mengatur orang lain, memerintah, mengintimidasi, menghina, membujuk, menipu, dan sebagainya. Berdasarkan kesamaan bahasa manusia mudah saling berbagi ide, kemudian membentuk komunitas-komunitas baru, menjalin bekerjasama dan merencanakan kegiatan-kegiatan yang berguna bagi mereka. Demikian besar peran bahasa dalam aktivitas komunikasi, sehingga bahasa dapat dianggap sebagai pembentuk dunia.

Ketika orang-orang Inggris datang ke berbagai kawasan di dunia yang tidak berbahasa Inggris seperti India, Hawaii, Malaysia dan negara-negara di Afrika mereka memaksa penduduk setempat melalui sekolah untuk mengerti dan pandai berbahasa Inggris. Di India, walaupun pemerintah kolonial Inggris mengakui bahasa Urdu sebagai bahasa resmi, tahun 1830an hanya bahasa Inggris yang digunakan di sekolah tingkat atas, dan tahun 1850an juga menjadi bahasa pengantar di sekolah rakyat (Mir, 2010: 53).

‘Beruntunglah’ sekarang penduduk di negara-negara tersebut banyak yang menguasai bahasa Inggris sehingga mampu berkomunikasi dengan bahasa Inggris yang menjadi salah satu bahasa internasional dan mampu pula membaca banyak literatur berbahasa Inggris.

Dengan kemampuan berbahasa Inggris tersebut mereka lebih mudah pula terintegrasi ke lembaga pendidikan tinggi di semua negara berbahasa Inggris. Banyak di antara mereka mampu melahirkan publikasi akademik berbentuk buku atau artikel di jurnal-jurnal internasional bergengsi.

Tapi sebenarnya tujuan awal pemaksaan itu tidak dialamatkan untuk keuntungan warga negara jajahan, melainkan untuk kepentingan bangsa Inggris sendiri. Dalam teori imperialisme dinyatakan bahwa bahasa kaum penjajah, dalam banyak kasus, merupakan alat kekuasaan yang digunakan untuk memediasi berbagai ideologi dan menundukan bangsa jajahan (Nana, 2016: 168).

Dengan adanya bahasa yang sama komunikasi menjadi lebih gampang, dan proses transformasi budaya yang menguntungkan Inggris juga mendapatkan kemudahan. Bahasa Inggris menjadi perangkat birokrasi kolonial yang akhirnya memperkuat dominasi bangsa Inggris atas bangsa jajahan. Secara perlahan namun pasti bahasa Inggris yang digunakan sehari-hari mampu merubah cara pandang bangsa jajahan dan menyesuaikannya dengan cara pandang kaum penjajah.

Bangsa Belanda tidak terlalu memaksakan penggunaan bahasanya kepada bangsa Hindia Belanda. Berbeda dengan bangsa Inggris, orang Belanda justru tertarik untuk mempelajari bahasa-bahasa Hindia Belanda (Berkel, 2013: 103). Sementara di Hindia Belanda mereka menjadikan bahasanya sebagai bahasa kaum elite: bahasa penguasa kolonial dan orang-orang pribumi yang mereka peralat untuk kepentingan mereka.

Oleh sebab itu bahasa Belanda hanya diajarkan di sekolah menengah yang tidak mudah dimasuki pribumi, kecuali kalau ayahnya kaya atau pegawai kolonial tingkat tinggi (lihat catatan). Alih-alih memaksa bangsa Indonesia belajar bahasa Belanda, justru orang Belandalah yang diwajibkan belajar bahasa pribumi, terutama kepada pegawai di daerah (Staatblad 1819, No. 34). Tahun 1818 Belanda membuka sekolah untuk mempelajari bahasa Jawa di Semarang dan tahun 1832 di Surakarta (Angelino, 1931: 42).

Tingkat pemahaman orang Inggris terhadap pikiran anak jajahannya jadi berbeda dengan pemahaman orang Belanda karena kemampuan menguasai bahasa anak jajahan. Bangsa Indonesia mengalami kerugian yang lebih besar dibandingkan bangsa jajahan Inggris karena Belanda mampu masuk jauh ke relung kebudayaan mereka yang tersembunyi dan melakukan rekayasa budaya yang sangat merusak.

Inggris mengajarkan bahasa mereka, Belanda mengajarkan kesetiaan. Kemampuan Belanda melacak kelemahan budaya suku-suku bangsa di Indonesia berkat penguasaan bahasa lokal membuka jalan yang sangat lebar bagi mereka melakukan infiltrasi yang halus, tidak terlalu menekan, namun dapat mendatangkan kerusakan panjang.

Cukup banyak pemimpin tradisional yang tertipu oleh permainan kata-kata orang Belanda, tapi mereka menikmati kondisi demikian. Anak-anak muda di Sulawesi menjadi pendukung Belanda, bahkan bergabung dengan pasukan KNIL (Koninklijke Nederlands Indisch Leger/Tentara Kerajaan Hindia-Belanda) karena dibujuk dengan alkohol dan uang (Bartels, 1990). Sebagian dari mereka kemudian menjadi penentang gerakan kemerdekaan Indonesia, walaupun tidak terang-terangan membantu Belanda dalam melakukan aksi penumpasan pemberontak.

Sudah lebih setengah abad Belanda hengkang dari Indonesia, akan tetapi dampak dari rekayasa budaya yang dilakukannya tetap membekas dalam budaya berbagai etnis di Nusantara. Berikut ini saya sajikan ilustrasi kelicikan Belanda dalam usahanya menghegemoni sebuah bangsa pribumi, yaitu orang Minangkabau di Sumatera Barat.

Di Minangkabau, setelah mengalami kerugian sangat besar dalam perang panjang dengan etnis Minang yang gigih, Belanda berusaha melakukan infiltrasi ke dalam institusi adat. Tanpa menguasai sepenuhnya para pemimpin adat dapat dipastikan kehadiran mereka di wilayah Minangkabau tidak akan pernah sepi dari pembangkangan.

Tapi untuk menguasai para pemimpin adat – para penghulu – sangat tidak mudah karena mereka merupakan representasi suku dan paruik (sub-suku), bukan individu yang dapat bertindak atas nama pribadi. Para penghulu itu tidak bersedia menerima gaji dari Belanda karena menerima gaji sama saja dengan menyatakan diri telah takluk, sehingga makan gaji dianggap sebagai aib atau perbuatan yang memalukan. Sebelum Belanda berhasil melakukan infiltrasi budaya para penghulu tidak menerima gaji dari siapapun sebagai simbol kemerdekaannya.

Di Minangkabau tidak ada suku yang independen, melainkan terikat secara adat dengan suku-suku lain melalui institusi pemerintahan nagari. Nagari dipimpin oleh para penghulu secara kolektif, dan setiap penghulu berarti juga pemimpin dalam nagari.

Seorang penghulu akan mendapat tantangan keras dari kemenakan (anggota suku atau paruik) dan suku-suku lain dalam nagari yang membenci penjajahan kalau ia mau menerima gaji dan bekerjasama dengan Belanda. Jika tunduk ia dan kemenakannya akan dikucilkan dari masyarakat adat, bahkan akan kehilangan posisinya dalam pemerintahan kolektif di nagari.

Oleh sebab itu, kendati para penghulu tidak lagi menjadi pemberontak bersama-sama kaum surau (pembelajar dan intelektual Islam), mereka tidak akan mau dikendalikan Belanda. Setidak-tidaknya mereka akan menolak menjalin kerjasama secara terang-terangan.

Taktik Belanda akhirnya berhasil juga membobol benteng martabat para penghulu berkat pengetahuan mereka akan kelemahan pemimpin-pemimpin adat tersebut. Belanda memainkan hasrat para penghulu untuk dapat hidup mewah yang terpaksa direpresi karena tidak ingin malu akibat dikucilkan masyarakat. Caranya sangat licik. Belanda tidak memaksa para penghulu untuk tunduk dan mau menerima gaji, melainkan dengan mengangkat penghulu-penghulu palsu di luar sistem adat dan menjadikan mereka kaum aristokrat baru (lihat Amran, 1985: 187 – 208).

Para penghulu palsu yang terkenal dengan sebutan penghulu bersurat (karena mengantongi sertifikat ‘kepenghuluan’ dari Belanda) diberi gaji besar sehingga dapat memiliki properti pribadi yang mentereng. Mereka dapat membeli bendi bogi (bendi pribadi) yang dianggap mewah pada saat itu, lalu mengendarainya berkeliling nagari untuk memprovokasi penghulu asli yang masih bertahan dengan prinsip harga diri dan rasa malu.

Taktik seperti ini sukses dimainkan Belanda. Akhirnya satu persatu penghulu asli menyerahkan diri dengan membuang rasa malu serta menyingkirkan harga diri agar dapat pula menikmati kemewahan. Dalam waktu yang tidak terlalu lama Belanda dapat juga menikmati penyerahan diri para pemimpin adat dan meneruskan agenda penghisapan yang sudah dibuat.

Jauh setelah zaman kolonial berakhir politik bahasa masih dimainkan, tapi tidak dirasakan sebagai bagian dari praktik penjajahan kultural. Pemaksaan untuk dapat berbahasa asing, terutama berbahasa Inggris terjadi di berbagai perguruan tinggi negeri di Indonesia. Mau masuk perguruan tinggi harus lulus ujian Bahasa Inggris.

Ketika hendak ujian skripsi, tesis atau doktor mahasiswa harus dapat menunjukan skor TOEFL yang cukup tinggi: antara 400 dan 500. Bagi banyak mahasiswa skor tersebut menjadi beban tersendiri karena tidak mudah mendapatkannya. Sebagian tidak dibolehkan ujian skripsi atau tesis karena belum berhasil menunjukan sertifikat TOEFL dengan nilai yang disyaratkan.

Kewajiban demikian tidak hanya menjadi sumber ketegangan di kalangan mahasiswa, tapi juga memunculkan sejumlah pertanyaan. Diantaranya, mengapa harus lulus ujian Bahasa Inggris sementara pekerjaan yang akan dihadapi belum tentu membutuhkan Bahasa Inggris dalam berkomunikasi?

Bahwa Bahasa Inggris adalah bahasa internasional, banyak buku dan dokumen ditulis dalam Bahasa Inggris sehingga menguasainya merupakan salah satu nilai tambah, dapat diterima akal sehat. Memang benar, mereka yang menguasai Bahasa Inggris lebih besar aksesnya kepada referensi berbahasa Inggris dibandingkan yang tidak. Mereka juga dapat bersuara di tatanan global melalui berbagai media berbahasa Inggris.

Tapi, apakah alasan yang dikemukakan itu memadai untuk menjadi dasar sebuah pemaksaan? Apakah ada maksud-maksud lain yang tersembunyi di balik pemaksaan itu? Kewajiban menguasai bahasa asing dapat menjadi paradoks bagi upaya-upaya penghapusan diskriminasi berdasarkan agama, jenis kelamin atau ras. English language proficiency akan menjadi kriteria segregasi baru (Kawamoto, 1993)

Ironisnya, ketika mahasiswa mengalami pemaksaan untuk bisa berbahasa Inggris kemampuan berbahasa Indonesia tidak terlalu dipersoalkan oleh perguruan tinggi, padahal beribu karya ilmiah ditulis dalam Bahasa Indonesia yang kacau-balau dan kadang sulit dipahami. Ribuan karya ilmiah mahasiswa ditulis dengan bahasa lisan yang dituliskan, dengan mencampur-baurkan bahasa formal dengan dialek lokal, terutama dialek Jakarta.

Seperti terjadi pada masa kolonial, penguasaan bahasa asing berimplikasi kepada status sosial, politik dan ekonomi. Pada masa kolonial hanya mereka yang menguasai bahasa penjajah yang dapat masuk ke lingkaran pergaulan para penjajah, dan mereka pula yang kemudian mendapat akses kepada pekerjaan yang dianggap bergengsi dan bergaji besar.

Pendapatan yang tinggi meningkatkan status sosial bahkan kekuasaan mereka di tengah masyarakat. Sebagian dari ‘hukum’ seperti itu tetap berlaku sampai sekarang. Pegawai korporasi asing yang menguasai bahasa dari bangsa yang memiliki korporasi itu selalu mempunyai kesempatan promosi jabatan yang lebih besar dibandingkan yang setengah menguasai, apalagi yang menguasai sangat sedikit karena mereka mampu berkomunikasi dengan owner dari korporasi.

Dalam konteks TPK, bahasa adalah salah satu instrumen penting untuk menciptakan disonansi maupun untuk membangun kepastian-kepastian baru. Bahasa ibarat senapan yang berfungsi menembakan peluru kata-kata, istilah dan berbagai frasa. ‘Korban penembakan’ yang paling banyak tentulah mereka yang juga mengerti bahasa penyampai kata-kata tersebut.

Bahasa slang atau bahasa gaul merupakan bahasa khusus yang cukup menarik dianalisis dengan TPK karena adakalanya bahasa tersebut diciptakan sebagai ekspresi resistensi anak-anak muda terhadap generasi tua. Mereka menggunakan bahasa tersebut untuk memproteksi maksud-maksud tertentu dari pantauan orang di luar komunitas yang dinilai berbahaya.

Gejala bahasa seperti ini sudah muncul sejak tahun 1970an dan dianggap sebagai sesuatu yang lumrah serta bagian dari keisengan anak-anak muda belaka. Namun sebenarnya ia mengandung potensi tersembunyi yang dapat menggiring pikiran dan sikap anak-anak muda ke arah tertentu. Sifatnya yang setengah rahasia, bahkan rahasia bagi kalangan tua, sanggup menutupi pergerakan pemikiran anak-anak muda ke arah disonansi. Ia dapat menjadi bagian dari budaya populer (pop-culture) yang mengarahkan pemakainya untuk menganut ideologi-ideologi yang disebarkan oleh kekuatan kapitalisme global.

Di Indonesia keragaman bahasa daerah dapat menjadi isu penting bagi kajian komunikasi kritis. Negara ini menyimpan tidak kurang dari 3.500 jenis bahasa lokal yang digunakan sehari-hari oleh warganya. Di antara bahasa-bahasa itu ada yang dominan dan mendominasi berbagai wacana politik dan budaya. Apakah dominasi itu berjalan paralel dengan proses hegemoni tentu harus dijelaskan berdasarkan data penelitian yang kredibel.

Sejak satu dekade yang lampau sudah muncul kajian-kajian tentang komunikasi lintas budaya (intercultural communication atau cross-cultural communication) yang salah satu poin perhatiannya adalah perbedaan bahasa (Paulston, et al. 2012). Namun kajian komunikasi lintas budaya yang menggunakan perspektif kritis, apalagi di Indonesia, masih tergolong langka. Tidak ada salahnya bila para peminat kajian komunikasi kritis menyusun agenda untuk lebih intensif memperhatikan dan meneliti isu-isu yang bahasa dan kekuasaan sebagaimana telah saya paparkan di atas.

——
Catatan:
Tahun 1879 dan 1880 Belanda mendirikan sekolah untuk para pemimpin-pemimpin di Bandung, Magelang dan Probolinggo. Sekolah-sekolah ini kemudian dirubah menjadi Sekolah Pelatihan untuk Pegawai Hindia Belanda yang juga didirikan di Madiun, Bukittinggi (Fort de Kock) dan Makassar. Pelajarnya sekitar 500 orang. Pelajaran yang diberikan adalah bahasa Belanda, Melayu, satu atau lebih bahasa daerah, geografi, sejarah Hindia Belanda, sejarah alam, matematika dan menggambar (Angelino, 1931: 79).

(Penulis Adalah Akademisi Universitas Andalas)