Aksi Miris Puluhan Siswa SMP di Bengkulu Utara yang Menyayat Tangan Menggunakan Silet.

BENGKULU, DAERAH117 Dilihat

 

 

Bengkulu,Kabardaerah.com Belum lama ini media sosial dihebohkan dengan aksi miris puluhan siswa SMP di Bengkulu Utara yang menyayat tangan menggunakan silet. Aksi ini dilakukan dengan sengaja demi mengikuti tren yang ada di TikTok.

Berdasarkan laporan, ada 50 siswa yang kedapatan memiliki luka goresan di tangan hanya untuk mengikuti tren.

Terkait hal ini, pihak sekolah dan Dinas Pendidikan telah menyelidiki lebih dalam. Awalnya, pihak sekolah hanya menemukan beberapa siswa yang melukai lengan mereka, namun setelah diselidiki ternyata ada lebih banyak siswa.

“Puluhan Siswi SMP Lukai Diri dengan Silet Demi Tren,”Saat kita cek dan selidiki para siswa ini menggores lengan tapi bukan menggunakan benda tajam seperti silet, pisau. Alasan para siswa ini menggoreskan lengan itu hanya untuk mengikuti trend konten di TikTok,” kata Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Bengkulu Utara, Fahruddin,

Penyebab Munculnya Perilaku Menyakiti Diri

Dosen Fakultas Keperawatan Jiwa Fakultas Ilmu Kesehatan (FIK) UM Surabaya Uswatun Hasanah turut merespons fenomena miris yang melanda siswi SMP tersebut.

Menurutnya, hal tersebut berkaitan dengan self harm atau bentuk perilaku menyakiti diri sendiri yang disebabkan berbagai macam tekanan psikologis yang dialami oleh individu.

“Perilaku ini umumnya terjadi pada remaja dan dewasa muda yang berada pada masa transisi di mana mereka dituntut untuk mampu beradaptasi dalam berbagai situasi baru yang asing,” ujarnya dikutip dari laman resmi Universitas Muhammadiyah Surabaya, Minggu (19/3/2023).

Diketahui, fenomena self harm sampai saat ini semakin meningkat. Bahkan telah menjadi hal buruk karena sudah menjadi sebuah kewajaran bagi sebagian besar remaja.

Banyak remaja menganggap self harm sebagai solusi mutlak untuk menyelesaikan masalah atau meluapkan emosi dalam diri.

Biasanya, mereka berharap bahwa melakukan hal tersebut dapat membantu mengelola masalah emosional, mengurangi ketegangan, memberikan rasa sakit fisik sehingga teralihkan dari tekanan emosionalnya, mengekspresikan emosi baik berupa marah, sakit hati dan frustasi, sebagai bentuk pelarian, bentuk kendali diri atas perasaannya, dan untuk mendapatkan perhatian orang lain.

“Tentu saja penyelesaian masalah dengan menyakiti diri sendiri tidak dibenarkan dan bukan merupakan solusi yang tepat,” tegas Uswatun.

Ciri-ciri Remaja dengan Perilaku Self Harm

Uswatun menegaskan, orang tua maupun lingkungan sekitar individu dengan kecenderungan perilaku self harm harus aware dan betul-betul mengenali gejala self harm yang dialami remaja.

Hal yang perlu diperhatikan diantaranya yaitu secara verbal lebih banyak diam, tidak mampu mengungkapkan perasaan, serta mengungkapkan tentang keputusasaan dan ketidakberdayaan.

Selain itu, kerap kali remaja menunjukkan perilaku sulit menjalin hubungan dengan orang lain, perilaku dan emosi yang berubah dengan cepat dan impulsif, intens, dan tidak terduga.

Akhirnya, mereka mulai melukai diri dengan sengaja, menggosok area tubuh secara berlebihan untuk membuat luka bakar, atau menyimpan benda tajam atau barang lain yang digunakan untuk melukai diri sendiri di tangan. Mereka juga berusaha menyembunyikan bekas luka dengan mengenakan baju lengan panjang atau celana panjang, dan menyebutnya sebagai cedera atau luka yang tidak disengaja.

Secara fisik, perlu diamati adanya bekas luka, seringkali berbentuk pola tertentu, serta adanya luka baru, goresan, memar, bekas gigitan, atau luka lainnya.

“Perilaku self harm ini perlu diwaspadai karena tanpa disadari jika terus terjadi akan mengarah pada gangguan psikologis atau yang dikenal dengan perilaku Non Suicidal Self Injury (NSSI),” papar Uswatun.

Remaja Perlu Dirangkul dengan Baik

Meski melakukan perilaku yang tidak wajar, tetapi Uswatun menegaskan bahwa remaja tersebut perlu dirangkul dengan baik.

Hal sederhana yang bisa dilakukan anggota keluarga, khususnya orang tua jika mendapati anak atau orang terdekat menunjukkan gejala atau perilaku self harm maka harus memberinya perhatian. Lalu, berikan kesempatan pada anak untuk mengungkapkan perasaannya, berusaha untuk tidak menghakimi apa yang anak lakukan, meluangkan waktu untuk melakukan kegiatan positif bersama, mencoba mencari informasi terkait perilaku self harm agar mendapatkan panduan penanganan yang tepat.

“Jangan membiarkan yang bersangkutan mengurung diri, sediakan lingkungan yang aman dan nyaman, bekerja sama dengan sekolah atau support system lain di sekitar individu, dan menanamkan nilai-nilai keagamaan yang cukup,” tutur Uswatun.

“Lingkungan sekolah dapat membantu menangani masalah self harm dengan membangun hubungan yang positif antara guru, staf sekolah dan murid. Guru harus memiliki kepedulian, kepekaan, dan pemahaman yang baik terkait masalah kesehatan jiwa siswa,” pungkasnya.(KD)