Kerajaan Inderapura Sejarah Yang Terlupakan

ADVERTORIAL37 Dilihat

Sumbar, KabarDaerah.com-Di antara sekian banyak kerajaan yang ada dalam lembaran sejarah Minang, tersebutlah Kerajaan Inderapura. Bagaimana sejarah singkatnya?

Cerita Pagi kali ini mengulas tentang Kerajaan Inderapura, sebuah kerajaan yang berada di wilayah Kabupaten Pesisir Selatan, Provinsi Sumatera Barat sekarang.

Berbatasan dengan Provinsi Bengkulu dan Jambi, kerajaan ini pada masa jayanya meliputi wilayah pantai barat Sumatera mulai dari Padang di utara sampai Sungai Hurai di selatan.

Kerajaan Inderapura yang beribu kota di Inderapura (selatan Painan). Kerajaan ini muncul seiring melemahnya kekuasaan Pagaruyung pada abad ke-15.

Beberapa daerah pada kawasan pesisir Minangkabau lainnya, seperti Inderagiri, Jambi, dan Inderapura dibiarkan mengurus dirinya sendiri. Perkembangan Inderapura baru benar-benar dimulai saat Malaka jatuh ke tangan Portugis pada 1511. Arus perdagangan yang tadinya melalui Selat Malaka, sebagian besar beralih ke pantai barat Sumatera dan Selat Sunda.

Perkembangan dan ekspansi Inderapura terutama ditunjang oleh lada, Inderapura menjalin persahabatan dengan Banten dan Aceh. Ketika Kesultanan Aceh melakukan ekspansi sampai ke wilayah Pariaman.

Inderapura menghentikan ekspansi tersebut dengan menjalin persahabatan dengan Aceh melalui ikatan perkawinan antara Raja Dewi, putri Sultan Munawar Syah dari Inderapura, dengan Sultan Firman Syah, saudara raja Aceh saat itu, Sultan Ali Ri’ayat Syah (1568-1575) lewat hubungan perkawinan ini dan kekuatan ekonominya, Inderapura mendapat pengaruh besar di Kotaraja (Banda Aceh), bahkan, para hulubalang dari Inderapura disebut-sebut berkomplot dalam pembunuhan putra Sultan Ali Ri’ayat Syah, sehingga melancarkan jalan buat suami Raja Dewi naik takhta dengan nama Sultan Sri Alam pada 1576.

Namun, kekuasaannya hanya berlangsung selama tiga tahun sebelum tersingkir dari takhtanya karena pertentangan dengan para ulama di Aceh. Pemerhati sejarah yang juga Dosen STKIP Abdi Pendidikan Payakumbuh Fikrul Hanif Sufyan mengatakan, Rusli Amran dalam karyanya berjudul “Sumatra Barat hingga Plakat Panjang” menjelaskan bahwa paruh kedua abad ke-16, Kesultanan Inderapura makin berkembang kekuasaannya di pesisir barat Sumatera. Wilayahnya menjangkau daratan Aceh di utara hingga Bengkulu selatan.

Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah I atau yang dikenal dengan Raja Kecil adalah salah seorang putra Pagaruyung pendiri Kesultanan Siak Sri Indrapura.

Sebelum mendirikan Kesultanan Siak pada tahun 1723, Raja Kecil sempat bertakhta di Kesultanan Johor (1717-1722). Namun kekuasaannya tak bertahan lama, karena aksi kudeta yang dilancarkan Bendahara Abdul Jalil dan pasukan Bugis.

Pada akhir abad ke-17, pusat wilayah Inderapura, menurut catatan van Bezel, mencakup lembah sungai Air Haji dan Batang Inderapura, terdiri atas 20 koto. Masing-masing koto diperintah oleh seorang menteri, yang berfungsi seperti penghulu di wilayah Minangkabau lainnya. Sementara pada daerah Anak Sungai, yang mencakup lembah Manjuto dan Airdikit (disebut Negeri XIV Koto), Muko-muko (V Koto), sistem pemerintahannya tak jauh berbeda.

Untuk kawasan utara disebut dengan Banda X (Bandar Sepuluh) yang dipimpin oleh Rajo nan Ampek (empat orang yang bergelar raja, yakni Raja Air Haji, Raja Bungo Pasang, Raja Kambang, dan Raja Palangai). Fikrul menyebut, mereka yang pernah menjadi raja Inderapura adalah Sultan Munawar Syah, Raja Mamulia (1550), Raja Dewi (1580), Raja Itam (1616), Raja Besar (1624), Raja Puti (1625), Sultan Muzzaffar Syah, Raja Malfarsyah (1633), Sultan Muhammad Syah (1660), Sultan Mansur Syah, Raja Pesisir (1696), Raja Pesisir II (1760), dan Raja Pesisir III (1790). Pada masa Sultan Muhammad Syah, Inderapura dikunjungi oleh para pelaut Bugis yang dipimpin oleh Daeng Maruppa yang kemudian menikah dengan saudara perempuan Sultan Muhammad Syah, lalu melahirkan Daeng Mabela yang bergelar Sultan Seian. Berdasarkan catatan arsip, Daeng Mabela pada tahun 1688 menjadi komandan pasukan Bugis untuk East India Company (EIC).

Sultan Muhammad Syah digantikan oleh anaknya Sultan Mansur Syah (1691-1696). Pada masa pemerintahannya, bibit ketidakpuasan rakyatnya atas penerapan cukai yang tinggi serta dominasi monopoli dagang Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) kembali muncul. Puncak perlawanan rakyat Inderapura terjadi pada 6 Juni 1701, ketika menghancurkan pos VOC di Pulau Cingkuak. Nah, sebagai reaksi terhadap serbuan itu, tanggal 6 Juni 1701, VOC membalas dengan mengirim pasukan dan berhasil mengendalikan Inderapura. Akhirnya, Inderapura benar-benar runtuh pada 1792 ketika garnisun VOC di Air Haji menyerbu Inderapura karena pertengkaran komandannya dengan Sultan Inderapura. Sultan Inderapura lalu mengungsi ke Bengkulu dan meninggal tahun 1824.

 

Sultan Inderapura, Sultan terakhir yang berdaulat

Sultan Muhammad Syah Daulat Yang Dipertuan Inderapura (1867-1938), Raja Terakhir Yang berdaulat di Ranah Minangkabau

Dari Sultan Khalifatul Alam Sulthan Muhyiddinsyah Daulat Jamalul Alam Sulthan Sri Maharajo Dirajo Muhammadsyah (1090) sampai ke Tuanku Rusli Sultan Muhammadsyah (1938), Lebih kurang 848 tahun dalam pasang surutnya Inderapura mempertahankan kedaulatan dan Wilayah yang berbatas:  Sebelah Utara dengan Sikilang Air Bangis, sebelah Selatan dengan  Teratak Air Hitam sampai ke Ketaun Urai, sebelah Timur dengan Durian Ditakuk Rajo Pangkalan Jambu   Jambi, dan sebelah Barat dengan Lautan Samudera Pesisir Nan Panjang.

Tuanku Rusli Sultan Muhammad Syah Lahir Pada Tahun 1867 dengan nama Kecil Marah Rusli Ibunya Puti Nursabur Indrapura, Ayahnya Raja sekaligus Regent Muko-Muko; Sultan Takdir Khalifatullah Syah (1870).

Marah Rusli bergelar Sutan Abdullah ketika menikah dengan Putri Jalaliah Anak Kandung Raja Inderapura Sultan Mohammad Bakhi Sri Sultan Firmansyah dengan permaisuri beliau Tuanku Putri Lela Rekna. Marah Rusli merupakan keponakan dunsanak nenek dari Sultan Mohammad Bakhi.

Marah Rusli muda mengenyam pendidikan Kweekschool (Sekolah Raja) Fort de Kock di Bukit Tinggi dan pernah bekerja sebagai jaksa kepala dalam jajaran BinnenlandBestuur Hindia Belanda di Betawi. Pada tahun 1888 Marah Rusli disekolahkan oleh Sultan Mohammad Bakhi kenegeri    Belanda dengan segala biaya ditanggung oleh Belanda itu semua adalah teknis awal Belanda mengambil hati Raja Inderapura dimana Belanda mengakui kedaulatan Sultan Mohammad Bakhi Sri Sultan Firmansyah.

Pada malam hari tanggal 11 masuk 12 April 1891, meninggal dunia, Sultan Mohammad Bakhi Sri Sultan Firmansyah yang dikenal sebagai seorang Sulthan yang teguh pendirian, satria pejuang, yang berwibawa dan gagah perkasa namun tunduk dalam ketaqwaannya kepada Allah Swt.

Sebelum beliau wafat, beliau meninggalkan pesan-pitaruh dan amanah kepada calon pengganti beliau Marah Rusli,  yang berbunyi: Hai Rusli jika kamu diangkat Belanda jadi ganti aku, Alam Kurinci jangan kamu tunjukkan pada Belanda, Wasiat ini juga disampaikan di hadapan Penghulu Mentri yang dua puluh dan Mangkubumi. Itulah pesan pitaruh dan amanah seorang Sulthan kesatria pejuang, yang jujur, berani dan gigih membela dan mempertahankan sejengkal tanah airnya,  sejengkal tanah ulayat negeri ini.

Yang tidak mau menjual negerinya demi mempertahankan harga dirinya sebagai seorang Sultan, yang mengawal Pesisir Barat Sumatera kepada siapapun yang ingin menggerogoti tanah air, tanah ulayat leluhurnya secara tidak hak.

Disebutkan juga saat Sultan Mohammad Bakhi Sri Sultan Firmansyah meninggal dunia, Datuk Palapah memberitahukan kepada seluruh Datuk di Solok Selatan (Sungai Pagu dll) dan selanjutnya berita tersebut sambung menyambung terus ke Darek, bahwa Sultan Mohammad Bakhi Sri Sultan Firmansyah sudah meninggal dunia, maka sampailah berita ketelinga Belanda di Darek.

Suasana masih berkabung sejak meninggalnya Sultan Mohammad Bakhi Sri Sultan Firmansyah di Inderapura pada saat itulah Belanda mengucapkan belasungkawa dan selanjutnya Belanda menyerahkan hadiah berupa emas berlambangkan Kerajaan Negeri Belanda, sebagai tanda bukti pengakuan atas kedaulatan Kerajaan Inderapura dan untuk mengambil simpati pengganti sultan dan rakyat Inderapura.

Pada Tanggal 22 Juni 1891 Marah Rusli Sutan Abdullah di nobatkan menjadi Raja Inderapura dengan gelar Sultan Muhammad Syah diusia 24 tahun sekaligus sebagai Regent Inderapura dan Muko-Muko. Pada masa itu sebenarnya ada kandidat lain yang berumur lebih senior. Seperti; Marah Marullah St.Ibrahim, Marah Dobo St.Mudo, Marah Salim St.Sabarullah. Akan tetapi Belanda lebih menyukai Marah Rusli dan disamping itu Sultan Mohammad Bakhi Sri Sultan Firmansyah yang merupakan Mamanda dan Mertuanya sejak awal telah mengkaderkannya sebagai raja di kemudian hari.

Semasa pemerintahan Tuanku Rusli Sultan Muhammad Syah adalah masa-masa yang sulit disatu sisi sebagai Sultan Ia harus menjaga wilayah dan kedaulatannya di sisi lain sebagai Regent Ia banyak mendapatkan tekanan untuk kepentingan Belanda salah satunya untuk menguasai kerinci. Puncaknya pada tahun1899 semua Tuanku Panglima dan Tuanku Bandaharo di Padang dan Mangkubumi di Indrapura diberhentikan dari jabatannya oleh Pemerintah Hindia Belanda dan tiada berkuasa lagi. Cuma Regent Indrapura saja yang masih menjabat. Maksud Belanda karena Tuanku Rusli Sultan Muhammad Syah diperlukan untuk memasuki daerah Kerinci. Akan tetapi Tuanku Rusli Sultan Muhammad Syah selalu mengulur waktu dan mencari strategi demi menunaikan wasiat almarhum mamaknya Sultan Mohammad Bakhi Sri Sultan Firmansyah.

Tuanku Rusli Sultan Muhammad Syah,  pengganti yang  bertanggung jawab  terhadap Kerajaan Indrapura  tetap memegang teguh sumpah dan amanah.

Anehnya, Tuanku Rusli Sultan Muhammad Syah, walaupun  sudah diberi pangkat dan kedudukan sebagai Regent Indrapura oleh  Belanda, namun tetap bagai duri dalam daging  bagi tubuh Belanda.

Akhirnya kedudukan Regent yang diberikan Belanda berubah menjadi Lambang Mati, sedikit demi sedikit, dengan cara memutuskan mata rantai tangan-tangan kekuasaannya, hingga untuk memuluskan rencananya tersebut Belanda pada tahun 1901-1902 menempatkan Komendur H.K.Manupasha sebagai Kepala Pemerintahan Belanda di Indrapura.

Berulang kali Gubernur Jenderal Van Meues yang berkedudukan di Batavia, mengirim surat kepada Gubernur J.Valot di Padang. Surat tersebut diteruskan kepada Asisten Residen J.Engel di Painan. Dari Painan surat dari Gubernur Jenderal Van Meues diteruskan kembali oleh J.Engel kepada Komendur H.K.Manupasha di Indrapura, selanjutnya surat tersebut diberikan pula kepada Tuanku Rusli Sultan Muhammad Syah, Isi surat itu pada intinya adalah agar Tuanku Regen, menganjurkan kepada rakyat Kerinci, terutama kepada para Depati selaku penguasa di daerah agar menerima kehadiran bangsa Belanda dengan cara baik baik oleh rakyat Kerinci.

Belanda dengan taktik bujuk rayu dan tipu muslihat menjanjikan bila Belanda diterima dengan baik oleh penduduk Alam Kerinci, maka hak-hak kesultanan Tuanku Rusli Sultan Muhammad Syah akan dikembalikan, bahkan Belanda menjanjikan akan membangun sebuah Istana untuk Sultan Mohamadsyah di Kerinci, bahkan Belanda mengiming imingi Tuanku Rusli Sultan Muhammad Syah akan memperluas Pemerintahan Sultan meliputi daerah Alam Kerinci sampai ke daerah Bandar Sepuluh, dan semua hasil Negeri dan hutan, laut serta sawah akan diberikan kepada Sultan, serta Belanda juga mengobral janji akan memberi gaji Sultan sebesar F 2000 setiap bulan.

Tapi hal itu tidak membuat Tuanku Rusli Sultan Muhammad Syah bergeming sedikitpun, hal ini membuat Belanda Berang, A. Damhoeri (1981) menyebutkan pada tahun 1901 secara tiba-tiba pasukan Belanda yang dipimpin Komendur H.K.Manupasha menduduki Inderapura dalam keadaan inderapura tidak siap siaga, Belanda memaksa tuanku menunjukan jalan ke Kerinci dan bagi belanda sendiri menjadi satu senjata bahwa bukanlah mereka yang ingin merebut kerinci melainkan sultan sendiri yang mau menyerahkan kerinci.

Tuanku Rusli Sultan Muhammad Syah dibawah ancaman senjata terpaksa membawa pasukan Belanda menuju Kerinci, tetapi dengan muslihat Raja membawa pasukan berputar-putar dalam hutan belantara antara Muko-Muko dan Lubuk pinang  daerah Bengkulu bukanlah jalan pendek menuju kerinci, hampir saja seluruh pasukan Belanda itu hancur lebur semuanya dalam hutan disebabkan siasat yang lebih licik dari sultan, akhirnya Belanda menyerah dan membuat perjanjian yang delapan pasal di koto limosering, tetapi perjanjian tersebut dilanggar oleh Belanda, pada tahun 1901 Belanda mengirimkan pasukan ke Kerinci dipimpin Kapten Bolmar dan terjadi pertempuran Ranah Manjuto, pertempuran ini banyak memakan korban di pihak Belanda.

Tuanku Rusli Sultan Muhammad Syah yang pernah bersekolah di Belanda dan menjadi jaksa kepala pemerintahan hindia sangat paham dengan siasat dan kekuatan Belanda, apapun caranya akan ditempuh Belanda untuk menguasai Kerinci.

Setelah kekalahan dalam perang ranah manjuto membuat Belanda geram dan mengumpulkan pasukan untuk segera menyerang Kerinci secara besar-besaran.  Jika perang berlanjut, maka inderapura dan kerinci akan binasa demikian yang disampaikannya saat rapat tertutup bersama penghulu Mantri nan 20, segera Tuanku Rusli Sultan Muhammad Syah bernegosiasi dengan komendur Pasukan Belanda untuk membatalkan penyerangan ke Kerinci biarlah utusan dari kerajaan Inderapura saja dulu yang diutus ke Kerinci agar terjadi perundingan perdamaian dan Alam Kerinci dapat menerima kehadiran Belanda dengan damai.

Akhirnya permohonan itu dikabulkan Belanda, kemudian Tuanku Rusli Sultan Muhammad Syah mengutus keponakan sekaligus menantunya yang beranama Marah Imin Sutan Iradat untuk memimpin petinggi-petinggi dari Indrapura, Tapan, Lunang, Silaut dan Sindang yang berjumlah 17 orang untuk berangkat ke Kerinci.

Hari Arba’a 7 April 1902 maka segala Pembesar-pembesar Indrapura serta tanah tiga lurah berkumpul semuanya di Istana Tuanku Rusli Sultan Muhammad Syah melepaskan Marah Imin Sutan Iradat dengan rombonganya ke Alam Kerinci dengan membawa surat Tuanku Rusli Sultan Muhammad Syah untuk Depati di Kerinci.

Isi Surat Tuanku Rusli Sultan Muhammad Syah yang dibacakan Marah Imin Sutan Iradat di Rawang Kerinci, (surat dengan amplop panjang berlapis dengan kain kuning memakai cap stempel Kerajaan Indrapura, yang mana sekarang masih ada disimpan) Setelah surat ini dibuka maka Sultan Iradat membaca ” Bismillah “dan ” Takbir ” tiga kali dengan suara perlahan. Dengan suara lantang dan nyaring yang tidak menaruh gentar dan takut surat dibaca, demikian bunyinya

“Disampaikan kepada Depati Empat, Pemangku Lima Delapan Helai Kain Yang berkuasa di Kerinci Rendah dan Kerinci Tinggi Bahwa surat ini datang dari Hamba Sultan Muhammadsyah, Daulat Yang Dipertuan di Indrapura mendapatkan saudara-saudara Depati dan Rajo-Rajo Pemangku-Pemangku andai kata seluruh Rakyat Lingkung Gunung, sampai Ngalape hilirnya Batai Air Tamiai yang mengalir ke Batang Tentan. Bahwa yang membawa surat ini keponakan kandung saya nama Sultan Iradat serta dengan pengiring pengiringnya yang membawa celak kebesaran Indrapura, menyatakan Sultan Iradat ini ganti diri saya, yang berbunyi dalam surat ini ialah seperti lidah saya, berbicara dimuka rapat ini. Oleh karena Hamba mengingat sumpah nenek kita kedua belah pihak yaitu:

  1. Sultan Gegar Alamsyah
  2. Raja Muda Panjar Zat
  3. Pangeran Tumanggung Tanjung Muara Pasumai

Diatas Bukit Paninjau Laut, memotong kerbau tengah dua, kepeng sekeping dipertiga, sama-sama mencurak air keris. Sumpah itu berbunyi sesudah bertemu sekarang, sebab saya takut dimakan sumpah maka dengan ini saya nyatakan : “Kabar-kabar angin bahwa Belanda akan masuk ke Alam Kerinci karena terbunuhnya Imam Rusa”.

kabar angin ini kalau berhembus sekurang-kurangnya Batang Kambahang rebah, sebagai kata pepatah :”Sepandai-pandai mencencang, landasan musti luluh” Oleh sebab itu, sebelum hujan, kita sedia payung, saya minta dengan sangat, atas nama nenek moyang kita yang tersebut diatas ” Allah ” mengizinkan serta membuka hati saudara-saudara: Depati Empat, Pemangku Lima Delapan Helai Kain, akan turun ke Indrapura dengan selekas mungkin, sebolehnya bersama dengan Sultan Iradat. Kedatangan saudara ditunggu dengan Wajir menteri XX dan Datuk-Datuk yang Tiga Lurah Indrapura, 3 April 1902, dto/Cap, (Sultan Muhammadsyah)

Namun Malang tidak dapat dielak Kerinci pun jatuh dalam kekuasaan Belanda, Setelah dua puluh tahun menjabat sebagai Regent Indrapura, dia diberhentikan dengan hormat dengan Surat Keputusan No.29 tanggal 6 Februari 1911. Pemberhentian regen ini juga berlaku bagi Marah Uyub di Padang dengan Surat Keputusan tanggal 26 Maret 1910 No.40.

Mereka merupakan dua regen terakhir di Sumatera Barat. Sebab, setelah itu Belanda membentuk 52 demang sebagai pengganti regen, tulis Rusli Amran dalam bukunya Palakat Panjang. Tetapi secara tradisi Tuanku Rusli Sultan Muhammad Syah tetap memegang kedaulatan sebagai Sultan Inderapura.

Menurut Djanuir, tahun 1933, adalah kenangan peristiwa bersejarah yang dapat dicatat rakyat Indrapura pada zamannya. Peristiwa yang sangat menyedihkan seluruh keluarga, anak kemenakan dan rakyat Indrapura.

Dengan menyeret dan menangkap seseorang yang masih dianggap batu penghalang  kepentingan Belanda di Sumatera Barat, yang masih memegang tampuk kekuasaan sesuai kondisi dan kedudukan Indrapura waktu itu. Indrapura adalah panglima pengawal, dan penguasa wilayah Pesisir Barat Minangkabau, yang praktis berdiri sendiri.

Tuanku Rusli Sultan Muhammad Syah ditangkap dan secara paksa dalam sebuah pengawalan yang ketat oleh pasukan Belanda, dibawa dihadapan pandangan mata anak kemenakan, rakyat dan karib kerabat keluarga Kerajaan Indrapura yang berlinang air mata keperihan dan kepedihan.

Dari sini Tuanku Rusli Sultan Muhammadsyah  dinaikkan ke atas boat milik K.P.M. yang datang dari arah Teluk Bayur, Padang menuju Batavia. Di atas boat ini sesaat waktu Sultan Muhammadsyah naik dan menginjakkan kakinya di atas kapal boat itu, Sultan menyampaikan petaruh, kato terakhir kepada semua anak kemenakan, handai taulan dan kaum kerabat yang menghantarkan beliau beserta seluruh rakyat desa Pasir Ganting yang ikut menyaksikan kepergian beliau. Dalam pengawalan ketat oleh pasukan-pasukan Belanda yang berdiri di sisi Sultan, tanpa ragu-ragu dan  Sultan berkata dengan suara lantang : Buat sementara sampai disinilah riwayat Kerajaan Indrapura. Seluruh hadirin yang mendengarkan, baik yang berada ditebing-tebing pinggiran  pelabuhan dimana boat itu merapat,  maupun yang berdiri diatas geladak, tak terkecuali Belanda-Belanda itu, semuanya terpaku diam, tak bersuara. Dan selanjutnya  Sultan berkata :

Raja Indrapura adalah Raja Syarak Patah Tumbuh Hilang Berganti, Hilang Raja Berganti Raja. Beredar Raja dengan Syarak, Berdestar Syahid Syabilillah, Bersatu Sultan dengan Rakyat, Beredar Sultan dengan Adat, Beredar Sanak Kemenakan dengan Adat Pusaka. Mengitari Bumi se-Petalo Langit, ke Bawah Dalam, ke Awang Tinggi , Pergi Satu, Tumbuh Seribu, Sebanyak Pasir di tepi laut, Hati  bagai Sega! Air Laut kan ganti Tintanya, Air Tawar kan ganti Gencunya, kan pembuat Riwayat Tanah Alam, untuk diingat-ingatkan dikala sekarang, dikala nanti, karena syarak punya Bersama, Allah Taala menjadikannya.

Kata-kata falsafah yang bermakna dalam ini, disamping diucapkan dalam dialek Indrapura, juga diucapkan Sultan dalam bahasa Belanda yang fasih dan lantang. Sehingga Belanda-Belanda yang mendengar berubah air mukanya. Lalu menyatakan kapal segera berangkat. Setelah beberapa lama dan bersalaman dengan kaum kerabat yang mengantarkan dan melepaskan rangkulan perpisahan terakhir,   berangkatlah kapal yang membawa Tuanku Rusli Gelar Sultan Muhammadsyah ke tanah pembuangan, menuju Batavia. 5 tahun menjalani pembuangan, beliau akhirnya wafat di Batavia, pada 18 Agustus 1938.  Inna Illahi wa inna ilaahi rajiun. Sebagai isyarat hanya tanah badan beliau yang dipindahkan kemudian oleh keluarga almarhum ke pandam pekuburan zurriat keturunan raja-raja Indrapura di Tepat Ustano Ghobah Tandikat Kampung Dalam Indrapura. Dan dengan demikian berakhir pulalah perjalanan Sejarah Kerajaan Kesultanan Indrapura, di bumi kekuasaan hukumnya sendiri, dari sultan Khalifatul Alam Sulthan Muhyiddinsyah Daulat Jamalul Alam Sulthan Sri Maharajo Dirajo Muhammadsyah (1090) sampai ke Tuanku Rusli Sultan Muhammadsyah (1938), Lebih kurang 848 tahun dalam pasang surutnya mempertahankan kedaulatan dan Wilayah yang berwatas:  Sebelah Utara dengan Sikilang Air Bangis, sebelah Selatan dengan  Teratak Air Hitam sampai ke Ketaun Urai, sebelah Timur dengan Durian Ditakuk Rajo Pangkalan Jambu   Jambi, dan sebelah Barat dengan Lautan Samudera Pesisir Nan Panjang.

Referensi

  1. Dt. Rajo Mudo,Emral Djamal. 1996,  Menelusuri Jejak Lamin-Lamin Sejarah Alam Minangkabau: Kesultanan Indrapura, Teluk Air Dayo Puro di Pesisir Selatan.  SK Singgalang Minggu.
  2. 1995 Tambo Salasilah Rajo-Rajo Alam Minangkabau: Pagaruyung:  Alih Tulis, Naskah Ketik.
    1989. Ranji Salasilah Raja-Raja dan Sultan Sultan Kerajaan Kesultanan  Indrapura, Alih Tulis,
  3. Sutan Abdul, Hadi Gelar Sutan Firmansyah, 1975
  4. Kisah Kerajaan Air Pura (Indrapura), Makalah, Saduran  oleh Sultan Syamsuarsyah Gelar Sultan Rajo Embesi,1996
  5. Iim Imaduddin, Inderapura Kerajaan Maritim dan Kota Pantai di Pesisir Selatan Pantai Barat Sumatera, ( Padang: BKSNT, 2003
  6. Gusti Asnan, Pemerintahan Sumatera Barat dari VOC hingga Reformasi. Yogyakarta: Citra Pustaka, 2006
    J. Kathirithamby-well, The Inderapura Sultanate: The Foundation of its Rise and Decline from thr Sixteenth to the Eighteenth CenturyI, 1976
  7. Deki Syahputra ZE: pusat informasi sejarah budaya dan adat Alam Kerinci (jambi): KETERLAMBATAN BELANDA MENGUASAI ALAM KERINCI | http://sejarah-kerinci.blogspot.com/2015/06/keterlambatan-belanda-menguasai-alam.
  8. Document Badan Presidium Pembentukan Kabupaten Renah Indojati Tahun 2004
  9. Nanang Sobirin Perjuangan Gigih Rakyat Kerinci Melawan Penjajah Belanda 2005
  10. Rinaldi Eka Putra, Hubungan Pantai Barat dengan Daerah-daerah Pedalaman di Sumatera (Interland), (Laporan Hasil Seminar Sejarah Pantai Barat Sumatera dalam  Perspektif Sejarah, 2003)
  11. Rusli Ambran, Sumatera Barat Hingga Plakat panjang,  (Jakarta: Sinar harapan, 1981)
    Sudarman, Jaringan Perniagaan dan Islamisasi di Kerajaan Inderapura Abad XVIIAwal Abad XVIII M, (Yogyakarta: Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga, 2016)
  12. Suryadi Minang Saisuak #116 – Regen Muko-Muko/Sultan Inderapura, M. Rusli Sultan Abdullah (1891-1911) – Dr. Suryadi | LIAS – SAS Indonesië, Universiteit Leiden, Belanda.
  13. Sutan Iradat, catatan perjalanan: Kisah Alam Kerinci Jatuh Ketangan Belanda http://kerajaanairpura.blogspot.com/2014/01/kisah-alam-kerinci-jatuh-ketangan.html?m=1
    Yulizal Yunus, Kesultanan Inderapura dan Mande Rubiah di Lunang Spirit Sejarah dari Kerajaan Bahari hingga Semangat Melayu Dunia, (Padang: IAIN-IB Press, 2002)