KabarDaerah.com – Sebelum menjawab pertanyaan Anda, perlu kiranya memahami apa yang disebut dengan tindak pidana. Makna Tindak Pidana dapat kita artikan sebagai berikut:
Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari istilah strafbaar feit dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda yang saat ini diterapkan sebagai hukum nasional melalui asas konkordansi dengan adanya KUHP yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan. Namun dalam 3 tahun ke depan tepatnya 2026, KUHP sudah tidak lagi berlaku dan digantikan dengan UU 1/2023.
Baik dalam KUHP maupun UU 1/2023, tidak dijelaskan secara eksplisit mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan strafbaar feit itu sendiri. Tindak pidana yang Anda tanyakan juga biasanya disamakan dengan delik, yang berasal dari Bahasa Latin, yakni dari kata delictum.
Sebagaimana diterangkan S. R. Sianturi dalam buku Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapan, dalam peristilahan di Indonesia, delik atau het strafbare feit telah diterjemahkan oleh para sarjana dan juga telah digunakan dalam berbagai perumusan undang-undang dengan berbagai istilah bahasa Indonesia sebagai (hal 204 – 207):
- perbuatan yang dapat/boleh dihukum;
- peristiwa pidana;
- perbuatan pidana;
- tindak pidana.
Dengan demikian, strafbaar feit, delik, dan delictum memiliki padanan istilah yang sama dengan perbuatan yang dapat/boleh dihukum, peristiwa pidana, perbuatan pidana, dan tindak pidana.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, delik adalah perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang atau merupakan tindak pidana.
S. R. Sianturi dalam buku yang sama mengutip Moeljatno yang memilih menerjemahkan strafbaar feit sebagai perbuatan pidana, yaitu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana bagi barang siapa melanggar larangan tersebut (hal. 208).
Perbuatan tersebut harus betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tak boleh atau menghambat akan tercapainya tatanan dalam pergaulan masyarakat yang dicita-citakan oleh masyarakat itu.
Sementara itu, S. R. Sianturi dalam buku yang sama juga mengutip Wirjono Prodjodikoro yang merumuskan tindak pidana sebagai suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana dan pelaku itu dapat dikatakan merupakan subjek tindak pidana (hal. 208).
Berdasarkan rumusan pengertian tindak pidana di atas, untuk menentukan suatu perbuatan sebagai tindak pidana, perbuatan tersebut haruslah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kepada subjek tindak pidana yang melakukannya atau dalam rumusan hukum pidana disebut dengan barang siapa yang melanggar larangan tersebut.
Dengan kata lain, perbuatan yang tergolong tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang dalam hukum yang dapat diancam dengan sanksi pidana.
Baca juga: Pengertian Asas Konkordansi dan Sejarahnya di Indonesia
Unsur-unsur Tindak Pidana
Apa itu unsur pidana? Menurut S. R. Sianturi, secara ringkas unsur-unsur tindak pidana adalah (hal. 208):
- adanya subjek;
- adanya unsur kesalahan;
- perbuatan bersifat melawan hukum;
- suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undang-undang/perundang-undangan dan terhadap yang melanggarnya diancam pidana;
- dalam suatu waktu, tempat, dan keadaan tertentu.
Merujuk pada unsur-unsur tindak pidana di atas, S. R. Sianturi merumuskan pengertian dari tindak pidana sebagai suatu tindakan pada tempat, waktu, dan keadaan tertentu, yang dilarang (atau melanggar keharusan) dan diancam dengan pidana oleh undang-undang serta bersifat melawan hukum serta mengandung unsur kesalahan yang dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab (hal. 208).
Dari lima unsur di atas, dapat disederhanakan menjadi unsur subjektif dan unsur objektif. Apa itu unsur objektif dan subjektif tindak pidana? Unsur subjektif meliputi subjek dan adanya unsur kesalahan. Sedangkan yang termasuk unsur objektif adalah perbuatannya bersifat melawan hukum, tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undang-undang/perundang-undangan dan terhadap pelanggarnya diancam pidana, serta dilakukan dalam waktu, tempat dan keadaan tertentu.
P. A. F. Lamintang dalam buku Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia juga berpendapat bahwa setiap tindak pidana yang terdapat dalam KUHP pada umumnya dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur yang pada dasarnya dapat kita bagi menjadi dua macam unsur, yakni unsur-unsur subjektif dan unsur-unsur objektif (hal. 193).
Yang dimaksud dengan unsur subjektif itu adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk ke dalamnya, yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya (hal. 193).
Sedangkan yang dimaksud unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan (hal. 193).
Unsur subjektif dari suatu tindak pidana adalah (hal. 193 – 194):
- kesengajaan (dolus) atau ketidaksengajaan (culpa);
- maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud di dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP atau Pasal 17 ayat (1) UU 1/2023;
- macam-macam maksud atau oogmerk, seperti yang terdapat di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan, dan lain-lain;
- merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad, seperti yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan berencana dalam Pasal 340 KUHP atau Pasal 459 UU 1/2023;
- perasaan takut atau vrees, seperti terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP atau Pasal 430 UU 1/2023.
Unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana adalah (hal. 194):
- sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkbeid;
- kualitas dari si pelaku, misalnya “keadaan sebagai seorang pegawai negeri” di dalam kejahatan jabatan atau “keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas” di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP atau Pasal 516 UU 1/2023;
- kausalitas, yakni hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.
Unsur wederrechttelijk atau sifat melanggar hukum selalu harus dianggap sebagai disyaratkan di dalam setiap rumusan delik, walaupun unsur tersebut oleh pembentuk undang-undang tidak dinyatakan secara tegas sebagai salah satu unsur dari delik yang bersangkutan (hal. 194).
P. A. F. Lamintang kemudian menerangkan apabila unsur wederrecttelijk dinyatakan secara tegas sebagai unsur dari delik, maka tidak terbuktinya unsur tersebut di dalam peradilan akan menyebabkan hakim harus memutus sesuatu vrijkpraak atau pembebasan (hal. 195).
Apabila unsur wederrecttelijk tidak dinyatakan secara tegas sebagai unsur dari delik, maka tidak terbuktinya unsur tersebut di dalam peradilan akan menyebabkan hakim harus memutuskan suatu ontslag van alle rechtsvervolging atau suatu “pembebasan dari segala tuntutan hukum” (hal. 195).
Maka, untuk mengetahui apakah suatu perbuatan adalah tindak pidana atau bukan, perbuatan tersebut harus memenuhi unsur-unsur delik atau tindak pidana yang dimaksud itu.
Penerapan Unsur-unsur Tindak Pidana
Untuk mengetahui apakah perbuatan dalam sebuah peristiwa hukum adalah tindak pidana, dapat dilakukan analisis apakah perbuatan tersebut telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang diatur dalam sebuah ketentuan pasal hukum pidana tertentu.
Untuk itu, harus diadakan penyesuaian atau pencocokan (bagian-bagian/kejadian-kejadian) dari peristiwa tersebut kepada unsur-unsur dari delik yang didakwakan.
Jika ternyata sudah cocok, maka dapat ditentukan bahwa peristiwa itu merupakan suatu tindak pidana yang telah terjadi yang (dapat) dimintakan pertanggungjawaban pidana kepada subjek pelakunya. Namun, jika salah satu unsur tersebut tidak ada atau tidak terbukti, maka harus disimpulkan bahwa tindak pidana belum atau tidak terjadi.
Hal ini karena, mungkin tindakan sudah terjadi, tetapi bukan suatu tindakan yang dilarang oleh undang-undang yang diancamkan suatu tindak pidana.
Mungkin pula suatu tindakan telah terjadi sesuai dengan perumusan tindakan dalam pasal yang bersangkutan, tetapi tidak terdapat kesalahan pada pelaku dan/atau tindakan itu tidak bersifat melawan hukum.
P. A. F. Lamintang lebih jauh menjelaskan bahwa apabila hakim berpendapat bahwa tertuduh tidak dapat mempertanggungjawabkan tindakannya, maka hakim harus membebaskan tertuduh dari segala tuntutan hukum atau dengan kata lain, hakim harus memutuskan suatu ontslag van alle rechtsvervolging, termasuk jika terdapat keragu-raguan mengenai salah sebuah elemen, maka hakim harus membebaskan tertuduh dari segala tuntutan hukum (hal. 197).
Unsur-unsur delik tercantum dalam rumusan delik yang oleh penuntut umum harus dicantumkan di dalam surat tuduhan (dakwaan) dan harus dibuktikan dalam peradilan (hal. 195 & 197).
Bilamana satu atau lebih bagian ternyata tidak dapat dibuktikan, maka hakim harus membebaskan tertuduh atau dengan perkataan lain harus memutuskan suatu vrijspraak.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Referensi:
- P. A. F. Lamintang. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2013;
- S. R. Sianturi. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapan, Cet. 3. Jakarta: Storia Grafika, 2002;
- Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang diakses pada 26 Januari 2023, pukul 08.00 WIB.