Kemerdekaan Itu Untuk Siapa?

OPINI & ARTIKEL33 Dilihat

Oleh : Anton Permana
(Direktur Eksekutif Forum Majelis Bangsa Indonesia)

Di dalam theory paradigma negara, ada empat tahapan berkembangnya sebuah negara. Pertama, “Over night state”. Yaitu, negara bertindak sebagai penjaga malam yang melindungi warga negaranya dari serangan perampok, invansi bangsa luar, dan ancaman binatang buas. Literasi ini adalah gambaran dari suasana awal terbentuknya sebuah negara di dataran eropah kuno zaman yunani di mana konsep negara ini mulai lahir.

Kalau dalam kontek Indonesia tentunya sedikit berbeda, yaitu negara terbentuk atas mandat daerah dan para sulthan (Raja) seluruh nusantara agar membentuk sebuah negara dan bersatu padu dalam sebuah gerakan perlawanan mengusir penjajah (kolonialisme). Makanya hal ini selaras dengan bunyi pembukaan UUD 1945 bahwa “ negara wajib melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia “.

Kedua, “Walfare State”. Yaitu negara berkewajiban memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya. Kesejahteraan yang dimaksud meliputi sandang, pangan, pendidikan, sarana kesehatan, infrastruktur, pembangunan ekonomi, bahkan permodalan dan pembangunan basis ekonomi. Hal ini juga sesuai dengan bunyi pembukaan UUD 1945 yakni, “ untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia..”

Ketiga, “Minimalize State”. Yaitu setelah tahapan pertama dan kedua terpenuhi dengan baik dan benar, maka negara secara perlahan mulai mengurangi aktifitas dan campur tangannya dalam hal penguasaan hajat hidup orang banyak dan mengurusi urusan public. Karena, negara sejatinya adalah ‘triger’ pemicu, akselilator, yang bertugas memberikan dorongan dan daya ungkit kepada masyarakatnya dalam memenuhi kebutuhan dan mitra sinergis negara (pemerintah). Sehingga apa yang disebut dengan “good total management system” itu dapat terwujud. Yaitu, sinergitas antara 3 G ; Good Governance, Good Community, Good Coorporate. Dimana negara dalam hal ini cukup hanya sebagai wasit dan advisor bagi masyarakatnya.

Keempat, “Strong State”. Yaitu sebuah negara besar, kuat yang roda pemerintahannya sudah berjalan ‘by system’. Karena sebuah organisasi bisa dikatakan atau dijuluki besar dan kuat itu adalah, ketika pengorganisasiannya sudah berjalan otomatis by system. Tidak lagi tergantung kepada factor sosok figure, klenik, atau factor tradisional lainnya. Contoh negara seperti ini bisa kita lihat pada Amerika, China, Rusia, Inggris, Prancis. Yaitu para negara adi kuasa (super power) yang mempunyai ‘hak veto’ dalam organisasi PBB.

Lihatlah negara ini berjalan, siapapun pemimpinnya, agenda utama negaranya tetap berjalan. Beda dengan negara berkembang atau negara dunia ketiga, yang masih sangat tergantung kepada siapa pemimpinya. Berganti kepemimpinan maka berganti juga arah pengelolaan negaranya. Kembali ke judul kita diatas. Tentu akan timbul pertanyaan, dalam kontek negara kita Indonesia hari ini, dalam kaca mata theory paradigma negara diatas, kita sudah berada dimanakah ? kenapa hal ini penting kita bahas dan pertanyakan ? Karena menurut hemat penulis sudah saatnya hari ini, di saat ini, ketika gegap gempita menyambut HUT RI yang ke 74 yang begitu meriah dimana-mana, kita mesti jujur bertanya, mengintrospeksi diri kita, negara kita dengan jernih. Kemerdekaan apakah sebenarnya yang sedang kita rayakan ? Apakah ini tidak hanya basa-basi seremonial yang rentan membawa kita ke taman bunga yang indah (halusinasi) dengan slogan manis kemerdekaan beraneka rupa.

Namun secara subtansial kita sering lupa, bahkan terjebak aliena, dari manakah fase awal negara ini terbentuk dan berdiri, kemana arah negara ini dibawa ? Untuk siapa sebenarnya kemerdekaan sejatinya direbut dengan pengorbanan darah, harta dan nyawa oleh pendahulu kita ? Agar kita semua kembali ke fitrah sebuah bangsa merdeka. Merdeka dari segala bentuk belenggu kolonialisme, tekanan, dan dikte bangsa asing.

Hal ini lah yang menurut penulis perlu kita telaah bersama kembali. Agar apa yang dicita-citakan para pendiri bangsa, yang termaktub di dalam konstitusi kita UUD 1945 “ Mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur “ itu bisa murni terlaksananya. Bagaimana cara mengukurnya ? Berikut penulis akan mencoba menjelaskan dan membedahnya secara sederhana dimulai dari awal fase mulainya nusantara ini ada. Sudahkah bangsa ini merdeka.

Kemerdekaan Fase Kerajaan Nuasantara

Satu hal fakta empiric dari perjalanan bangsa ini yang kadang sering dikaburkan bahkan ditutupi. Bahwanya Nusantara ini pernah mengalami suatu masa kejayaan yang gemilang. Setidaknya ada pada tiga masa yaitu : Masa kerajaan Sriwijaya yang hampir menguasai separuh nusantara sampai ke siam dan mengontrol penuh bandar Malaka. Kerajaan Sriwijaya sempat berkuasa selama 600 tahun lamanya. Selanjutnya masa kerajaan Majapahit.

Di mana dalam catatan sejarah kerajaan didunia, kerajaan Majapahit adalah salah satu kerajaan terbesar (dalam sejarah dunia) yang mempunyai armada laut, darat, kemampuan teknologi pada masa itu sangat disegani. Wilayah kekuasaannya pun hampir meliputi kawasan Asia Tenggara. Dan kerajaan Majapahit ini berkuasa selama kurang lebih 180 tahun lamanya. Kemudian baru masuk masa kejayaan kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara seperti Samudra Pasai, Demak, Goa Telo, Ternate-Tidore, Mataram, dan Melayu (Siak-Pagaruyung).

Fakta fundamental yang perlu kita pahami disini adalah, sebenarnya kalau kita kaitkan dengan theory paradigm negara diatas, masa kerajaan nusantara sejatinya pernah mencapai puncak kejayaan hingga tahapan “strong state”. Yaitu walaupun berbentuk kerajaan, namun system kerajaannya sudah berjalan ‘by system’ dimana apabila sebuah negara sudah dapat menjadi besar dan kuat, pasti akan selaras dengan kesejahteraan rakyatnya.

Kemerdekaan rakyatnya dalam segala bidang. Mustahil sebuah negara atau kerajaan itu kuat (super power) tetapi rakyatnya miskin melarat. Ini akan kontradiktif. Kalau sudah begini keadaannya, berarti nenek moyang bangsa kita sudah merasakan sebuah masa gemilang yang benar-benar merdeka dan sejahtera. Walaupun setelah itu kerajaan inipun bubar. Namun itu sudah hukum alam, bahwa tidak akan ada kekuasaan yang abadi.

Ada satu titik kritikal yang jarang orang membahasnya. Yaitu, pernahkah kita membahas kenapa pada fase kerajaan nusantara (tiga) diatas itu bisa berjaya dimasanya ? jawabannya adalah, karena nenek moyang kita dahulu tidak alergi dengan apa yang disebut dengan agama. Semua kerajaan besar nusantara boleh dikatakan menerapkan apa yang disebut dengan ‘negara kertagama’. Yaitu, sebuah negara atau kerajaan yang menjadikan agama yang dianut mayoritas rakyatnya menjadi agama resmi kerajaan. Tetapi tidak mengekang agama lain untuk berkembang.

Lihat kerajaan Sriwijaya yang menjadi kerajaan Buddha. Kerajaan Majapahit dengan Hindu-nya. Dan kerajaan-kerajaan kesultanan Islam di nusantara yang pada masa itu bernaung dibawah panji kekhalifahan Utsmani Ottoman. Artinya, menjadikan agama sebagai ideologi resmi kerajaan ketika itu ternyata terbukti mampu membawa kejayaan dan kesejahteraan bagi rakyatnya. Kemerdekaan bagi rakyatnya. Sehingga jadilah kerajaan itu berjaya dengan gemilang dizamannya.

Kemerdekaan Fase Awal Menuju Pembentukan Negara (Pertarungan Konsep Negara)

Sudah menjadi hukum alam dan sunatullah, bahwa tidak ada kekuasaan itu yang abadi. Allah SWT pasti akan mempergilirkannya diantara sesama manusia. Setelah fase kerajaan nusantara runtuh bersama bangkit dan majunya penguasa baru dunia dari imperium eropah menggantikan imperium kekhalifahan Islam yang berkuasa hampir satu millennium (1000 tahun). Pada fase ini, nusantara terbagi dari beberapa pecahan kerajaan Islam yang terpisah-pisah. Sehingga bangsa eropah dapat merebut dan menaklukan kerajaan nusantara hingga terbentuklah daerah jajahan (koloni) bangsa eropah di nusantara.

Sejak kedatangan Portugis, Spanyol, hingga VOC Belanda, kerajaan dinusantara tercerai berai. Walaupun semangat perlawanan mengusir penjajah seperti dilakukan oleh Sulthan Hasanudin di Makasar, Panggeran Diponegoro di Jawa, Tuanku Imam Bonjol di Minangkabau terus bergelora. Namun perlawanan ini dapat dipatahkan oleh Belanda dikarenakan memiliki persenjataan yang lebih canggih dan modern.

Belajar dari penaklukan ini, maka mulai timbul kesadaran dari para pendahulu kita bagaimana melawan penjajah melalui sebuah gerakan bersama. Kondisi ini didukung dengan masuknya paham dan pemikiran “Nation State” yaitu konsep negara bangsa dari para pemikir Yahudi. Sebenarnya pemikiran dan konsep nation state ini adalah strategi kelompok yahudi untuk memecah belah kekuasaan imperium kekhalifahan Islam ketika itu, agar pecah berkeping-keping menjadi negara kecil yang berdiri sendiri dan tidak mau lagi berinduk dalam payung kekhalifahan.

Konsep nation state ini kemudian hari juga baru disadari oleh para ahli dan pakar ketatanegaraan adalah upaya dalam bentuk lain dalam menjalankan neo-imprealisme negara maju kepada wilayah (negara/kerajaan) lemah yang kaya sumberdaya. Kalau melalui kolonialisme dan imprealisme fisik dan senjata itu akan memakan biaya besar dan resiko besar (seperti yang dialami VOC hingga pernah bangkrut). Konsep nation state ini ibarat etalase bagi kelompok imprealis. Atau lebih sederhananya lagi semacam “outsourching govermment” (pemerintahan boneka) yang dibentuk untuk perpanjangan tangan para Kolonial.

Bentuk dan merdekakan negara-negara kecil sehingga mereka lemah dan terjebak ego nasionalisme kebangsaan sempit bukan ikatan keagamaan lagi. Buat system pemerintahan dan didik, latih pemimpinnya agar mau jadi pelayan yang baik dengan imbalan kekuasaan dan dukungan militer penopang kekuasaannya. Hal inilah yang terjadi pada bangsa Arab yang kemudian terpecah belah menjadi banyak emir, negara, kerajaan yang berdiri sendiri dan berontak kepada induk kekhalifahan Turkey Utsmani ketika itu yang memang sudah diambang kehancuran.

Dikarenakan secara kultural nenek moyang kita adalah feodal kerajaan, yang kemudian bergeser menjadi sebuah system negara (Prof Jimmly Assidiqi. 2018). Tentu banyak terjadi gesekan dan pertarungan pemikiran sesama anak bangsa. Antara pemikir yang sudah mengenyam sekolah versi Belanda saat itu (abad 19-20), dengan aktifis ulama gerakan Islam yang masih eksis. Hal ini dapat kita cermati pada saat pembentukan pertama gerakan yang teraviliasi secara kenusantaraan oleh Syarikat Islam pada tahun 1904.

Melihat gerakan Islam mulai eksis dan kuat, VOC Belanda tidak tinggal diam. Maka untuk mengimbangi ini, kaum nasionalis sekuler mereka ciptakan serta di infiltrasi untuk membentuk gerakan kebangsaan bernama Boedi Oetomo pada tahun 1908. Pertarungan pemikiran antara konsep agama dan bangsa ini berjalan cukup sengit. Konsep keagamaan didukung oleh masyarakat Nusantara yang mayoritas 95 persen Muslim, dengan para pemikir muda hasil cetakan pendidikan Belanda (import dari barat) dengan konsep nation state-nya, walaupun mereka punya musuh yang sama yaitu penjajah Belanda. Hal ini semakin seru lagi dengan tumbuh berkembang juga pemikiran sosialis kiri yang berhasil ‘membonceng’ kedalam tubuh gerakan Syariat Islam. Sampai SI terpecah menjadi dua kubu menjadi SI putih dan SI merah.

Pertarungan pemikiran dalam hal konsepsi gerakan menjadi negara ini akhirnya dimenangkan oleh kelompok nation state. Yaitu dengan dicetuskannya Soempah Pemuda pada tahun 1928 yang menyatakan. “ Berbangsa satu bangsa Indonesai, berbahasa satu Bahasa Indonesia “. Otomatis agama hilang dalam pertempuran konsep pemikiran ini.
Runtuhnya kekhalifahan Turkey Ottoman pada tahun 1924 semakin melemahkan gerakan Islam dimana hal ini semakin memuluskan agenda nation state untuk semakin membumi dan mendarah daging bagi para pemuda Indonesia masa itu.

Jadi kalau kita runutkan secara linear dan holistic, ada keterkaitan erat antara gerakan Boedi Oetomo 1908, dengan Soempah Pemoeda 1928, dan finalnya adalah proklamasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945 yang juga secara halus berhasil menyingkirkan gerakan pengusung konsepsi agama (Islam) dengan dihapusnya 7 kata dalam piagam Jakarta yang kemudian menjadikan Pancasila sebagai jalan tengah dianggap menjadi hadiah terbesar ummat Islam Indonesia kepada bangsa ini. Ketakutan Belanda serta barat ketika itu Indonesia menjadi negara Islam akhirnya berhasil.

Karena apabila gerakan pengusung konsepsi negara agama (kertagama) ini tidak dihancurkan, dicekal dengan kelompok pengusung konsep nation state, maka Indonesia (seandainya jadi negara Islam) akan menjadi ancaman besar bagi keberlangsungan hegemoni barat ketika itu yang baru saja memenangkan perang dunia kedua. Yang otomatis secara de facto kelompok baratlah yang menjadi penguasa baru dunia.

Kemerdekaan Fase Pertarungan Ideologi Politik VS Pejuang Paska Kemerdekaan

Setelah kemerdekaan Indonesia di proklamirkan pada tanggal 17 agustus 1945. Bukan berarti Indonesia sudah aman dari rongrongan penjajah. Ancaman agresi dan pemberontakan mewarnai Indonesia yang masih bayi dan miskin. Pertarungan ideology konsep negara bergeser menjadi pertarungan pola pengelolaan negara yang sebenarnya masih lanjutan dari konflik pertarungan para pemikir dan aktifis gerakan sebelum kemerdekaan. Kalau boleh penulis menterjemahkan.

Dua kubu yang sejatinya bersiteru adalah antara kubu konservatif (kelompok keagamaan dan raja-raja) dengan kubu nasionalis sekuler (kelompok yang terdidik secara pendidikan barat). Namun tambahannya, didalam kubu konservatif ini tergabung kelompok laskar Hizbullah, tentara santri dibawah kepemimpinan Sudirman. Sedangkan kubu nasionalis sekuler dibawah kelompok Soekarno-Hatta yang diangkat menjadi Presiden dan wakil presiden.
Kelompok konservatif terkenal anti kompromi dan memiliki konsep perjuangan kemerdekaan 100 persen. Sama idealismenya dengan Tan Malaka, tokoh fundamental berhaluan sosialis yang pertama kali menyebut istilah Republik Indonesia.

Sedangkan kelompok nasionalis pengusung konsep nation state terdiri dari para intelektual yang cenderung bergaya politisi yang memilih perjuangan melalui politik perundingan dan diplomasi. Dua kubu ini walaupun punya tujuan yang sama, namun mempunyai pola perjuangan yang jauh berbeda. Kelompok konservatif mempunyai DNA mujahid pejuang yang cenderung berjuang penuh melalui perjuangan fisik (perang) tak mengenal kompromi kepada penjajah. Kelompok nasionalis kebangsaan lebih terbuka dan cenderung suka berkompromi.

Perbedaan pola dan prinsip perjuangan ini puncaknya dapat dilihat ketika terjadi agresi Belanda tahun 1949. Kelompok konservatif memilih melawan dengan senjata dan perang gerilya dibawah kepemimpinan Jendral Soedirman. Kelompok nasionalis kebangsaan memilih ditangkap Belanda dan mau berunding dimeja perundingan.

Artinya, sejak awal negara ini berdiri ‘distorsi’ pola perjuangan kenegaraan ini sudah terjadi lama. Dan kalau kita pahami dan cermati lebih dalam, titik krusial benturan pola perjuangan dua kubu ini adalah, kalau kelompok konservatif menganut azas amar maruf nahi munkar dengan implementasi “ hidup mulia atau mati syahid “.

Artinya kepentingan yang diperjuangkan adalah jamak kepentingan keummatan dengan pendekatan spritualitas keagamaan. Sedangkan kelompok nasonalis kebangsaan azas nya adalah win-win solution dengan implementasi bargaining (kompromistis) dalam rangka mencegah korban atau resiko fisik (tidak suka perang). Jadi sebagai generasi hari ini kita tak perlu heran lagi dengan ‘rumus algoritma’ kondisi politik kenegaraan kita hari ini.

Bahwa yang lazim terjadi itu dalam kultur politik nation state, dimana pada ujungnya nanti selalu culture politik selalu ‘bargaining’ alias politik kompromi. Itu sudah DNA dan algoritma nya terbentuk seperti itu. Akhirnya bagi yang idealis, keras dengan pola koservatif hitam-putih (salah dan benar amar maruf nahi munkar) selalu akan tersingkir dari pusaran kekuasaan dan negara. Karena DNA politik itu adalah kepentingan alias win-win solution. Berkaca mata dengan kondisi ini akhirnya rezim politik semakin mengakar mengendalikan arah negara yang memang menganut paham nation state. Politik menjadi panglima.

Kemerdekaan Face Reformasi Politik Menuju Super Liberal

Sudah menjadi rahasia umum sebenarnya tidak ada istilah reformasi pada tahun 1998. Tapi yang terjadi itu adalah soft revolution dalam arti suksesi pergantian kepemimpinan di Indonesia secara paksa melalui kedok reformasi. Kondisi Soeharto yang semakin hari dekat dengan ummat Islam dan sulit dikendalikan kelompok tertentu, dianggap ancaman karena bisa menjadikan Indonesia sebagai negara maju dan kuat. Tentu hal ini tidak disukai pihak luar.

Lalu dengan scenario krisis moneter, memanfaatkan emosional pembalasan dendam anak-anak PKI yang selama orde baru dihabisi Soeharto, bekerja sama dengan para komprador oppurtunis elit ketika itu, akhirnya orde baru yang sempat digjaya selama 32 tahun tumbang. Dan masuklah era sekarang ini yang dinamakan era reformasi super liberalis. Kenapa super liberalis, karena amandemen terhadap UUD 1945 sebanyak empat kali telah memporak porandakan sendi negara Indonesia sehinga lari dari orbit seharusnya.

Pilkada langsung dan Pilpres langsung hanya berujung pada pemborosan anggaran dan perpecahan tajam sesama anak bangsa. Kesejahteraan dan kebebasan yang dulu tahun 1998 digembar gemborkan saat ini hanya menjadi isapan jempol belaka. Korupsi pun seakan tak ada habisnya. Asing semakin digdaya menguasai hampir seluruh sumber daya.

Buktinya, baru saja tokoh partai Nasdem Surya Paloh yang jelas pengusung pemerintahan hari ini mengeluarkan statemen bahwa, “ Indonesia sekarang ini adalah penganut paham kapitalis liberalis. Tetapi masih mengaku negara Pancasila “. Sontak saja pernyataan ini menghasilkan banyak tanggapan pro dan kontra.

Kalau kita berbicara tentang tatanan kapitalis liberalis, berarti boleh dikatakan penguasa sebenarnya bangsa ini adalah para kelompok pemodal dan taipan. Yang berkolaborasi dengan para politisi dan penguasa. Termasuk aparat didalamnya. Kalau sudah begini kondisinya, apakah masih kita akan teriak merdeka ? atau kita teriak merdeka itu karena kita aslinya memang belum merdeka ? Jadi kemerdekaan yang kita rebut dari penjajahan itu untuk siapa ? apakah rakyat ikut menikmati ?

Kesimpulan Kemerdekaan Hari Ini

Dari pemaparan diatas akhirnya kita dapat menyimpulkan bahwa, dari theory paradigma negara kalau kita komparasikan kepada empat fase kemerdekaan diatas maka hasilnya akan dapat kita simpulkan. Pertama, titik capaian tertinggi “strong state” itu justru terjadi pada fase kemerdekaan kerajaan nusantara berdiri. Jangankan pada fase dua dan tiga, pada fase empat pun dimana setelah 21 tahun kita menjalankan reformasi masih berkutat pada tahapan “over night state” dan “walfare state”. Bukti konkritnya adalah, kalau kita kaitkan dengan amanah konstitusi bahwa negara wajib melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, faktanya yang kita dapatkan ketika 700 orang petugas KPPS meninggal waktu Pilpres negara bungkam dan diam.

Ratusan demonstran dianiaya dan bahkan ada yang tewas akibat penganiayaan (anak dibawah umur) negara diam. Di Papua masyarakatnya diteror, banyak prajurit gugur ditembaki saparatis OPM negara masih anggap itu tindakan criminal biasa. Barang import membunuh produk lokal, star up dan unicorn market place asing menyedot sumber daya beli masyarakat keluar negeri negara tak mampu berbuat apa-apa. Bahkan ketika TKA asing merebut jatah pekerja anak bangsa yang akhirnya banyak jadi pengangguran sarjana jadi tukang ojek negara acuh tak menentu. Ini bukti negara tak mampu melindungi bangsa dan tumpah darahnya.

Apalagi kalau kita berbicara kesejahteraan. Stunting diera modern masih terjadi adalah akibat negara terlambat hadir memberikan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Lebih 6 juta TKI menjadi buruh rumah tangga hampir sama dengan jadi budak dinegeri orang menunjuk kan negara gagal memberikan solusi dan lapangan pekerjaan bagi rakyatnya. Banyak lagi kalau kita sebutkan.

Artinya, disaat gegap gempita meriah umbul-umbul perayaan HUT kemerdekaan yang ke 74 ini, kita merayakan kemerdekaan untuk siapa ? Sudahkah kita merdeka ? Jadi untuk itulah pada kesempatan ini penulis berkewajiban menyampaikan beberapa hal krusial tentang menjawab kemerdekaan itu sebenarnya untuk siapa sebagai berikut :

Pertama, penulis tidak peduli dan bukan dalam rangka membenturkan antara kelompok konservatif agama dan kelompok nasionalis kebangsaam tadi. Cuma penulis menagih kepada kelompok nasionalis kebangsaan yang menjustifikasi diri dan kelompoknya paling Pancasila, mana hasil kerja dan karyanya untuk kesejahteraan bangsa ini. Sudah 74 tahun negeri ini merdeka, dibawah konsep kenegaraan yang diusung ternyata nasib bangsa ini belum lepas dari belenggu neo kolonialisme bangsa asing.

SDA lebih banyak dikuasai asing. Hutang semakin menggunung dan diambang batas mengerikan. Kekayaan bangsa ini dikuasai hanya segelintir orang minoritas. Hukum diskriminatif, ketidak adilan terjadi dimana-mana, Narkoba meraja lela, korupsi dimana-mana, penyakit masyarakat LGBT semakin parah. Karakter bangsa bergeser menjadi super liberal dan super hedonis. Artinya, konsep kenegaraan kelompok nasionalis kebangsaan ini boleh kita anggap menuju kegagalan akut kalau tidak segera diperbaiki. Kegagalan ini jangan ditutupi dengan menyeret-nyeret agama seolah jadi ancaman buat negara. Ini keterlaluan dan kurang ajar namanya.

Kedua, kemerdekaan itu adalah hak dari segala bangsa. Termasuk dalam hal menjalankan ibadah menurut agama dan kepercayaannya masing-masing. Sesuai dengan Sila pertama Pancasila dan pasal 29 (ayat) 2 UUD 1945. Artinya, cukup sudah upaya Islamphobia yang seakan sengaja dipropagandakan. Permasalahan bangsa kita hari ini sangat multi komplek.

Jangan salahkan agama dan dikambing hitamkan. Islam adalah pemeluk agama mayoritas dinegeri ini. Dan negara ini ada adalah karena sumbangsih para ulama, kiyai, dan mujahid para pendahulu kami. Terima fakta ini dengan lapang dada. Jangan pernah bermimpi mau menghilangkan Islam dari bumi nusantara ini seperti Andalusia, Manila, atau Singapore.

Nenek moyang ummat Islam di Indonesia sudah terlatih dan pernah terbukti berhasil mengusir penjajah kafir barat, mengusir tentara china kiriman khubilai khan, menumpas komunisme sampai ke akar-akarnya. Jadi cukup hentikan upaya membenturkan agama Islam dengan negara dengan isu murahan radikalisme, anti Pancasila, dan anti kebhinekaan. Karena Indonesia ini masih ada sampai sekarang karena mayoritas penduduknya adalah muslim yang baik.

Ketiga, kalau ingin merdeka seutuhnya caranya sederhana saja. Mari kita kembalikan kehidupan bernegara kita kepada Pancasila secara kaffah. Yang seharusnya kita tuntut dan tagih implementasi nilai Pancasila itu dari pemerintahan hari ini. Bukan pemerintah yang tagih rakyatnya. Apakah pemerintah hari ini sudah sejalan dengan Pancasila ? Atau Pancasila versi pemerintah itu sudah benar atau tidak ? mari jujur kita telaah dengan seksama bahwasanya, bangsa kita hari ini sudah jauh dari nilai Pancasila.

Seperti contoh. Sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, seharusnya negara menjadikan agama sebagai sumber solusi dengan meningkatkan nilai spritualitas kebangsaan dan aparatur. Tetapi yang terjadi negara seolah dibenturkan dengan agama. Dan tegas penulis sampaikan negara kita hari ini sudah menjadi negara sekuler (memisahkan kehidupan dengan agama) betulkan ? . Sila kedua Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Artinya, negara menjunjung tinggi nilai kemanusiaan berdasarkan nilai, norma yang beradab.

Tetapi faktanya kemanusiaan kita versi HAM import dari luar yang sebenarnya bahasa lain dari kebebasan (liberalisme). Sila ketiga Persatuan Indonesia, dimana NKRI harga mati menjadikan kita bersatu dalam satu kebersamaan dan nasib satu bangsa. Tetapi faktanya kita hari ini terkotak-kotak kedalam jurang politik kelompok, otonomi kedaerahan (ego primordialisme). Sila ke empat, Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmah Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan dan Perwakilan. Faktanya hari ini, negara kita menerapkan system “one man one vote” alias voting. Tak ada lagi tradisi musyawarah untuk mufakat melalui keterwakilan. Terakhir sila kelima, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Faktanya hari ini, negara ini dikuasai oleh oligarki elit partai politik, pengusaha elit minority (konglomerat) dan apparat. Banyak terjadi ketimpangan dalam kehidupan social ekonomi masyarakat. 5 persen manusia Indonesia menguasai 80 persen ekonomi bangsa. Ini sangat tidak adil. Lalu apakah kita masih sanggup berkoar saya Pancasila ?

Usia 74 tahun menurut penulis seharusnya sudah menjadi usia yang cukup matang bagi sebuah bangsa yang bernama Indonesia. Penulis hanya bisa berharap dan menghimbau kita semua, tidak ada sebaik kata mari kita rapatkan barisan sebagai anak bangsa yang lahir, tumbuh, hidup dan mati di bumi nusantara ini. Mari kita jadikan perbedaan sebagai rahmad agar kita saling mengenal dan bersinergi. Bukan untuk saling menguasai dan mencaci maki.

Hanya dengan persatuan dan kesatuan bangsa ini bisa bangkit dan benar benar merdeka. Yang mayoritas saling menghormati minoritas. Yang minoritas juga harus tahu diri. Mari kita ciptakan Indonesia yang merdeka dari segala bentuk hutang, merdeka dari kemiskinan, merdeka dari kebodohan, merdeka dari tekanan dan dikte bangsa luar terhadap kedaulatan kita. Kalau ini terlaksana, barulah kita dapat menyatakan bahwa kemerdekaan itu sejatinya untuk seluruh rakyat Indonesia dibawah payung panji Pancasila dan UUD 1945. Insya Allah. **

(Jakarta 17 Agus 2019, Penulis adalah Alumni PPRA LVIII Lemhannas RI Tahun 2018).