MK Benteng Terakir Trias Politika di Indonesia

OPINI & ARTIKEL35 Dilihat

Oleh : Anton Permana.

Perlu apresiasi ketika kubu 02 akhirnya memilih jalur legal konstitusional melakukan penolakan atas hasil Pilpres ke Mahkamah Konstitusi, pasca rusuh 21-22 mei yang memakan korban jiwa dan ratusan luka-luka kemaren. Karena secara legal konstitusi, untuk tahapan sekarang ini hanya MK (Mahkamah Konstitusi) tempat muara terakhir untuk meminta keadilan dalm proses pemilu dan pilpres 2019 pasca hasil keputusan ‘basa-basi’ Bawaslu kemaren.

Walaupun banyak pihak meragukan tentang indepedensi Mahkamah Konstitusi sekarang ini. Karena MK bukanlah seperti MA. MK lahir dari rahim reformasi yg 9 hakimnya di tunjuk berdasarkan yudisfaksi. Yaitu, 3 orang berasal dari usulan DPR RI, 3 orang usulan pemerintah (Presiden), dan 3 orang lainnya atas usulan Mahakamah Agung. Nah dari irisan 3 pengusul inilah, menjadi dasar kenapa banyak publik meragukan indepedensi para hakim MK. Ditambah melihat “ trade record “ pemerintahan sekarang ini yang tanpa pandang bulu agresif melakukan penetrasi kepada siapa saja untuk memuluskan semua kepentingannya tanpa batas.

Namun, sebagai warga negara yg baik tentu kita mesti tetap optimis dan memang harus optimis. Walaupun upaya dramatikal tentang membangun agar publik percaya kepada MK sudah dimulai melalui pidato pelantikan ketua MK Dr Anwar Usman beberapa hari yg lalu.

Sebuah pidato, yang sedikit memberikan hawa sejuk, setitik cahaya harapan kepada para penuntut keadilan. Sebuah narasi pidato yang kalau memang itu sebenarnya lahir dari lubuk hati yang dalam, serta mampu di implementasikan akan sangat dahsyat dan pasti akan dapat membersihkan kembali carut marut wajah hukum dan peradilan di Indonesia sekarang ini.

Untuk itulah penulis pada kesempatan ini, masih mencoba memberikan sebuah semangat dan motivasi kepada kita semua, bahwa masih ada harapan, masih ada satu lagi tahapan yang mesti di lalui oleh para pendukung 02 untuk memperjuangkan hak dan keadilan mereka. Karena putusan MK ini bersifat final dan mengikat. Artinya, tidak ada lagi upaya hukum legal konstitusional setelah melalui proses peradilan di MK ini. Dan mesti di ingat, MK juga dapat melakukan terobosan hukum atau putusan yg bersifat ‘ ultra petita ‘. Yaitu putusan yang dapat melampaui dari gugatan pihak penggugat.

Namun perlu kita garis bawahi, secara sistem bernegara, MK adalah salah satu bahagian dari trias politika yang di anut oleh negara Indonesia. Apa itu trias politika ? Yaitu, sebuah entitas utama dalam negara demokrasi yang membagi kekuasaan dalam pengelolaan negara itu menjadi tiga yaitu ; Eksekutif (Pemerintah), Legislatif (DPR), dan Yudikatif (Penegak hukum dan pengadilan).

Kenapa judul diatas penulis sebut MK sebagai benteng terakhir masih berjalannya trias politika ini di Indonesia ? Karena dalam pengamatan penulis, trias politika secara berangsur/angsur namun pasti telah mati suri. Roda kekuasaan yang berjalan hari ini sangat jauh dari konsepsi dan implementasi dari trias politika itu sendiri. Dengan argumentasi sebagai berikut :

1. LEGISLATIF, yang semestinya mempunyai 3 (tiga) wewenang seperti legislasi, budgeting, dan pengawasan seolah hanya menjadi ‘tukang stempel’ dari apa yang dikehendaki oleh pemerintah hari ini.

Lihatlah proses penegakan hukum, budgeting, hutang, kebijakan zig-zag dari seorang Presiden yang banyak melakukan manuver berbahaya terhadap keutuhan dan keberlangsungan bangsa ini seolah dibiarkan begitu saja.

Sistem koalisi partai, plus bagi-bagi kursi menteri telah membentuk sebuah koalisi yang tidak sehat dalam pengelolaan pemerintahan yang seharusnya tetap ada ‘check and balancing’ dari setiap kebijakan pemerintah.

Masih untung ada sosok Fadli Zon dan Fahri Hamzah yang berani bersuara dan mengkritisi pemerintah. Tapi apa daya, sebagai orang yg dianggap berada diluar koalisi pemerintahan, suara mereka kadang dianggap sebagai angin lalu saja.

Lihat juga dalm proses penyelenggaraan pemilu dan pilpres hari ini. Sudah sedemikian terjadi berbagai bentuk kecurangan, pelanggaran oleh intitusi pemerintah secara vulgar dan telanjang, boleh tak ada tindakan nyata dari pihak DPR untuk memanggil, menegur, atau menindak lanjuti setiap laporan dan pengaduan masyarakat. Bahkan untuk membentuk Tim Pencari Fakta atas jatuhnya korban nyawa dari petugas pun mereka tidak berdaya. Ini adalah wajah legislatif kita hari ini.

2. Seolah tidak ada pemisahan antara kedudukan institusi Polri dengan pemerintah dalam hal ini presiden. Keberpihakan institusi ini kepada salah satu paslon pilpres sangat kentara. Tidak saja dugaan mobilisasi massa secara berjenjang yang dilakukan oleh masing komandan satuan wilayah dibeberapa tempat, institusi ini juga larut dalam permainan politisi istana yg memainkan peran ganda dalam menggunakan status antara presiden dan capres ketika Pilpres.

Institusi aparatur yang seharusnya netral dalam politik praktis. Akhirnya terseret jauh kedalam pusaran permainan politik istana. Hasil ‘main mata’ para oknum elit masing pimpinan institusi. Standar ganda status antara capres dan presiden oleh satu orang yg sama, menjadi celah instrumen dalam suksesi dan pengamanan salah satu kandidat (statuta presiden sebagai symbol negara). Padahal dia salah satu kandidat. Ini tentu sangat merusak tatanan demokrasi kita yang berazaskan luber dan jurdil.

Akhirnya yang terjadi di lapangan adalah, diskriminasi penindakan hukum yang tebang pilih. Ketika yang berbuat kesalahan itu bersebrangan dengan penguasa maka akan di proses secepat kilat. Tidak hanya itu saja, bahkan siapapun yang bersuara lantang yang bersebrangan dengan kepentingan penguasa maka akan di cari/cari kesalahan ya untuk kemudian di panggil, dan akhirnya ‘di amankan’ dengan berbagai pasal alasan.

Tetapi sangat berbeda ketika yang melakukan pelanggaran hukum itu dari pihak pro penguasa, maka semua aman dan dilindungi dengan berbagai macam dalih serta alasan. Sangat banyak contoh dan fakta akan hal ini.

3. Ada pergeseran pemahaman antara pemerintah, negara, dan penguasa. Sekarang yang terjadi itu adalah, penguasa (yang dipilih melalui jangka waktu tertentu) sudah merasa dirinya adalah sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari negara. Penguasa, pemerintah, dan negara seakan menjadi satu kesatuan utuh. Dimana konsekuensinya adalah, siapa yang bersebrangan dengan kelompok ini mudah dijadikan menjadi musuh negara. Rakyat kecil pun mereka perlakukan seperti itu.

Pemahaman ini tentu sangat keliru dan berbahaya. Pergeseran pemahaman ini mesti segera diluruskan kembali. Karena akan rawan terjadi ‘abuse of power’ oleh penguasa. Alat negara yang seharusnya berdiri netral ditengah seperti ASN/TNI/POLRI rentan berubah jadi alat kekuasaan.

Infrastruktur pemerintahan dan sumber daya negara akhirnya rentan menjadi seolah total milik penguasa tanpa batas hukum, norma dan pancasila.

Sedangkan kita tahu, sebagai negara demokrasi Indonesia menganut paham kedaulatan tertinggi berada ditangan rakyat. Melalui apa ? Yaitu melalui konstitusi. Yakni UUD 1945 dan Pancasila. Nilai ini yang seharusnya menjadi kedudukan tertinggi dalam acuan menjalankan kekuasaan. Karena secara filsafat hukum, konstitusi negara itu dibuat adalah untuk mengekang kekuasaan.

4. MK dalam hal ini harus berani untuk mengembalikan wibawa hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita hari ini. MK harus berpatokan kepada azas, norma, dan konstitusi negeri ini. MK tidak boleh tunduk kepada segala bentuk intervensi, penetrasi, dan infiltrasi kepentingan politik praktis.

MK adalah harapan terakhir bangsa ini untuk pemahaman, apakah masih berjalannya trias politika di Indonesia. Walaupun itu sangat berat, dan pasti berat dilaksanakan.

Yang dituntut rakyat hari ini bukan lagi berbicara numeric angka dan siapa yang menang. Tetapi bagaimana sebuah kejujuran, keadilan, azas, serta norma hukum masih hidup dinegeri ini.

Buat apa kita bicara sebuah angka/angka kalau angka tersebut dihasilkan dari sebuah proses yang jauh dari nilai kejujuran, keterbukaan, dan keadilan.

Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi nilai hukum. Hukum seharusnya dapat menjadi panglima dinegeri ini. Hukum tidak boleh tunduk kepada kekuasaan. Kekuasaan itulah yang harus tunduk kepada hukum.

Walaupun banyak pihak yang pesimis MK TIDAK akan kuat terhadap tekanan dan infiltrasi kekuasaan dalam memutuskan perkara sengketa Pilpres ini, penulis tetap beranggapan, tak ada kata sebaik mari kita lihat dan buktikan bersama, mari kita tunggu dan saksikan proses persidangan dan hasil final MK nantinya. Disitulah baru kita dapata meyimpulkan bahwa, apakah trias politika itu masih berjalan di Indonesia. Trias politika sebagai entitas utama dari sebuah negara demokrasi masih hidup atau tidak dinegeri kita..?? Biar waktu yang akan menjawabnya.

Untuk itu mari kita berdoa, semoga apapun hasilnya nanti di MK, itulah hasil terbaik untuk saat ini. Apapun hasilnya nanti, setiap warga negara yang baik wajib menerimanya. Karena hasil putusan MK nanti final dan mengikat. Tak ada upaya hukum lagi setelah ini. Dan mari kita bersatu kembali menjadi satu bangsa, satu persaudaraan, satu semangat untuk Indonesia yang lebih baik. Karena Indonesia ini akan selalu ada oleh persatuan dan kesatuan bangsanya. InsyaAllah.