Pemilu 2024 dan Kompetisi Antarpartai

OPINI & ARTIKEL167 Dilihat

Persaingan partai politik semakin ketat. Partai politik harus membuat strategi yang inovatif untuk mendapatkan suara pemilih. Salah satu langkah yang bisa dilakukan yaitu menunjukkan komitmen partai pada isu strategis.

Adaptasi politik dan desain kebijakan yang inovatif perlu dilakukan partai politik untuk bisa bertahan dan meningkatkan suara pada Pemilu 2024 nanti.

Bila terlambat melakukan adaptasi, partai politik berisiko mengalami penurunan suara. Apalagi saat ini telah terbentuk stabilitas dukungan pemilih pada partai.

Hasil survei teranyar Litbang Kompas (2023) menunjukkan perolehan suara partai-partai masih dinamis menjelang pemilu nanti dan posisi tiga besar diisi PDI Perjuangan (PDI-P), Gerindra, dan Golkar.

Dalam Pemilu 2024 yang akan kompetitif, daya tahan partai politik akan ditentukan oleh seberapa cepat partai merespons perubahan perilaku pemilih serta kecenderungan situasi domestik dan global yang berubah dengan cepat.

Setidaknya ada tiga kecenderungan yang diprediksi yang akan terjadi dalam Pemilu 2024 nanti, antara lain stabilitas suara diprediksi akan terjadi pada partai-partai besar, naik-turun dan volatilitas suara akan terjadi pada partai-partai menengah-kecil, serta diprediksi cukup tingginya angka early voters (pemilih yang sudah menentukan pilihannya lebih awal) sebelum masa kampanye dimulai.

Dengan kondisi di atas, partai harus mengimplementasikan strategi elektoral dan kebijakan politik yang tepat untuk bisa mempertahankan atau meningkatkan suara di pemilu nanti.

Apalagi dengan jumlah peserta pemilu yang akan lebih banyak dari Pemilu 2019, dari 16 peserta pemilu (2019) menjadi 18 partai peserta pemilu (2024). Pada saat yang sama partai juga harus bertarung dengan sempitnya waktu kampanye yang hanya 75 hari.

Tulisan ini menganalisis kecenderungan dan tantangan yang akan dihadapi partai dan bagaimana partai sebaiknya menyiapkan strategi bertahan di pemilu yang kompetitif.

Dalam Pemilu 2024 yang akan kompetitif, daya tahan partai politik akan ditentukan oleh seberapa cepat partai merespons perubahan perilaku pemilih serta kecenderungan situasi domestik dan global yang berubah dengan cepat.

Stabilitas suara

Pelaksanaan lima kali pemilu sejak reformasi (1999, 2004, 2009, 2014, 2019) memengaruhi terbentuknya soliditas suara pemilih pada partai politik.

Soliditas pemilih ini membuat terjadinya stabilitas suara partai. Stabilitas dukungan suara partai terbentuk karena kondisi demokrasi yang kian matang setelah transisi demokrasi dalam satu dekade dan performa ekonomi yang baik (Tavits, 2005). Perubahan suara secara signifikan hanya dapat terjadi bila terdapat kejadian politik yang luar biasa, seperti reformasi 1998 dan kasus korupsi.

Pelaksanaan pemilu yang teratur dan kompetitif membuat terbentuknya basis dan jangkar pemilih partai politik.

Dalam kasus Indonesia, kita telah melaksanakan lima kali pemilu demokratis yang kompetitif, serta performa ekonomi yang terus membaik. Dari sisi pencapaian ekonomi, data Bank Dunia (2022), misalnya, menunjukkan posisi Indonesia sebagai negara dengan ekonomi terbesar ke-10 dalam aspek paritas daya beli.

Selain itu, tingkat kemiskinan juga mengalami penurunan secara signifikan dalam 20 tahun terakhir menjadi di bawah 10 persen pada tahun 2019.

Stabilitas suara diprediksi akan terjadi pada partai-partai besar yang dalam tulisan ini didefinisikan sebagai partai yang mendapatkan suara di atas angka rata-rata suara partai yang lolos ke DPR (sembilan partai), yaitu yang mendapatkan suara di atas 10 persen.

Ketiga partai yang suaranya di atas 10 persen dalam Pemilu 2019 ialah PDI-P 19,33 persen; Gerindra 12,57 persen; dan Golkar 12,31 persen.

Apabila mengacu pada data dari pemilu-pemilu sebelumnya, perolehan suara ketiga partai tersebut juga cukup stabil, meskipun terjadi fluktuasi suara, tidak terlalu besar.

Stabilitas suara tersebut juga tampak dari kemampuan partai mempertahankan perolehan kursi-kursi partai pada tingkat daerah pemilihan (dapil). Pada sebagian besar dapil di Indonesia (80 dapil pada Pemilu 2019), tidak terjadi pergeseran atau perubahan secara signifikan kursi yang didapatkan partai politik.

Sebagai contoh, partai yang sudah mendapatkan kursi pada suatu dapil dalam dua atau tiga kali pemilu sebelumnya, kemungkinan akan dapat mempertahankan kursinya kembali.

Faktor penjelas lainnya dari stabilitas suara partai-partai besar adalah infrastruktur dan jaringan partai yang sudah mapan, manajemen dan kaderisasi partai yang baik, serta jumlah elite dan anggota partai yang menjadi pejabat publik.

Pada partai menengah, fluktuasi dan volatilitas suara diperkirakan masih akan terjadi. Dalam tulisan ini didefinisikan sebagai partai yang mendapatkan suara di atas angka rata-rata perolehan semua partai politik peserta pemilu (16 partai), yaitu mendapatkan suara di atas 6,24 persen

Terdapat lima partai menengah dengan perolehan suara di atas 6,24 persen, yaitu PKB, Nasdem, PKS, Demokrat, dan PAN. Sementara partai kecil adalah partai yang mendapatkan suara di bawah angka 6,24 persen. Kondisi yang sulit terjadi pada partai kecil yang perolehan suara di bawah 6,24 persen, yaitu PPP dan enam partai lain yang tidak lolos DPR RI.

Dengan kondisi elektoral seperti di atas, artinya ceruk pasar pemilih yang akan diperebutkan oleh partai-partai politik akan semakin mengecil dan partai harus membuat terobosan yang inovatif untuk mendapatkan suara pemilih.

Kedekatan pemilih

Partai politik juga akan menghadapi ujian politik untuk mendekatkan diri kepada pemilih dan perilaku pemilih yang cenderung akan mengalihkan dukungan berdasarkan preferensi sosial dan politiknya.

Dengan party-id (identifikasi diri pemilih ke partai) yang lemah akan menyulitkan partai untuk meyakinkan pemilih. Data survei longitudinal SMRC menunjukkan bahwa dalam sepuluh tahun terakhir rata-rata party-id hanya sebesar 10,02 persen (SMRC, 2022).

Kondisi lainnya yang mengharuskan partai untuk berbenah adalah kondisi ceruk pasar pemilih, terutama terkait peralihan dukungan pemilih. Riset CSIS (2019) menemukan bahwa faktor ideologi/platform partai bisa memengaruhi pera- lihan dukungan suara pemilih.

Kecenderungannya pemilih akan mengalihkan dukungannya kepada partai dengan platform ideologi yang sama. Pemilih partai berbasis nasionalis akan cenderung mengalihkan dukungan kepada partai berbasis nasional. Begitu juga dengan pemilih partai berbasis agama, akan cenderung mengalihkan dukungan pada partai dengan ideologi yang sama.

Memang terdapat juga pemilih yang ideological shifts, tetapi jumlahnya tak banyak. Kecenderungan lainnya ialah jumlah early voters yang cukup besar.

Infografik Elektabilitas Partai Politik

Di sisi pemilih juga terjadi perubahan, baik perubahan demografi pemilih maupun perubahan perilaku pemilih. Saat ini jumlah pemilih muda yang berusia 17-39 tahun diprediksi akan mencapai 60 persen (CSIS, 2022). Dan, menjelang pemilu nanti, situasi pemilih muda akan kian dinamis, adaptif, dan terkoneksi pada isu-isu kontemporer pada tingkat domestik dan global.

Pemilih muda yang dinamis tersebut tampak dari ketertarikan pemilih muda pada isu-isu baru. Survei CSIS pada populasi yang berusia 17-39 tahun menemukan tingginya ketertarikan pemilih muda terhadap isu-isu ekonomi, pemberantasan korupsi, perubahan iklim, dan isu lingkungan.

Dari sisi karakter kepemimpinan nasional juga terjadi perubahan apabila dibandingkan dengan Pemilu 2019. Survei CSIS (2022) menemukan pergeseran ketertarikan pemilih muda terhadap kepemimpinan nasional dari karakter pemimpin yang merakyat dan sederhana menjadi pemimpin yang jujur dan antikorupsi.

Pada survei April 2019 (sebulan sebelum pilpres), 39,2 persen pemilih muda menyukai pemimpin yang sederhana dan merakyat dan hanya 11,1 persen yang menyukai pemimpin yang jujur dan antikorupsi. Perubahan drastis terjadi pada survei Agustus 2022, di mana 34,8 persen pemilih muda menyukai pemimpin yang jujur dan antikorupsi dan hanya 15,9 persen yang menyukai pemimpin yang sederhana dan merakyat.

Perubahan selanjutnya adalah penetrasi internet yang mengalami peningkatan secara signifikan pada pemilih muda dibandingkan dengan empat tahun terakhir, yaitu dari 86,2 persen pada 2018 menjadi 93,5 pada 2022 (CSIS, 2022).

Survei CSIS (2022) menemukan pergeseran ketertarikan pemilih muda terhadap kepemimpinan nasional dari karakter pemimpin yang merakyat dan sederhana menjadi pemimpin yang jujur dan antikorupsi.

Respons Partai

Di tengah situasi pemilu yang dinamis dan kompetitif serta adanya kecenderungan stabilitas suara, partai harus menyiapkan kerangka kebijakan baru dalam pertarungan politik elektoral. Kerangka kebijakan baru tersebut harus menunjukkan komitmen partai pada persoalan publik yang tengah terjadi dan isu-isu strategis lainnya.

Langkah yang dapat diambil antara lain menunjukkan posisi partai secara jelas pada isu-isu kebijakan strategis di bidang ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan lingkungan; mendorong penguatan program-program pencegahan dan pemberantasan korupsi; memastikan tersedianya lapangan kerja dan memperkecil ketimpangan ekonomi di masyarakat; serta mendorong politik afirmasi bagi politisi muda yang bertalenta dan berkualitas.

Hanya dengan melakukan terobosan kebijakan yang inovatif, partai politik dapat bertahan atau meningkatkan suaranya bila tidak mau mengalami penurunan suara.

(Arya Fernandes Ketua Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS, tulisan ini sudah terbit di Harian Kompas)