Keterlaluan….!!! UU, KUHAP, KUHP, Perkapolri, Polri Presisi Dibuat Tidak Berarti, Bahkan Bidpropam Salah Dalam Memahami “Ne Bis In Idem”

BERITA UTAMA, TERBARU4579 Dilihat

KabarDaerah.com – Jendral (Pol) Listyo Sigit Prabowo sudah berulang ulang minta anggotanya diseluruh Indonesia untuk taat pada aturan hukum yang berlaku.

Kepada pimpinan, setiap Polres, Polda telah ditugaskan untuk mengatur anggotanya. Berbagai hal sudah dilakukan, siapapun pimpinan Polda, selama membenarkan pelanggaran yang terjadi, UU dilanggar, tidak menjamin anggota Polda sumbar yang lain akan taat pada aturan dan UU yang seharusnya diikuti.

Sebagai contoh MELAPORKAN TINDAK PIDANA ke Kepolisian. Ketika UU tidak dipedomani, Polda justru memakai Perkabareskrim. Berdasarkan Perkabareskrim, diadakan klarifikasi berulang-ulang. Klarifikasi justru tidak dihadiri terlapor sebagai pelaku.

Program Kapolri untuk melakukan transformasi Polri menjadi Polri presisi, sepertinya belum berarti bagi oknum oknum di Polda Sumbar, ketika sebagian anggota Polda Sumbar sepakat untuk melindungi KEPP yang dilakukan rekan rekan sejawat mereka, tentunya sulit untuk diungkap.

Dalam hal ini, tentunya butuh kejujuran dari anggota Polri, bahkan Kapolda Sumbar seakan diam dengan kejadian ini, Kapolda Sumbar bahkan tidak bersedia ditemui pelapor, padahal Kapolda sebagai “raja” sudah mengetahui semua yang terjadi, kami sudah berikan mulai dari kronologis sampai pada surat tanggapan, beliau sengaja mendiamkan atau pura pura tidak tahu.

Kapolda beranggapan seakan proses hukum telah berjalan dengan baik, masyarakat telah diberikan pelayanan. padahal melapor berdasarkan UU sengaja dialihkan ke pengaduan, bukankah ini pelanggaran KEPP..??

Perkabareskrim yang dijadikan sebagai dasar penerimaan laporan.

Dalam pelaksanaannya justru Perkabareskrim memberikan celah yang bisa dimanfaatkan, ketika dilakukan oleh oknum oknum pelaku penyimpangan.

Khususnya di Reskrimum, mereka lebih leluasa memakai SOP tersebut, dari pada melakukan penyelidikan dan penyidikan, kecuali pelapor telah melakukan koordinasi. Untuk itu saya punya rekaman suara terkait perkara yang tidak diproses Polda Sumbar.

Katakanlah sebuah laporan kejahatan(tindak pidana) kepada SPKT Polda Sumbar, saat diklarifikasi, pelapor dihajar bersama sama dengan berbagai pertanyaan yang membuat pelapor merasa terancam.

kejadian tersebut, akhirnya masyarakat trauma, sehingga laporan terhalang, hal ini sudah 17 kali dilakukan ketua FRN DPW Sumbar.

Sampai sampai petugas SPKT terpaksa menjawab dengan mengatakan yang sebenarnya, bahwa tugas mereka hanya menerima laporan, dan bisa dilakukan setelah piket reskrim setuju.

Ketua LSM KOAD yang juga ketua Persatuan Wartawan Fast Respon Nusantara(Fast Respon Counter Polri)DPW Sumbar, menyayangkan hal tersebut terjadi. bahkan bukan hanya sekali, kejadian ini sudah terjadi berulang-ulang, tidak kurang 45 peristiwa pidana telah dilaporkan, semua kandas terhalang kepentingan.

Disatu sisi Perkabareskrim dimaksudkan untuk memperkecil volume laporan yang tidak terproses baik di Polsek, Polresta seluruh daerah serta Polda Sumbar sendiri.

Tetapi, sadar atau tidak, bahwa Perkabareskrim telah mengahalangi masyarakat untuk melapor. karena dipahami berbeda oleh oknum penyidik Polri.

Penjabat utama tidak mungkin tidak mengetahui, ketika anggota tidak menerima laporan. Pejabat Utama Polda terlihat diam. Sedangkan, melapor adalah amanah dari UU khususnya pasal 108 KUHAP, sedangkan Perkabareskrim hanya aturan internal Polri yang berlaku di internal Reskrimum Polri,  sebagai Standar Operation Prosedur dalam penerimaan laporan. seharusnya UU KUHAP yang menjadi acuan Polda Sumbar. apapun aturan yang dibuat, selama melaporkan tindak pidana terhalang, tentunya adalah sebuah pelanggaran UU. pelanggaran UU adalah pelanggaran KEPP.

Banyak masyarakat yang tidak paham dengan aturan dan UU, sehingga mereka mendiamkan hal ini terjadi, akan berbeda ketika seorang ketua LSM dan ketua Perkumpulan Wartawan Fast Respon Counter Polri yang dijegal. Polda Sumbar bisa bisa keteteran untuk mencari alasan pembenaran.

Ketika proses hukum yang dijalani berbeda, masyarakat kesulitan ketika Polri mengharuskan adanya keterangan ahli, keterangan ahli tentu ada suatu nilai yang harus dibayar. dengan kata lain, ketika proses hukum dilakukan diluar ketentuan aturan UU negara, dapat dipastikan laporan akan terhalang, sebagaimana LP/B/28/II/SPKT Polda Sumbar.

Kita menyesalkan kenapa penyidik Polda Sumbar tidak punya kemampuan dalam mengungkap perkara…??

Ternyata setelah hampir 3 tahun mengikuti proses yang dipersyaratkan, akhirnya pelapor menyurati Kapolri, Kompolnas RI dan Ombudsman RI. pelapor berharap perkara ini diproses dengan benar sesuai aturan dan UU.

Ketika oknum pelaku penyimpangan masih dibiarkan bebas menghalangi, tentunya percuma, intitusi Polri di danai dengan dana besar oleh negara. Ketika Polri tidak mampu mengungkap kejahatan yang terjadi dimasyarakat. tentu artinya anggota anggota Polri yang ditugaskan oleh negara tidak profesional. Apalagi setelah 17 kali mendatangi SPKT untuk melapor, hanya satu kali yang diterima, itupun setelah Kapolda Sumbar memerintahkan AKBP (Pol) Rooy Noor SIK MH menproses laporan kamiselain itu Pelapor juga telah menyurati Kapolda Sumbar dengan 36 pucuk surat.

SPKT Polda Sumbar menerima laporan Bypass Teknik, sepertinya tidak sejalan dengan disposisi Kapolda Sumbar. Setelah menunggu satu bulan dimeja Dirreskrimum, ahkirnya laporan tersebut dilimpahkan ke Polresta Padang. Dirreskrimum sepertinya tidak mengetahui bahwa dalam laporan tersebut terdapat 15 peristiwa pidana dan 7 diantaranya terjadi di Kabupaten Lima Puluh Kota.

Tentunya, jelas salah, ketika diproses oleh Polresta Padang, karena 7 peristiwa pidana tersebut bukan berada di wilayah hukum Polresta Padang. Sehingga laporan tersebut tidak diproses, bukankah hal tersebut sesuatu yang sangat mendasar. jika Polri benar melaksanakan amanah yang diberikan oleh negara, tentunya hal tersebut tidak akan terjadi. tapi ketika perkara memang tidak akan diproses, hal demikian layak dilakukan.

Akibat dari penyimpangan aparat penegak hukum, baik di Polsek Kuranji, Polresta Padang serta biarkan Polda Sumbar, proses hukum menjadi terganggu. sangat disesalkan, kejahatan yang terjadi di Bypass Teknik seakan akan mendapat perlindungan dari Kepolisian. pada hal Polri ditugaskan melakukan penegakkan hukum, hari ini terkait perkara Bypass Teknik Polri dipakai oleh oknum untuk melidungi tindak pidana.

Hal tersebut membuat kami sebagai Perkumpulan Wartawan Fast Respon Nusantara(Fast Respon Counter Polri) DPW Sumbar menjadikan satu perkara, dijadikan sebagai bahan investigasi dan penyelidikan.

Dengan adanya perkara Bypass Teknik ini, kami berharap Polri khususnya Polsek Kuranji, Polresta Padang dan Polda Sumbar bisa menjadi lebih baik kedepan.

Kami sebagai ketua FRN DPW Sumbar akan berusaha semaksimal mungkin agar Polri tidak dijadikan oleh oknum sebagai pelidung penjahat. Untuk itu sikap Polri yang amanah terhadap tugas sangat diperlukan.

Kami berharap Kapolda Sumbar sebagai perpanjangan tangan Kapolri, memperlihatakan bahwa presisi yang digagas Kapolri Jendral(Pol)Listyo Sigit Prabowo bukan main main dan benar adanya.

Kapolda Sumbar tidak boleh membiarkan kong kalingkong ini terjadi, dan menjadi duri dalam daging bagi institusi Polri secara keseluruhan, apalagi hari ini Polri sedang merubah image dimata masyarakat.

Jika ada yang bermain-main dengan presisi Kapolri ini, maka seperti kata Jendral Sigit “diproses” , jika pihak yang bertanggungjawab tidak mampu menegakkan aturan tersebut. Kata Jendral Pol Lisyo Sigit Prabowo “Saya akan potong kepala ikan busuk tersebut “. yang ditayangkan dalam chanel You Tube yang telah beredar luas dimasyarakat.

Kebijakan tersebut, sudah diperlihatkan oleh pimpinan Polri, Irjend (Pol) Teddy Minahasa sebagai Kapolda Sumbar di PTDH dari Kapolisian, demikian juga dengan Irjend (Pol) Ferdi Sambo SIK. dengan demikian, terlihat penegakkan hukum tidak pandang bulu, siapapun yang bersalah diberikan hukuman setimpal. dapat kita saksikan ketika Polri menegakkan hukum dengan tegas, nama Polri menjadi membaik. Kami dari PW Fast Respon Nusantara Fast Respon Counter Polri DPW Sumbar ragu ketika Bypass Teknik dilaporkan ke Polsek Kuranji.

Kapolda Sumbar seperti maklum atas kejadian ini. Hanya dengan menyerahkan kebawahannya. Pada hal Kapolda sendiri saat bertemu dengan pelapor sekitar bulan Desember 2022 telah mengatakan ada Perbuatan Pidana dalam perkara ini dan akan diproses di Polda Sumbar, nbeliau akan mengawasi.

Sebagaimana surat Bidpropam nomor B/108/III/WAS.2.1/2024/Bidpropam Polda Sumbar yang diterima tanggal 7 Maret so24. Kabidpropam Polda Sumbar menjawab sama dengan isi surat sebelumnya. “tidak bisa dilakukan proses hukum karena “Ne bis in idem”.

Bidpropam Polda Sumbar katanya sudah presisi. Tidak wajar jika Polresta Padang dan Bagwassidik Polda Sumbar tidak mempertanggungjawabkan surat yang talah diterima. Bidpropam Polda Sumbar telah keluarkan surat tanggal 5 Agustus 2022 dan Kapolda Sumbar telah mengeluarkan Surat Telegram tanggal 6 Januari 2023. sedangkan pelaksanaanya diabaikan. lantas tidak ditemukan KEPP…??

Kenapa Bidpropam Polda Sumbar tidak melakukan investigasi dan menyelidiki ulang proses hukum yang telah dilakukan Polresta Padang dan Bagwassidik Polda Sumbar, pada hal pelapor sudah membalas surat tersebut ke Kapolda Sumbar dan Waka Polda Sumbar bahwa investigasi Bidpropam sepertinya ada yang sengaja dilupakan.

Laporan Hasil Penyelidikan(LHP)melalui surat B/251/VII/WAS.12.10/2024/Bidpropam Polda Sumbar, tanggal 12 Juli 2023 mengatakan tidak ditemukan pelanggaran KEPP oleh penyidik Kapolsek Kuranji, Kasat Reskrim Polresta Padang, dan Kapolresta Padang.

Tentunya sangat diragukan kebenarannya, terlalu banyak “bohong” yang terdapat dalam proses hukum tersebut. untuk itulah pelapor kembali menyurati pihak terkait terutama Polda Sumbar, Kapolri, Itwasum, Kompolnas RI, Ombudsman RI.

Pengertian  Ne bis in Idem oleh Bidpropam Polda Sumbar, tidak sama dengan yang dimaksud oleh Mahkamah Agung

“Ne bis in Idem”

Proses hukum tidak bisa dilakukan ketika perkara tersebut telah disidangkan di pengadilan. Bidpropam harus paham bahwa perkara ini terbagi atas 15 peristiwa pidana dan belum satupun yang disidangkan pengadilan.

Ketika dilakukan Investigasi serta penyilidikan oleh (Ropaminal dan Subbidwaprof)Bidpropam Polda Sumbar, dibuktikan dengan gembok dan mesin pompa air Kipor yang disita Polsek Kuranji telah diserahkan pelapor, Polsek Kuranji seperti sengaja menghilangkan dari BAP, sehingga LHP Polda Sumbar ke mabes Polri, tidak terjadi pelanggaran KEPP.

Asas Ne Bis In Idem dan Kepastian Hukum

Ne Bis In Idem adalah perkara dengan obyek, para pihak dan materi pokok perkara yang sama, diputus oleh pengadilan dan telah berkekuatan hukum tetap baik mengabulkan atau menolak, tidak dapat diperiksa kembali untuk kedua kalinya. Gugatan yang diajukan seseorang ke pengadilan dan mengandung Ne bis In Idem, harus dinyatakan oleh hakim bahwa gugatan tersebut tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijk Verklaard).

Pengertian tentang asas ne bis in idem terdapat pada ketentuan pasal 1917 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang berbunyi “Kekuatan sesuatu putusan Hakim yang telah memperoleh kekuatan mutlak tidaklah lebih luas daripada sekedar mengenai soal putusannya.

Untuk dapat memajukan kekuatan itu, perlulah bahwa soal yang dituntut adalah sama, bahwa tuntutan didasarkan atas alasan yang sama, lagipula dimajukan oleh dan terhadap pihak-pihak yang sama didalam hubungan yang sama pula”. Artinya bahwa suatu perkara yang telah diputus oleh hakim terdahulu dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, tidak dapat digugat kembali dengan subyek dan objek yang sama. ini yang harus dipahami oleh Bidpropam Polda Sumbar.

Kata Ketua FRN DPW Sumbar, Bidpropam dalam LHP sengaja menghilangkan dalam BAP bahwa barang bukti gembok dan mesin pompa air Kipor telah disita oleh Polsek Kuranji, tentunya hal itu menunjukkan bahwa perkara sedang dalam penyidikan. bukan seperti yang terdapat dalam SPPHP yang dikeluarkan Polsek Kuranji. dimana terdapat kebohongan dakam surat yang diterbitkan dalam menghentikan perkara.

Yurisprudensi Mahkamah Agung RI tentang ne bis in idem, YMA No. 1226 K/Pdt/2001, Tanggal 20 Mei 2002. Kaidah Hukum dari yurisprudensi tersebut adalah meski kedudukan subyeknya berbeda, tetapi obyek sama dengan perkara yang telah diputus terdahulu dan berkekuatan hukum tetap, maka gugatan dinyatakan Ne bis In Idem.

Dalam setiap putusan, perlu memperhatikan tiga hal yang sangat esensial yaitu unsur keadilan, unsur kemanfaatan dan unsur kepastian hukum. Apabila hakim telah memeriksa suatu perkara yang diajukan kepadanya.

Pada tahap pelaksanaan dari pada putusan ini, maka akan diperoleh suatu putusan yang in kracht van gewijsde (berkekuatan hukum tetap).

Terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, terkadang seseorang yang merasa haknya dilanggar akan menggugat kembali suatu perkara yang sebelumnya sudah digugatnya, walaupun dengan subyek yang berbeda tetapi dengan obyek yang sama. Dalam hal ini dibutuhkan  ketelitian seorang hakim dalam menilai apakah perkara yang diajukan tersebut masuk kategori Ne bis In Idem.

Penerapan asas Ne bis in idem ini menjadi perhatian Mahkamah Agung dengan diterbitkannya Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 tahun 2002 tentang Penanganan Perkara yang berkaitan dengan Asas ne bis in idem, pada pokoknya kepada hakim-hakim agar memperhatikan dan menerapkan asas nebis in idem dengan baik  untuk menjaga kepastian hukum bagi pencari keadilan, hal itu juga bertujuan agar tidak terjadi putusan yang berbeda. Demikian pula terdapat beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung RI yang dapat dijadikan landasan menyatakan gugatan adalah ne bis in idem.

Mahkamah Agung melalui Putusan pada tingkat kasasi No. 647/K/sip/1973 yang menyatakan : Ada atau tidaknya asas ne bis in idem tidak semata-mata ditentukan oleh para pihak saja, melainkan terutama bahwa obyek dari sengketa sudah diberi status tertentu oleh keputusan Pengadilan yang lebih dulu dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap”.

Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 Tahun 2012, pada angka Romawi XVII.

Tentang Ne bis In Idem, diatur sebagai berikut menyimpangi ketentuan Pasal 1917 KUHPerd Majelis Kasasi dapat menganggap sebagai Nebis In Idem meskipun pihaknya tidak sama persis dengan perkara terdahulu asalkan pada prinsipnya pihaknya sama meskipun ada penambahan pihak. status objek perkara telah ditentukan dalam putusan terdahulu.

Untuk melihat apakah suatu perkara terkwalifikasi ne bis in idem maka harus dilihat objek dan subjek dalam perkara tersebut, jika terdapat persamaan maka dapat dipastikan terpenuhi asas ne bis in idem, selanjutnya perkara akan dinyatakan tidak dapat diterima oleh majelis hakim. Dibawah ini beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung yang memutus perkara sebagai ne bis in idem.

Putusan Mahkamah Agung RI No. 1456 K/Sip/1967, tanggal 6 Desember 1969 menyatakan “Hakikat dari asas hukum ne bis in idem adalah bahwa baik para pihak yang berperkara (subject) maupun barang yang disengketakan (object) dalam gugatan perdata tersebut adalah sama.”

Putusan Mahkamah Agung RI No. 123 K/Sip/1968, tanggal 23 April 1969 menyatakan “Meskipun posita gugatan tidak sama dengan gugatan terdahulu, namun karena memiliki kesamaan dalam subjek dan objeknya serta status hukum tanah telah ditetapkan oleh putusan terdahulu yang sudah in kracht, maka terhadap perkara yang demikian ini dapat diterapkan asas hukum ne bis in idem.”

Putusan Mahkamah Agung RI No. 588 K/Sip/1973, tanggal 3 Oktober 1973 menyatakan “ karena perkara ini sama dengan perkara yang terdahulu, baik dalil gugatannya maupun objek perkara dan penggungat-penggugatnya, yang telah mendapat keputusan Mahkamah Agung tanggal 19 Desember 1970 No. 1121 K/Sip/1970 No. 350 K/Sip/1970, seharusnya gugatan dinyatakan tidak dapat diterima, bukannya ditolak.”

Putusan Mahkamah Agung No.497 K/Sip/1973, tanggal 6 Januari 1976 menyatakan “karena terbukti perkara ini pernah diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Negeri Surakarta, maka gugatan penggugat tidak dapat diterima.”

Putusan Mahkamah Agung No. 1149 K/Sip/1982, tanggal 10 Maret 1983 menyatakan “Terhadap perkara ini dihubungkan dengan perkara terdahulu, yang telah ada putusan Mahkamah Agung, berlaku asas ne bis in idem, mengingat kedua perkara ini, pada hakikatnya sasarannya sama, yaitu pernyataan tidak sahnya jual beli tanah tersebut dan pihak-pihak pokoknya sama.”

Putusan Mahkamah Agung RI No. 1226 K/Sip/2001, tanggal 2002 menyatakan “Meski kedudukan subjeknya berbeda tetapi objeknya sama dengan perkara yang telah diputus terhahulu dan berkekuatan hukum tetap, maka gugatan dinyatakan ne bis in idem.”

Putusan Mahkamah Agung RI No. 547 K/Sip/1973, tanggal 13 April 1976 menyatakan “Menurut Hukum Acara Perdata, asas ne bis in idem, tidak hanya ditentukan oleh kesamaan para pihaknya saja, melainkan juga adanya kesamaan dalam objek sengketanya.”

Untuk menilai suatu perkara terkwalifikasi ne bis in idem maka dilihat dari gugatan yang diajukan oleh penggugat. Ini sangat penting untuk menghindari perbedaan putusan hakim atau dualisme putusan hakim dalam suatu perkara yang sejenis, dan menjaga kepastian hukum bagi para pencari keadilan.

Mahkamah Agung dalam hal ini telah mengatur, dan menjadi yurisprudensi bagi penegakkan hukum berikutnya. Dalam perkara Bypass Teknik ini, justru, terindikasi terjadi obtruction of justice. Bahkan jauh sebelumnya melapor telah dihalangi, bahkan sebelum diselidiki, penyidik sudah berpendapat bahwa perkara yang akan dilaporkan adalah perkara perdata, sehingga harus digugat terlebih dulu, baru kemudian di proses pidananya. jelas mana barang Indrawan dan mana barang Rusdi. Pada hal dalam pasal sangkaan disebutkan barang sesuatu, milik orang lain seluruh atau sebagian. ini yang membuat pelapor membantah keterangan penyidik Polri.

Untuk diketahui, jika Polri telah melakukan proses dengan benar sesuai dengan aturan hukum berdasarkan berbagai aturan, Ne Bis In idem bisa diterima. Tetapi ketika laporan masyarakat dihalangi berproses, tentunyaBidpropam Polda Sumbar harus Presisi melaksanakan tugasnya.

Dengan sikap demikian bahwa Bidpropampun telah melakukan penyimpangan terhadap tugas yang diberikan negara. Dalam hal ini tentu Kapolri yang bertanggungjawab, ketika laporan tidak diproses Kepolisian.

Kami sebagai ketua Perkumpulan Wartawan Fast Respon Nusantara DPW Sumbar, meminta agar presisi berjalan dengan baik dan benar, tidak adalagi anggota Polda Sumbar yang menghalangi presisi terlaksana. Dengan adanya perkara kami yang ditolak Polda Sumbar untuk tidak diproses, kami jadi leluasa mengungkap perkara ini. Tinggal  Bapak Kapolri yang kami tunggu untuk membenahi citra POLRI dimata masyarakat. sepertinya harapan kami terhadap Polda Sumbar, tidak ada lagi yang bisa kami harap.

(Sumber ketua PW FRN Fast Respon Counter Polri DPW Sumbar)